jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar menyarankan agar RUU Kesehatan diubah menjadi RUU Sistem Kesehatan, karena akan memuat banyak hal.
"Seharusnya juga bisa fokus mendorong pelayanan kesehatan agar lebih baik lagi sehingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita meningkat," ujar Timboel dalam Sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan secara virtual, Kamis (30/3).
BACA JUGA: Hadir di Pondok Indah, Klinik FIT Siap Berikan Layanan Kesehatan Terbaik
Lebih lanjut, untuk memastikan BPJS Kesehatan tetap memiliki independensi, Pasal 424 dan Pasal 425 harus tetap mendapatkan pengawalan dan pastikan agar DPR RI sampai harus menyetujui agar UU SJSN dan UU BPJS tidak masuk dalam RUU Kesehatan.
Selanjutnya, Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan seharusnya dikelola dan diabdikan bagi peningkatan pelayanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
BACA JUGA: Door to Door, Layanan Kesehatan MI BIN Disambut Positif Korban Gempa di Cianjur
"Jangan sampai dana amanah masyarakat BPJS diintervensi, seperti kasus dulu, BPOM harusnya bertanggung jawab misalnya ketika ada kasus gagal ginjal langsung diarahkan daftar PBI. Artinya, itu mengambil uang dari DJS untuk program pelayanan kesehatan yang seharusnya ditangani pemerintah," ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Akademisi Universitas Indonesia Prof Ascobat Gani menyampaikan kompensasi menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
BACA JUGA: John Riady Yakin Artificial Inteligence Bisa Memperkuat Sistem Layanan Kesehatan
Menurutnya, kompensasi kesehatan bukan menjadi tanggung jawab BPJS melainkan pemerintah, bahkan tata kelola third party administrator harus clear, dan diatur dalam turunan regulasi.
"Penjaminan pelayanan kesehatan kebutuhan dasar harus ada standarnya, sementara pembiayaan pelayanan kekerasan dan sebagainya, harus menjadi fokus regulator untuk penjaminannya. Jangan masuk ke dalam Program JKN," papar Gani.
Hal senada juga di ungkapkan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri.
Menurut Asih, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan pengelolaan kesehatan dan diatur lebih lanjut dengan Perpres sehingga juga direvisi Pasal 17 agar SKN bisa berkomunikasi lintas sistem. Jadi bisa berkomunikasi dengan JKN.
Lebih lanjut, di pasal 425, koordinasi antar lembaga jaminan sosial dan lembaga SKN dipimpin Menteri Kesehatan.
"Di sini bagaimana koordinasi, harmonisasi, dan sinergi antara dua sistem tersebut melalui lembaganya? Lembaga SKN, yakni Menteri Kesehatan. Lembaga SJSN ada BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan DJSN," jelasnya.
Lalu, DJSN mengusulkan agar 426 ditambahkan ayat bahwa ada otonomi independensi yang sinergis dengan UU SJSN, bahwa DJSN adalah lembaga kebijakan, monev, dan pengawas SJSN. Sinergi di Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) harus eksplisit dituliskan.
"Tatanan regulasi jangan campur aduk dengan tatanan strategik dan tatanan operasional," tegas Asih.
Kemudian, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menambahkan harus ada kejelasan antara tugas BPJS sebagai eksekutor dan Kemenkes selaku regulator sehingga tidak offside satu sama lain.
"Regulasi yang menjamin upaya promotif dan preventif perlu didorong. Beberapa penambahan skrining menurut saya penting. Namun, apakah ada klausul yang menjelaskan cost efektifnya dan evidence basednya seperti apa. Itu perlu dipikirkan," imbuhnya.(mcr28/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Wenti Ayu Apsari