DPR: Pemerintah Takut Naikkan Harga BBM

Selasa, 17 Januari 2012 – 09:11 WIB

JAKARTA- Wacana lama kembali muncul dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII dengan Menteri ESDM, Jero Wacik. Pemerintah cenderung mengupayakan pengaturan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ketimbang menaikkan harga BBM.

Wacana tersebut berseberangan dengan keinginan DPR yang lebih memilih untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. "Kalau harga minyak dunia tinggi, itu kan otomatis asumsi makro APBN berubah. Begitu asumsi makro berubah, ya berarti kita mengubah APBN menjadi APBN-P. Bisa kita percepat menjadi APBN-P untuk dibahas lebih awal," kata anggota DPR Setya Widya Yudha, Senin (16/1).

Satya menegaskan, sejak awal DPR setuju untuk menaikkan harga BBM. "Sejak 2010, kita (DPR, Red) sudah setuju dengan menaikkan harga BBM. Jadi jangan dibalik-balik seakan-akan DPR takut naik," tukas politisi Partai Golkar tersebut.

Menurut Satya, pemerintah tidak berani untuk mengambil keputusan menaikkan BBM. "Tahun 2010 kita minta naik. Karena ICP di atas 10 persen dari ICP yang ditargetkan APBN. Pemerintah tanpa persetujuan DPR sebenarnya dapat menaikkan tetapi tidak dijalankan," tambahnya.

Maka dalam APBN 2012, kata Setya, Komisi VII kembali meminta konfirmasi pemerintah, mau naikkan BBM atau tetap mengatur BBM bersubsidi. Sayangnya, kata Setya, apa yang dipaparkan dalam raker tidak mencerminkan bagaimana pemerintah menjaga volume BBM bersubsidi.

"Karena selain penyelewengan juga ada migrasi yang tadinya kelas menengah persis yang mengenakan mobil biasa dia langsung pindah ke motor. Makanya saya bilang antisipasi dan jaga volume. Yang kita atur itu yang kita jaga. Di luar itu kita bebasin saja. Makanya muncul premium keekonomian agar masyarakat tidak kaget langsung ke pertamax," terang Setya.

Sedangkan, anggota Komisi VII lainnya, Dito Ganinduto menilai pemerintah khawatir jika menaikkan harga BBM akan mengganggu pencitraan pemerintah. "Waktunya tinggal tahun 2012 ini. Jika diambil opsi untuk menaikkan harga BBM pada 2013 nanti, waktunya sangat tidak tepat karena dekat dengan Pemilu 2014," kata Dito.

Sementara, anggota Komisi Energi lainnya, Mardani, mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap mengenai kebijakan pembatasan BBM yang akan diambil, apakah melalui konversi BBM ke BBG atau kebijakan harga BBM yang dilakukan secara komprehensif. "Hal ini mengingat pemerintah sudah beberapa kali mengalami kuota subsidi BBM yang berlebih," ujar Mardani.

Sebagaimana diketahui, kebijakan pemerintah mengenai subsidi BBM selalu mengalami over kuota. Terakhir, tahun 2011 yang lalu, mengalami over kuota dalam jumlah yang cukup besar yaitu mencapai 1,5 juta kiloliter atau setara dengan Rp 3 triliun.

"Kelebihan kuota ini dipastikan berasal dari konsumsi mobil yang meningkat, baik mobil pribadi maupun umum," ujar anggota dari Dapil Jabar VII ini.

Mardani menguraikan, peningkatan konsumsi BBM dikarenakan jumlah mobil yang terus meningkat di tengah keterbatasan jalan. "Akibat dari keterbatasan sarana ini adalah menimbulkan kemacetan. Kemacetan demi kemacetan ini sudah dipastikan menghabiskan dan meningkatkan penggunaan BBM yang terbuang percuma begitu saja," ujarnya.

Menurut Mardani, pembatasan penggunaan BBM melalui konversi BBM ke BBG adalah solusi sekunder dari masalah utama melonjaknya penggunaan BBM ini.

"Jika  hari ini pemerintah bertekad melaksanakan juga kebijakan Pembatasan BBM melalui konversi BBM ke BBG untuk mobil dinas dan pribadi karena mendasarkan diri pada UU APBN 2012, maka kami juga meminta pemerintah, atas dasar konstitusi yang menuntut pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk mengambil kebijakan secara komprehensif dan tuntas," pungkasnya. (yay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 BUMN Garap 100 Ribu Ha Sawah Baru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler