jpnn.com, JAKARTA - Pilkada serentak tahun 2020 bakal berlangsung pada tanggal 23 September 2020. Ada 270 daerah yang akan menggelar pilkada yang terdiri atas 9 propinsi, 224 bupati dan 37 wali kota.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendorong Pilkada 2020 menggunakan sistem E-Rekap. Sistem itu memanfaatkan komputer, laptop atau Handphone (HP) dalam merekapitulasi atau menghitung suara. Penerapan sistem tersebut bisa menghemat biaya pilkada karena menghapus rekapitulasi berjenjang seperti terjadi selama ini.
BACA JUGA: Pilkada Serentak 2020 Harus Lebih Baik
“Di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetap dilakukan perhitungan manual. Hasil perhitungan manual sebagai bukti hukum proses pilkada,” kata anggota Komite I DPD Abraham Paul Liyanto di Gedung DPD RI, Jakarta Pusat, Jumat (25/10).
Dia menjelaskan setelah perhitungan manual di TPS, suara hasil Pilkada langsung diinput ke komputer atau laptop. Formulir C1 yang menunjukkan hasil perhitungan juga harus difoto.
BACA JUGA: DPD RI Akan Mengkaji RUU Khusus Provinsi Bali
Setelah itu, keduanya dikirim secara online ke KPUD Kabupaten atau Kota. Untuk Pilkada Gubernur, keduanya langsung dikirim ke KPUD Propinsi.
“Model ini menghapus rekapitulasi berjenjang yang lama dan rawan kecurangan,” jelas senator dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Dia mengakui sistem tersebut seperti sistem Situng KPU yang digunakan pada Pemilu 2019. Namun sistem itu belum diakui karena belum diatur melalui Undang-Undang (UU).
DPD RI akan menginisiasi revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi penerapan E-Rekap. “Proses ini akan menghemat anggaran karena tidak lagi membayar tenaga untuk rekapitulasi di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Kemudian masyarakat bisa langsung mendapatkan hasil Pilkada karena perhitungannya bersifat online,” tutur Abraham yang sudah tiga periode menjadi anggota DPD RI dari Propinsi NTT.
Dia menegaskan penerapan E-Rekap adalah langkah awal sebelum pemilu maupun pilkada menggunakan sistem elektronik atau E-Voting. Jika E-Rekap sukses, peralihan pemilu atau Pilkada ke sistem E-Voting akan mudah.
Namun dia mengakui penerapan sistem E-Voting tidak mudah dilakukan karena sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih lemah. Pengoperasian sistem tersebut membutuhkan tenaga yang memiliki kemampuan tersendiri karena tidak semua orang bisa menjalankan apilikasi E-Voting.
Di sisi lain, infrastuktur jaringan dan teknologi belum semuanya sampai ke kampung-kampung. Jaringan internet lebih banyak baru terpasang di kota-kota besar.
“Untuk Pilkada 2020, tahap awal penerapan sistem elektonik melalui E-Voting mungkin untuk kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Karena jaringan listrik sudah lancar. Tetapi
E-Rekap sudah harus dipakai pada Pilkada 2020 dan berlaku untuk seluruh Indonesia. Mudah kok itu. Bisa kirim lewat HP, sudah selesai. Kalau sistem E-Voting memang rumit,” tutup Abraham.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mendukung penerapan E-Rekap. Ia tegaskan sudah saatnya Indonesia memakai teknologi dalam pelaksanaan pemilu. Hal itu agar bisa mengurangi biaya pemilu atau pilkada.
“Kemarin pas Pemilu 2019, KPU kan punya sistem Situng. Itu kan seperti sistem E-Rekap. Sistem itu aja diperbaharui dan ditingkatkan kualitasnya biar lebih baik,” tuturnya.
Dia menegaskan dengan sistem itu, tidak perlu menunggu satu-dua bulan untuk mendapatkan hasil pemilu. Hasil pemilu bisa langsung diketahui satu hasil setelah pencoblosan karena menggunakan sistem yang online.
"Potensi kecurangan juga tidak ada karena formilir C 1 bisa langung di upload dan diketahui publik,” tegasnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich