jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Rahmat Gobel, mengkritik pemerintah tidak pernah mengapresiasi pasar dalam negeri yang begitu besar.
Padahal, ujar dia, negara-negara besar lain seperti Tiongkok, India, dan Amerika Serikat, membuka pasarnya untuk globalisasi, tetapi kalau untuk kepentingan negaranya maupun petaninya mereka menutup pasar itu.
“Karena kepentingan itu semua. Kalau kita buka-buka saja. Kita tidak pernah mengapresiasi kita punya pasar yang besar,” katanya saat membuka Seminar Nasional “Kebijakan Berbasis Bukti untuk Kinerja Legislasi DPR RI dan Daya Saing Bangsa” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/12).
Gobel mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan asing sebagai kekuatan untuk membangun ekonomi Indonesia. Politikus Partai Nasdem itu mengatakan bahwa membangun negara harus menggunakan kekuatan dan sumber daya manusia (SDM) di dalam negeri.
BACA JUGA: Rahmat Gobel Masuk Daftar Caleg NasDem
Menurut Gobel, asing masuk ke Indonesia karena melihat pasar yang besar seperti hasil bumi, laut, maupun pertambangan. Namun, ujar dia, Indonesia justru tidak melihat ini sebagai satu kekuatan.
“Bahkan saya khawatir kita menjadikan asing sebagai kekuatan membangun ekonomi kita. Bukan. Kekuatan kita adalah domestik kita. Kita harus bangun negara kita dengan kekuatan dan SDM kita,” ujar Gobel.
Mantan menteri perdagangan itu mengatakan, kalau mengandalkan asing sebagai kekuatan utama mendorong ekonomi Indonesia, maka bisa jadi akan tunduk sama mereka.
BACA JUGA: Pengusaha Lokal Antusias Berpartisipasi di Pasar Kolecer
“Kita akan mungkin nunduk-nunduk sama mereka. Mungkin ke depannya kita tidak tahu. Ini satu hal di sini, di mana penelitian kita? Ada tidak penelitian kita yang mengarah ke sana, yang membuat kebijakan yang akhirnya membuat nilai tambah buat kita,” kata Gobel.
Chariman Panasonic Gobel Group itu menegaskan mengundang asing untuk berinvestasi ke Indonesia, bukan berarti harus bergantung sama mereka.
Dia menyatakan, asing itu hanya melengkapi untuk pembangunan ekonomi Indonesia, yang utamanya untuk membangun SDM.
BACA JUGA: Rachmad Gobel Diklaim Menjadi Milik Semua Rakyat Gorontalo
“Bukan hanya mempekerjakan manusia Indonesia menjadi mereka punya pegawai, tetapi membangun added value besar khususnya SDM itu sendiri,” paparnya.
Gobel menjelaskan, saat membuat Visi 2030 dan Road Map 2010 Industri Nasional, ia mengundang pakar, pengusaha untuk adu berargumentasi. Gobel juga mengundang pemerintah. Selain itu, yang tidak kalah penting Gobel turun langsung ke daerah melihat-melihat dengan mata sendiri, berdialog dan merasakan langsung apa yang dirasakan industri pada saat itu.
Dia menjelaskan saat berdialog dengan pelaku industri kecil, mereka mengakui tidak merasakan resesi. Justru yang merasakan resesi adalah pengusaha-pengusaha besar.
“Kami (industri kecil) tidak, bisa hidup dengan biaya sekarang. Kaget juga saya waktu datang ke Yogyakarta, Solo, sampai ke seluruh daerah saya datang hanya untuk melihat dari mata saya sendiri, berdialog, dan merasakan sendiri. Itu penelitian saya yang saya lakukan, sehingga paper saya dapat,” katanya.
Kemudian, Gobel mengaku mengaitkan bagaimana kepentingan Indonesia untuk membangun, dan berapa besar peluang untuk bisa bangkit menjadi negara besar pada 2030. “Pada waktu itu paper saya buat. Namun, kalau di Indonesia ini sekadar ketemu, kumpul, papernya banyak. Seminar hari ini saya takut seminar ini cuma jadi paper ini,” jelas Gobel.
Oleh karena itu, Gobel menegaskan ingin membakar semangat semuanya supaya paper dimanfaatkan dan diimplementasikan menjadi kebijakan. Bukan hanya sampai tema saja, tetapi pada tingkat implementasi di lapangan.
“Butuh kebijakan berkualitas dan betul-betul diimplementasikan untuk bisa membangun Indonesia dan kekuatan NKRI kita. Jadi, percuma bicara kebangsaan kalau kita tidak tahu, dan semua kita lepas semuanya,” katanya.
Berbicara kebangsaan, Gobel lantas menceritakan pengalaman konkretnya saat memimpin perusahaan. Gobel menjelaskan, setiap 17 Agustus mewajibkan seluruh karyawan perusahaannya ikut apel bendera untuk memeringati Hut Proklamasi Kemerdekaan RI.
Apel itu sama seperti yang dilakukan di tempat lain, ada pasukan pengibar bendera, pembacaaan Pancasila dan UUD 1945, kemudian membaca prinsip perusahaan dan penjabarn prinsip-prinsip tersebut. Gobel menjelaskan, waktu zaman almarhum Soedomo menjabat Menaker, semua perusahaan diwajibkan apel bendera ada 17 Agustus. Namun, kata dia, ketika reformasi ini hilang karena hanya dianggap habiskan waktu.
“Padahal, bukan. Ini adalah bagian membangun sumber daya manusia, dan karyawan untuk berterima kasih kepada bangsa dan negara dan menghormati merah putih,” ujar Gobel.
“Apel bendera itu kita belajar dari SD, SMP, SMA wajib. Pemerintahan masih ada. Swasta, coba diteliti apakah masih ada atau tidak. Kalau diadakan, maka orang asing pun akan menghormati merah putih,” tambahnya.
Terlepas dari itu, Gobel pun mengingatkan bahwa membangun industri bukan sekadar membuat barang, tetapi menghasilkan nilai tambah.
"Jadi, apel bendera bukan sekadar apel, tetapi menghormati, menghayati, dan bagaimana menjabarkan nilai itu. Pancasila itu harus dijabarkan dalam kebijakan di perusahaan, dan membangun strategis di perusahaan itu sendiri,” katanya.
Gobel menjelaskan, di perusahaannya selalu diajarkan bahwa bekerja bukan untuk mencari uang, tetapi menghasilan nilai tambah. “Kalau di perusahaan saya diajarkan untuk apa kamu bekerja? Anda bekerja bukan untuk mencari uang, tetapi untuk membuat nilai tambah sehingga di perusahaan saya tidak ada ribut, demonstrasi, karena karyawan saling mengingatkan kawannya,” papar Gobel.
Gobel mengaku tidak pernah turun lagi ke lapangan saat menjadi pengusaha karena semua sudah beres. Ketika sudah beres, Gobel baru terjun ke politik. Dia menegaskan, tidak mungkin menjadi politikus kalau tak bisa mengurus sendiri.
Gobel pun sekaligus menjawab berbagai pertanyaan kenapa dia yang sudah enak menjadi pengusaha, kemudian berpindah haluan sebagai politikus. Dia mengatakan bahwa ini adalah jawaban dari Allah atas doa yang telah diucapkannya selama ini. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy