Dor, Pancasila

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 01 Juni 2022 – 17:17 WIB
Ilustrasi sosok Bung Karno. Foto: Antaranews

jpnn.com - Dor. Ketuhanan Yang Mahaesa

Dor Dor. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

BACA JUGA: Hari Lahir Pancasila, Bu Mega: Mari Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia

Dor Dor Dor. Persatuan Indonesia

Dor Dor Dor Dor. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

BACA JUGA: Simak Catatan Gus Jazil soal Pancasila, Indonesia, dan Peradaban Dunia

Dor Dor Dor Dor Dor. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

(Puisi Balsem, KH Mustofa Bisri).

BACA JUGA: PDIP Yakin Tanpa Pancasila Tak Ada Namanya Indonesia Raya

Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus ialah kiai cum seniman yang punya cara khas dalam berdakwah. 

Gus Mus punya gaya yang adem dan sejuk ketika memberi pengajian. 

Ketika membaca puisi, Gus Mus juga adem, tetapi tajam menyengat, dan punya daya humor tinggi khas kiai nahdliyin.

Puisnya ‘’Negeri Haha Hihi’’ bisa bikin orang ketawa sampai terpingkal. Namun, puisi itu juga bisa bikin sakit perut karena mulas melihat tingkah korup dan bebal para pemimpin bangsa.

Haha hihi..Ada udang di balik batu, Otaknya udang kepalanya batu

Haha hihi.. Sekali dayung dua pulau terlampaui, Sekali untung dua pulau terbeli.

Gajah Mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, kalian mati meninggalkan uutang. Haha hihi.

Puisinya Gus Mus tajam, tetapi tidak pernah menyakiti. Dia mengkritik dengan jenaka. 

Kumpulan karyanya, Puisi Balsem, berisi kritik-kritik yang menghangatkan badan seperti balsam, tetapi bisa bikin jiwa sejuk dan adem karena jenaka.

Kritik keras terhadap pembunuhan yang dilakukan rezim represif Soeharto terhadap rakyat masih tetap bisa membuat senyum.

Dor, Pancasila! diciptakan pada akhir 1980-an ketika rezim otoritarian Soeharto berada pada puncak kekuatannya.

Ketika itu, banyak kasus kekerasan oleh negara terhadap masyarakat yang menimbulkan korban jiwa, raga, dan harta.

Peristiwa Waduk Kedungombo, Waduk Nipah di Madura, kasus tanah Talangsari di Lampung, masalah tanah di Jenggawah Jember, dan masih banyak lagi.

Represi terhadap warga sipil itu dilakukan atas nama Pancasila, satu-satunya dasar yang dipaksakan oleh rezim untuk menjadi asas tunggal bagi semua warga negara yang berserikat dan berkumpul, yang kebebasannya dijamin oleh undang-undang dasar.

Bagi Soeharto, kebebasan boleh dipraktikkan asal berasas Pancasila. Garis demarkasi dikotomis pun dipasang. 

Pendukung Soeharto disebut Pancasilais, penentangnya langsung dicap sebagai anti-Pancasila dan distigmatisasi dengan stempel komunis, PKI.

Dengan stigmatisasi tersebut, dengan stempel itu, kekuasaan mempunyai license to kill untuk membunuh atas nama Pancasila. 

Pembunuhan, pengusiran, pengucilan, teror, dan labelling menjadi senjata untuk membekap oposisi.

Pancasila sebagai asas tunggal didominasi oleh negara bahkan, tafsir dan interpretasinya dimonopoli oleh kekuasaan dan disediakan panduan komplet butir demi butir sebagai haluan untuk melaksanakan dan menghayati Pancasila.

Pancasila dikuasai secara total. Mengamalkan adalah pekerjaan fisik. Menghayati adalah pekerjaan rohani. Keduanya dikontrol oleh kekuasaan, bahkan cara kita memikirkan dan menghayati Pancasila dikontrol oleh rezim.

Itulah rezim totaliter, yang atas nama kesatuan kolektif tidak memberikan ruang kepada oposisi dan perbedaan pendapat.

Hak-hak kebebasan individu harus diserahkan untuk kepentingan kolektif. Semua kekuatan sosial masyarakat harus tunduk kepada negara dan menjadi bagian dari korporatisme negara.

Stabilitas menjadi nomor satu sebagai prasyarat mutlak pembangunan nasional.

Maka, partai-partai politik disederhanakan dan difusikan menjadi dua kelompok saja; nasionalis dan agama.

Kontrol terhadap oposisi menjadi lebih mudah karena oposisi makin lemah atau tidak ada sama sekali. 

DPR hanya menjadi lembaga formalitas tukang stempel yang jadi cap legitimasi kekuasaan.

Demokrasi hanya formalitas, demokrasi prosedural tanpa ada kebebasan, illiberal democracy. Pemilu hanya formalitas yang hasilnya sudah di-setting sesuai kepentingan kekuasaan.

Dibutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Itulah ’’Hipotesa Lee’’ dari Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, yang kemudian melahirkan mazhab ’’Developmentalism’’ di Singapura.

Di Indonesia, Soeharto menerapkan hal yang sama. Maka, lahirlah mazhab ’’Pembangunanisme’’. Joko Widodo mengadopsinya menjadi ’’Neo-Pembangunanisme’’.

Mazhab tersebut memprioritaskan pembangunan fisik dan ekonomi dengan menomorduakan pembangunan politik dan demokrasi. Legitimasi utama rezim  adalah pembangunan infrastruktut dan keberhasilan ekonomi.

Di Singapura, mazhab itu berjalan baik karena pembangunan ekonomi berjalan berkelanjutan sampai sekarang. Rezim Soeharto ambruk karena krisis moneter 1998 menghancurkan legitimasi ekonomi yang menjadi andalan utama.

Rezim Orde Baru Soeharto lahir sebagai koreksi terhadap rezim Orde Lama Sukarno yang dianggap melenceng dari rel Pancasila. 

Sungguh ironis, Sukarno yang menggali dan meramu Pancasila pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1 Juni 1945, harus terguling karena dianggap menyelewengkan Pancasila.

Sukarno menginterpretasikan Pancasila sesuai interest politiknya. Kemudian, lahirlah Demokrasi Terpimpin atas nama Pancasila meniadakan kekuatan oposisi.

Atas nama Pancasila, Sukarno menahbiskan diri sebagai Paduka Yang Mulia Presiden Seumur Hidup.

Puncaknya, Sukarno menghimpun tiga kekuatan politik Nasionalis, Agama, dan Komunis dalam satu payung Nasakom.

Pancasila lahir dari perdebatan dan pergulatan pemikiran para founding fathers yang berargumentasi secara ilmiah dengan memakai referensi luas dari pemikir-pemikir besar dunia. 

Mulai dari pemikiran kapitalisme liberal, pemikiran Marxis, gagasan-gagasan negara Islam, hingga ide-ide fasisme. Semuanya dibahas tuntas dengan adu argumentasi yang tajam dan berkualitas.

Kekuatan besar saling tarik-menarik. Tidak ada yang mau mengalah. Kekuatan Islam yang merasa menjadi kekuatan dominan mendesak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kaum nasionalis tidak menyetujuinya dan menginginkan nasionalisme sebagai dasar negara.

Founding fathers kemudian sepakat dengan lima sila sebagai dasar negara yang disebut Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila paling utama. 

Akan tetapi, kelompok Islam menghendaki agar ditambahkan tujuh kata, ’’Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya’’.

Penambahan itu ditolak kelompok minoritas di luar Islam. Negosiasi berlangsung alot dan keras. Berkat bujukan Mohammad Hatta terhadap para pemimpin Islam, tujuh kata  dihapus.

Soeharto mengulangi kesalahan Sukarno 30 tahun sebelumnya. Dia menginterpretasikan Pancasila sesuai dengan kepentingan kekuasaannya.

Maka Soeharto merumuskan penghayatan dan pengamalan Pancasila dan mewajibkan semua orang mengikuti tafsirnya terhadap Pancasila.

Soeharto memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi. Bagai api dalam sekam yang akhirnya meledak menjadi kebakaran besar. 

Rakyat yang memendah marah menjungkalkan Soeharto dari kekuasaannya melalui gerakan people power, Reformasi 1998.

Kini, 20 tahun lebih berselang sejak kejatuhan Soeharto, ada kecenderungan sejarah akan terulang.

Ada upaya memonopoli Pancasila dan memaksakan tafsir tunggal terhadapnya. Pemerasan lima sila menjadi satu sila, Ekasila, ’’Keadilan Sosial’’ akan menggeser posisi sila ’’Ketuhanan Yang Maha Esa’’ yang menjadi fondasi dan roh semua sila.

Indonesia bukan negara agama, tetapi agama menjadi roh bagi penyelenggaraan negara. Dengan perubahan itu, Indonesia bergeser ke arah sekularisme.

Masyarakat Indonesia yang sangat bhineka membutuhkan satu fondasi bersama yang bisa menyatukan. Pancasila bisa menjadi pondasi itu. Pancasila adalah common ground, kalimatun sawa’, yang bisa menyatukan kebhinekaan itu.

Memonopoli Pancasila dengan tafsir yang dipaksakan akan berakhir dengan kegagalan yang menjatuhkan rezim. Sukarno gagal memaksakan Pancasila dengan interpretasi versinya sendiri. Soeharto juga gagal dengan memaksakan Pancasila versinya sendiri. 

Pancasila harus tetap terbuka dan bisa menampung semua kebhinekaan. Gaya otoritarianisme dengan bedil dan dan kekuasaan tidak sesuai dengan nilai dasar Pancasila. Dor..dor..dor..dor..dor. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler