DPR Ciderai Makna Interpelasi

Senin, 16 April 2012 – 17:42 WIB

JAKARTA -- Ketua Divisi Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Ronald Rofiandri, menilai, usulan interplasi DPR atas kebijakan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  Dahlan Iskan, tak proporsional.

Menurutnya, usul interpelasi ini persis seperti usulan hak interplasi terhadap Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Amir Syamsudin, tentang pengetatan remisi bagi koruptor.

"Persis seperti usulan hak interpelasi terhadap SK Menkumham tentang pengetatan remisi, tak proporsional dan justru mencederai makna dari hak interpelasi itu sendiri," kata Ronald, menjawab JPNN, Senin (16/4) di Jakarta.

Apakah itu hanya upaya DPR mencari perhatian? Atau punya kepentingan lain di balik intérplasi itu sendiri? Ronald menjawab, "Dugaan ada motif tersendiri, seperti tawar-menawar kepentingan politis atau instrumen penekan pemerintah. Sudah lepas dari koridor check and balances."

PSHK melihat bahwa praktik penggunaan hak interpelasi dan hak angket sendiri, bukan sebuah barang yang haram. Justru, demi efektivitas pengawasan, instrumen itu perlu digunakan. Namun, tentunya hak interpelasi dan hak angket harus dapat memberikan hasil yang tampak dalam mengungkap dan menyelesaikan masalah yang terjadi.

"Check and balances bukan dijadikan alat politik untuk tawar-menawar kepentingan. Atau dengan kata lain bukan menjadi ancaman atan tindakan nyata dalam menekan pemerintah secara politik. Khusus untuk praktik penggunaan hak interpelasi, belakangan menunjukan kekeliruan," kata Ronald.

Dia mengambil contoh usulan interpelasi untuk kasus SK Menkumham soal pengetatan remisi bagi narapidana korupsi yang belakangan Dahlan Iskan.

Menurutnya, benar bahwa usulan penggunaan hak interpelasi, sebagai bagian dari implementasi fungsi pengawasan, dilindungi oleh konstitusi dan UU Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3).

"Namun pertanyaannya adalah, apakah permasalahan atau materi penggunaan hak interplasi sebagai tindak lanjut dari raker antara Komisi III dengan Kemenkumham VII Desember 2011 sudah layak dan proporsional?," katanya.

Menurutnya, terlalu kecil persoalannya apabila diangkat dan ditindaklanjuti melalui penggunaan hak interpelasi. Selain itu, setiap pengusulan hak interpelasi harus menyertakan pula argumentasi bahwa kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran penggunaan hak interpelasi, penting dan strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai Pasal 77 ayat (3) UU MD3.

Namun demikian, lanjut dia, bukan berarti seorang anggota DPR tidak berhak mengajukan pertanyaan atau meminta klarifikasi dari mitra kerja, termasuk kepada Presiden sekalipun baik lisan maupun tertulis.

"Seorang anggota DPR memiliki Hak Mengajukan Pertanyaan sebagaimana dimaksud Pasal 78 huruf b UU MD3. Pelaksanaan Hak Mengajukan Pertanyaan diatur lebih detail dalam Pasal 191 dan Pasal 192 UU MD3 serta Pasal 178 sampai dengan pasal 181 Tata Tertib," katanya.

Menurutnya lagi, Hak Mengajukan Pertanyaan tidak mensyaratkan jumlah minimum pengusul dan persetujuan dalam rapat paripurna, seperti halnya jika anggota Komisi III menggunakan hak interpelasi. "Bahkan Hak Mengajukan Pertanyaan bisa pula disampaikan saat forum raker, bisa tertulis maupun lisan," katanya.

Seperti diketahui, Keputusan Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2011 dianggap menyalahi beberapa aturan karena dianggap bisa memberikan wewenang direksi BUMN untuk melakukan penjualan aset tanpa mekanisme yang benar.

Hak interpelasi diajukan karena para pengusul menilai SK Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2011 melanggar sejumlah undang-undang. Yakni UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, dan UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. (boy/jpnn)
 
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW Soroti Anggaran Kesehatan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler