DPD: Ambivalen Desa Terjadi karena UU

Senin, 16 Januari 2012 – 22:45 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua DPD, La Ode Ida menilai terjadi ambivalensi prinsip atas asas pengaturan desa yang menyangkut kedudukan dan kewenangan desa akibat dari ketidaktegasan kedudukan dan kewenangan desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

"Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa belum mengarah ke pencapaian cita-cita desa yang mandiri, demokratis, dan sejahtera," tegas La Ode Ida, dalam acara musyawarah pimpinan DPD, mengawali pembahasan RUU Desa, di ruang Komite I DPD, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/1).

Selain itu lanjutnya, terjadinya ambivalensi itu karena prinsip penitikberatan desentralisasi dan otonomi daerah ada di kabupaten dan kota, sehingga pengaturan desa menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan kepada desa. "Persoalannya, kedudukan desa di bawah kabupaten tidak koheren dan tidak kongruen dengan nafas UU 32/2004 yang mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul."

Pengakuan kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul membuktikan bahwa UU 32/2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Konsekuensinya desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community) dan bukan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan kepada desa.

“Berbagai dokumen undang-undang menyebutkan desa sebagai pemerintahan tetapi UU 32/2004 belum menggambarkan format dan sistem pemerintahannya. Oleh karena itu, RUU Desa seharusnya memberi perspektif yang jelas tentang desa sebagai unit pemerintahan dan sebagai unit pembinaan budaya masyarakat. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah desa memiliki otonomi?” tanya senator asal Sulawesi Tenggara itu.

Sejak UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku, menurut pimpinan DPD, kemandirian desa menjadi bahan perdebatan dan tuntutan. “Apakah yang disebut otonomi desa adalah ‘otonomi asli’ sebagaimana prinsip UU 32/2004 atau otonomi yang didesentralisasikan seperti otonomi daerah? Banyak kalangan berpandangan bahwa otonomi desa berdasarkan otonomi asal. Berarti desa mengatur dan mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal tanpa intervensi dan tanggung jawab negara,” ungkap La Ode Ida.

Pimpinan DPD mencatat beberapa pertanyaan, seperti apa prinsip yang sebaiknya dimasukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, bagaimana menyinergikan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa sebagai suatu kesatuan utuh untuk mempercepat pembangunan desa, serta bagaimana nasib kabupaten, kota, terlebih desa, yang usianya ratusan tahun atau melebihi usia negara Republik Indonesia, ujarnya.

Selain itu, La Ode juga mempertanyakan bagaimana memulihkan dan memperkuat basis penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat desa yang mengalami involusi, dan mengapa peran pelaku di desa (pemerintahan desa, swasta, dan masyarakat) belum optimal mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, serta bagaimana meningkatkan peran pemerintahan desa sebagai ujung tombak pemerintahan di atasnya dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan perberdayaan masyarakat, ujar La Ode Ida.

Demikian juga soal kedudukan desa dalam konteks ketatanegaraan dan desentralisasi, bagaimana memperkuat kewenangan desa lebih berdaya dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, bagaimana skema pembagian (penyerahanan) kewenangan, perencanaan, dan keuangan kepada desa; bagaimana memperkuat peran lembaga yang ada di desa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat, serta bagaimana menyinergikan peran lembaga bentukan dan lembaga asli yang ada di desa.

"Perkembangan terakhir mengenai subsidi otonomi desa yang ancer-ancernya 1 persen APBN atau Rp 1 miliar per desa tentunya menjadi perdebatan yang menarik," tegasnya.

Dikatakannya, RUU Desa versi DPD memberi kepercayaan dan kesempatan kepada desa mengembangkan potensinya, meningkatkan akses warga desa terhadap sumberdaya alam, pelayanan publik, dan anggaran negara untuk memperbaiki kualitas masyarakat yang merata, membagi desa menjadi dua tipologi, yaitu desa asli dan desa swapraja; serta dana alokasi desa menimal 5 persen APBN. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diperiksa KPK, Wa Ode Bakal Seret Pimpinan Banggar

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler