Dokter Putri Jahit Dahi Bocah di Saat Gelap, Mengharukan

Minggu, 19 Agustus 2018 – 00:05 WIB
Dokter Putri sedang mengobati salah satu pasien korban gempa bumi 7,0 SR di tengah penerangan lampu dan tempat yang terbatas, Minggu malam (5/8). Foto: Ist/LOMBOK POST

jpnn.com - Dokter Putri, dan semua dokter malam itu, layak disebut pahlawan medis. Dokter Putri berbagi kisah, haru-biru bekerja di malam yang penuh dengan jerit tangis.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

BACA JUGA: Jual Situs Capres - Cawapres, Hasilnya Ingin Disumbangkan

DOKTER Putri baru saja menghela nafas panjang. Perjalanan jauh dari Kabupaten Lombok Utara (KLU) dengan misi sosial membantu warga di sana, membuatnya letih bukan main. Namun beberapa menit duduk di warung makan, siap-siap menyantap makanan malam, bumi tempatnya berpijak bergetar hebat.

“Iya kami hanya berniat istirahat sebentar di warung makan. Saya juga berencana langsung pulang ke rumah setelah membantu penanganan medis di KLU,” kisah Raden Roro Putri Ayu Hapsari.

BACA JUGA: Wuling Motors Ikut Peduli Terhadap Korban Gempa Lombok

Tapi gempa bermagnitudo 7,0 Sekala Richter (SR) itu membuat rasa letihnya sirna. Berubah panik seiring pekik warga yang berhamburan ke luar menyelamatkan diri.

Guncangan hebat itu seketika menjadikan Mataram dibekap duka dari segala penjuru kota. Korban-korban berjatuhan, pekik hiteris warga menyeruak memilukan.

“Kami sebisa mungkin menolong warga. Di jalan-jalan kami temui orang-orang yang digotong dalam keadaan bersimbah darah,” kenangnya.

Putri pun sebisa mungkin menolong orang dengan keahliannya di dalam mobil ambulans. Membersihkan beberapa korban yang harus dibawa ke RSUD Kota Mataram. Tapi ada satu hal yang membuat ia resah bukan kepalang. Tak ada satupun keluarga yang menyahut panggilannya dari nomor ponsel yang ia kontak.

“Tapi kita tetap berusaha profesional. Korban yang di depan mata itu yang kami tangani. Sekalipun saya juga panik kenapa tidak ada satupun anggota keluarga yang menjawab telepon saya,” tuturnya.

Di lokasi RSUD Kota Mataram kepanikan seperti terlokalisir di area parkiran. Orang-orang berteriak, menangis, mengaduh. Segala macam bentuk emosi keresahan dan kepanikan menumpuk jadi satu. Membuat RSUD barangkali jadi satu-satu tempatnya paling pecah malam itu.

“Belum lagi suara sirine ambulans yang hilir mudik membawa korban. Baik dari Kota Mataram atau pasien dari daerah tetangga seperti Lombok Barat dan KLU,” ujarnya.

Situasi semakin tak terkendali, karena kecemasan warga di bawah gelap gulitanya malam. Lampu darurat tak bisa dinyalakan. Warga berinisiatif menyalakan lampu mobil dan motor. Itupun cahayanya tak merata. Sebagian lagi kawasan parkir RSUD tetap di bawah bekap malam yang menggulita.

“Di sela-sela kepanikan dan menangani pasien di bawah koordinasi dokter Eko spesialis Emergency, saya sempatkan lagi menelepon keluarga. Tapi tidak ada juga jawabannya,” tuturnya.

Dokter Putri salah satu dokter MEMS. Mataram Emergency Medical Service. Kompetetensi dan tugasnya mengharuskan ia tak boleh berdiam diri. Karena itu di tengah perasaan batinnya yang tak menentu dengan nasib keluarganya, dokter 27 tahun ini tetap melayani pasien.

“Ada seorang ayah datang sambil menggendong putranya yang dahinya sobek karena tertimpa genteng,” kata Dokter Putri.

Ayah itu terlihat kebingungan dan sedih. Karena beberapa kali ia minta anaknya ditangani, rupanya belum juga terlayani. Banyaknya pasien yang harus ditangani tidak sebanding dengan dokter dan tim medis yang bekerja malam itu.

Bencana itu memang datang tak terduga. Justru saat kebanyakan tim medis RSUD diperbantukan ke KLU, Lombok Timur, dan Lombok Barat. “Saya melihat bapak itu ingin pergi. Mau cari Rumah Sakit lain agar anaknya bisa segera tertangani dengan baik, tapi saya langsung menahannya. Saya bilang saya akan menangani anaknya,” kisahnya.

Putri bisa memahami keresahan ayah itu. Dahi anaknya terus mengeluarkan darah segar dan harus segera dihentikan. Sementara situasi yang masih gelap membuat dokter tak bisa bekerja cepat dan maksimal. Apalagi saat itu pasien terus berdatangan dibawa ambulans yang meraung-raung.

“Dengan penerangan seadannya dari lampu senter di kepala, saya jahit luka dahi anak itu,” ujarnya.

Beruntunya anak itu tidak rewel. Bocah 8 tahun itu cukup tegar saat menjalani proses jahit di dahinya. Tanpa sadar Dokter Putri mengaku menitikan air mata. Tidak ada yang sadar. Matanya berderai di belakang sinar senter kepala.

“Jujur saja saya belum bisa tenang. Telepon berulang kali ke keluarga kenapa tidak ada yang mengangkat,” ujarnya.

Ia sudah berusaha menenangkan diri. Dokter Putri memang masih single. Namun ada keselamatan Ibu dan Ayahnya yang membuat ia dibekap cemas tak berujung. Sementara kondisinya sendiri sudah ia tak ingat lagi. Seharian melaksanakan misi kemanusiaan di KLU mendera tubuhnya dengan lelah teramat sangat.

Ia hanya sempat membasuh wajahnya untuk sedikit menyegarkan tubuh. Perutnya pun hanya sempat terisi beberapa sendok nasi saja, sampai gempa melarang ia meneruskan santap malamnya.

“Saya beberapa kali menghadapi situasi berat. Tapi baru kali ini yang paling berat. Saat banjir di Bima beberapa waktu lalu kami masih bisa bekerja di dalam ruangan. Tapi kali ini kami harus bekerja di luar ruangan dengan kepanikan luar biasa,” urainya panjang lebar.

Dokter Putri pun beberapa kali harus bertengkar dengan pasien yang tak sabar ditangani. Padahal sebelum masuk ke tempat penanganan, mereka sudah diklasifikasi. Mana yang butuh penanganan cepat. Mana yang bisa ditunda.

Dokter Eko Spesialis Emergency di depan telah menandai para pasien dengan kode warna. “Ada yang merah, kuning, dan hijau,” terangnya.

Warna merah harus ditangani secara intensif. Sementara yang kuning butuh perhatian khusus. Sedangkan yang hijau masih bisa menunggu. Tapi rupanya banyak keluarga pasien yang tak sabaran. Meminta supaya keluarganya yang ditangani lebih dulu.

“Padahal organ vitalnya masih bagus. Tandanya juga ada yang hijau dan ada yang kuning. Tapi terus mendesak minta ditangani,” kisahnya.

Tak pelak, adu mulut pun pecah antara dirinya dan keluarga pasien. Dokter Putri mengaku sedih, mereka tidak percaya pada keahlian medis para dokter yang sudah mengklasifikasi urgensi penanganan.

“Memang ada yang sesak napas dan teriak-teriak, tapi mereka secara organ vital masih bagus. Sesak nafas juga karena rupanya pasien terkejut dengan gempa yang terus susul menyusul dirasakan, sehingga berdampak pada psikologinya,” ulasnya.

Beruntunglah semua akhirnya berangsur-angsur terkendali dan normal. Semua pasien akhirnya bisa diberi pelayanan medis terbaik. Dan tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Dokter Putri saat di tengah keletihannya malam itu, teleponnya berdering.

“Ternyata dari keluarga, saya bersyukur ternyata mereka semua selamat. Mereka tidak sempat beri kabar karena keluar menyelamatkan diri dan tidak sempat bawa ponsel,” ungkapnya.

Malam yang mencekam itu pun merayap pelan. Pasien yang tadinya meraung-raung kesakitan akhirnya perlahan-lahan bisa lebih tenang. Putri baru bisa bertemu keluarga besarnya di atas jam 2 malam. “Itu setelah semua pasien saya tangani dengan baik,” tutupnya lega. (r5)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler