jpnn.com - Dia seorang doktor. Pilihan hidupnya: menjadi guru TK. Namanya satu kata: Sutik. Dr Sutik SPd MPd.
Tiap hari Sutik mengajar di TK yang dia dirikan di satu dukuh terpencil di Pacet Selatan.
BACA JUGA: Mampir Guyon
DR Sutik ketika mengajar TK dengan berbaju adat Jawa.--
Kalau Sutik tidak mendirikan TK di situ, anak-anak dusun tersebut harus ke TK terdekat -berjarak empat kilometer dan menyeberangi sungai tanpa jembatan.
BACA JUGA: Wanita Global
Hasilnya: Sutik terpilih sebagai guru TK terbaik se-Jatim untuk kategori dedikasi.
Sebentar lagi Sutik akan ikut jambore guru taman kanak-kanak tingkat nasional. Dia akan bersaing dengan juara-juara di provinsi Anda.
BACA JUGA: Mau Berubah?
Salah satu yang membuat Sutik jadi juara adalah kekhasan TK yang dia bina: tiap Senin dan Selasa siswanya wajib pakai pakaian adat Jawa.
Bukan hanya pakaian, juga bahasa: wajib berbahasa Jawa. Yakni bahasa Jawa ngoko untuk bicara sesama siswa dan bahasa Jawa kromo inggil untuk bicara dengan guru.
Persyaratan itu sudah diperjanjikan di waktu pendaftaran. Orang tua siswa harus ikut aturan itu. Tentu ada yang keceplosan bicara pakai bahasa Indonesia, tetapi lama-lama hilang. Mereka ingat saat lagi pakai pakaian Jawa berarti harus pakai bahasa Jawa.
"Mengapa pilih Senin dan Selasa? Bukan Senin dan Kamis?”
Sutik terdiam. Agak lama. Saya harus bisa menerjemahkan ekspresi wajah diamnya.
"Agar bajunya masih bisa dipakai sekali lagi keesokan harinya ya..." kata saya.
"Iya. Di desa, kan, tidak biasa baru dipakai sekali harus dicuci," katanya.
Di Hari Guru kemarin guru Sutik mendapat bingkisan dari siswa (lihat foto). Tentu itu dari orang tua siswa.
Hadiah itu diberikan setelah Sutik dan tiga guru lainnya selesai mengadakan upacara peringatan Hari Guru Nasional bersama siswa TK asuhannya.
Setelah ber-Hari Guru Nasional itu Sutik mengajak suami ke Disway Mojokerto. Lalu diajak bertemu saya.
Mobil sang suami keren: Suzuki Kotrik yang sudah dimodifikasi. Rodanya off road. Tanpa atap. Sang suami memang hobi memodifikasi mobil. Dia punya bengkel sendiri.
Tidak hanya bengkel. Sang suami juga punya panti asuhan anak yatim. Dia juga usaha kuliner: buka warung nasi.
Panti asuhannya terpilih sebagai tempat anak bermasalah hukum (ABH). Yakni anak yang terlibat perkara kriminal, sudah diadili, sudah dijatuhi hukuman.
Karena masih anak-anak mereka tidak dimasukkan penjara. Mereka dimasukkan lembaga pembinaan anak.
Lembaga seperti itu semestinya di bawah Kementerian Sosial. Atau Dinas Sosial. Maka begitu anak divonis sekian tahun atau sekian bulan jaksa membawa anak itu ke Dinas Sosial.
Akan tetapi Dinas Sosial tidak punya fasilitas untuk ditempati narapidana anak-anak. Maka Dinas Sosial mencari lembaga swasta. Ketemu. Milik suami Dr Sutik. Di dekat Pacet, Mojokerto.
"Dapat anggaran berapa?"
"Tidak dapat," ujar suami Dr Sutik, Mukhiddin.
”Hah?”
"Iya. Tidak dapat anggaran sama sekali".
"Kok mau?”
"Ibadah. Saya anggap seperti mengasuh anak telantar," ujar Muhkiddin yang selalu berkopiah dengan rambut gondrong, jenggot dikuncir, dan pakai sarung.
Saat ini ada tujuh ABH yang dia bina di panti asuhannya. Umurnya setingkat anak SMA. Semua terkait dengan urusan pemerkosaan.
"Pernah ada satu ABS yang terkait perkara carok, tetapi saya tolak. Di sini kan banyak anak-anak," ujar Mukhiddin.
Anda sudah tahu: carok adalah saling bunuh untuk masalah harga diri di kalangan masyarakat Madura.
Pernah juga punya ABH yang masih setingkat SD. Juga terlibat pemerkosaan. Korbannya balita.
Di tempat Mukhiddin, ABH tersebut diikutkan kegiatan asrama. Wajib bangun subuh, salat, berdoa, dan bersih-bersih lingkungan.
Siangnya bisa ikut jadi tukang kayu, tukang di bengkel, atau ikut jualan di warung.
Selesai ngobrol Hari Guru, Dr Sutik belum mau pulang. Dia minta izin untuk tetap di lokasi.
Dia harus mengikuti penjurian jambore guru TK tingkat nasional lewat Zoom.
Dr Sutik bisa terlihat keren kalau mengajar mahasiswa S-2 di satu universitas. Akan tetapi dia pilih tetap di desa dan mengajar anak TK.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Datuk ITB
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi