Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya mengesahkan Undang-undang Anti-Terorisme baru yang kontroversial, dimana melalui UU ini militer memiliki keterlibatan langsung dalam operasi kontra-terorisme yang disetujui oleh Presiden.
Undang-undang ini menciptakan sejumlah pasal pelanggaran baru, termasuk terlibat dalam pelatihan militer dengan maksud melakukan terorisme.
BACA JUGA: Australia Desak Rusia Bayar Kompensas
Undang-undang juga memberikan kewenangan bagi polisi untuk menahan tersangka selama 21 hari tanpa dakwaan.
Setelah didakwa, para tersangka dapat ditahan selama 200 hari lagi untuk memberikan waktu kepada polisi untuk mengumpulkan bukti sebelum menyerahkan kasus ini kepada jaksa.
BACA JUGA: Pegawai Percetakan Uang Kertas Australia Mogok Kerja
Pasukan keamanan Indonesia tidak ingin dimasukkannya "motif politik" atau "motif ideologis" dalam definisi terorisme di bawah undang-undang, dan mengklaim itu akan terlalu membatasi.
Tetapi pada akhirnya definisi penuh dipertahankan dalam RUU itu dan disahkan melalui DPR Indonesia.
BACA JUGA: Perokok Lebih Peduli Uang Daripada Kesehatan
Video: 11 killed in bomb attacks on churches in Indonesia (Indonesian)
Sejumlah kritik mengatakan UU ini tidak diperlukan dan dapat mengobarkan ketegangan antara militer Indonesia (TNI) dan polisi.
"Saya pikir itu sangat bermasalah untuk melibatkan tentara dan untuk melibatkan militer Indonesia secara lebih umum dalam upaya kontra-terorisme," Sidney Jones, dari Institut Analisis Kebijakan Konflik, mengatakan kepada ABC.
"Ini kemungkinan akan menghasilkan duplikasi besar dari upaya penanganan teroris, terutama pada landasan intelijen." Ini juga mungkin akan meningkatkan persaingan antara polisi dan militer. "
Rincian lebih lanjut tentang keterlibatan militer diharapkan akan terungkap melalui Peraturan Presiden, yang dijadwalkan akan diterbitkan dalam 100 hari. Photo: Aman Abdurrahman disidangkan atas kasus bom Sarinah Jakarta pada tahun 2016. (ABC News: Ari Wu)
Pengesahan UU ini dipercepat menyusul terjadinya serangkaian pemboman bunuh diri di Surabaya awal pekan lalu.
Jemaah Ansharut Daulah (JAD) dituding sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas serangan itu, tetapi pemimpin kelompok yang menjadi terduga itu sekarang justru mengutuk  serangan tersebut.
Aman Abdurrahman sedang menghadapi persidangan dalam kasus pengeboman di Jakarta, yang menewaskan 8 orang.
Jaksa telah mengajukan tuntutan Aman Abdurahman dijatuhi hukuman mati,dan mengklaim dia telah mendirikan apa yang sekarang dikenal sebagai Jamaah Ansharud Daulah (JAD).
Namun dalam pernyataan pembelaan yang dibacakan di persidangan pada Jumâat (15/5/2018), Aman Abdurrahman justru mengutuk keluarga yang membom gereja-gereja dan polisi di Surabaya.
"Mereka hanyalah orang-orang yang sakit, dengan putus asa dalam hidup mereka," katanya kepada pengadilan.
"Saya percaya itu tidak mungkin [serangan terhadap Gereja] dilakukan oleh orang-orang yang memahami ajaran-ajaran Islam."
"Adapun orang tua yang membawa anak-anak mereka ... dan meledakkan mereka di kantor polisi ... Jelas itu barbar dan kejam."
Saya telah mendesak para hakim untuk tidak ragu-ragu dalam menjatuhkan hukuman kepadanya.
"Saya bahkan tidak takut dengan kalimat itu, karena saya telah menyerahkan imanku kepada Tuhan."
Persidangan Aman Abdurrahman sempat diwarnai kesigapan petugas yang mengokang senjata serbu mereka dan mengambil posisi pertahanan di sekitar Aman Abdurrahman, saat sebuah ledakan kecil terdengar dari sebuah lokasi pembangunan yang tidak berada jauh dari Gedung pengadilan diduga merupakan ledakan bom.
Jurnalis dan polisi terkejut ketika polisi bersenjata bergegas keluar untuk menyelidiki.
Setelah beberapa menit, persidangan kasus ini dilanjutkan.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masalah Tunawisma Kian Memburuk di Australia