jpnn.com, JAKARTA - Di masa pandemi COVID-19, tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan tampak meningkat. Alasannya, ngeri jika sampai tertular virus mematikan tersebut.
Berbagai upaya pun dilakukan agar tidak sakit. Seperti konsumsi makanan bergizi, olahraga teratur, berjemur, minum suplemen, ramuan tradisional empon-empon, dan lainnya.
BACA JUGA: Pasien Sembuh dari Covid-19 di Jawa Timur Bertambah, Khofifah Bersyukur
Namun, tanpa disadari ada penyakit mematikan yang juga mengintai masyarakat, yaitu serangan jantung.
Penyakit itu tidak menular tetapi sangat berbahaya, apalagi di saat pandemi COVID-19 tingkat stes masyarakat tinggi.
BACA JUGA: Penjelasan Terbaru soal Pengalihan Pejabat Eselon III, IV, V ke Fungsional
Kesulitan ekonomi karena waswas kena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau bahkan sudah diberhentikan sehingga tidak punya sumber penghasilan, beban ekonomi, parno kena corona, dan lainnya menjadi salah satu pemicu stres.
"Ketika kita stres tinggi ditambah pola hidup yang tidak sehat di situlah memicu jantung koroner," kata dr. Maizul Anwar, Sp.BTKV dalam webinar kesehatan bersama media, baru-baru ini.
BACA JUGA: Istana Ungkap Lokasi Tersulit untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19
Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan penyebab nomor satu kematian di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah.
Sekitar 31 persen dari seluruh kematian di dunia atau 8,7 juta disebabkan oleh penyakit jantung koroner.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat sebesar 1,5 persen atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner.
Dokter Maizul menerangkan, yang paling umum terjadi adalah penyakit jantung koroner.
Biasanya kasus jantung koroner dialami mulai dari usia produktif yaitu termuda 31 tahun hingga 85 tahun.
Untuk kasus usia di bawah 50 tahun, kejadian penyakit jantung koroner berhubungan erat dengan gaya hidup.
Seperti pola makan yang kurang baik, merokok, tidak berolahraga, hipertensi, serta stres yang tinggi.
Selain itu, dapat juga terjadi karena hiperkolesterolemia yakni gula darah tinggi karena hasil metabolisme dari pola makan yang tidak sehat.
"Pada kasus-kasus penyakit jantung koroner yang tidak bisa diatasi lagi dengan obat-obatan atau pasien yang sudah memasang stent dan tidak dapat diulang lagi, dalam dunia medis solusi untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan melakukan prosedur Coronary Artery Bypass Graft (CABG)," jelas dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular Siloam Hospitals Kebon Jeruk ini.
CABG adalah sebuah prosedur tindakan bedah dengan membuat pembuluh darah baru atau biasa disebut bypass pada penyakit jantung koroner.
Pembuluh darah baru tersebut nantinya akan melintasi pembuluh darah jantung yang menyempit dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain, seperti arteri di dada, lengan, dan pembuluh vena dari kaki.
Tindakan CABG dapat dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu dengan menggunakan mesin jantung paru konvensional (on pump) atau tanpa menggunakan mesin jantung paru (off pump).
Selama masa pandemi COVID-19, tindakan operasi tetap bisa dilakukan di RS Siloam Hospitals dengan aman dan tepat.
Sebelum jadwal operasi diberikan kepada pasien, proses skrining dan pemeriksaan COVID-19 akan dilakukan terlebih dahulu.
“Dengan menjalankan protokol dan skrining kesehatan sebelum tindakan operasi dilakukan, masyarakat tidak perlu menunda atau merasa takut untuk menjalani operasi jantung karena kesehatan jantung adalah kondisi kesehatan yang harus segera ditangani secara cepat dan tepat,” kata Dokter Maizul yang merupakan pimpinan Siloam Heart Institute (SHI).
Bukan hanya pasien, dokter dan petugas kesehatan serta staf lainnya juga dilakukan skrining dan pemeriksaan COVID-19 secara berkala.
Ini untuk memastikan keamanan staf dan pasien yang dilayani. (esy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad