DPR Tak Berani Makzulkan Presiden

Kamis, 08 Maret 2012 – 14:03 WIB

JAKARTA -- Pengamat politik dari Reform Institute, Yudi Latief, mengatakan bukan hanya masalah BBM presiden bisa di impeach atau dimakzulkan. Menurutnya, selama ini sudah banyak pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang dilakukan presiden. Namun masalahnya, kata dia, selama ini DPR tidak ada kemauan untuk itu. Ia menilai, DPR dan pemerintah saat ini tidak bedanya dengan DPR di era orde baru yang tidak berani mengambil langkah-langkah yang tegas.

“DPR juga sama, hanya main-main. Ini merongrong wibawa sendiri, seperti keputusan yang sudah dinyatakan tidak dijalankan sendiri," ujarnya, kepada wartawan, Kamis (9/3), di Jakarta.

Ia menegaskan, kalau terus dibiarkan seperti ini maka tentu akan ada konsekuensi politik dan ujungnya bisa memancing rakyat untuk bertindak inkonstitusional kalau pemerintah dan DPR tidak memenuhi asprirasi rakyat dan tidak menjalankan kepentingan umum.

"Sekarang ini rakyat masih memiliki celah untuk sabar, jangan celah itu dihabisi nanti bisa memunculkan kemarahan rakyat dan membuat rakyat bergerak sendiri,” ujar Yudi.

Ia melihat, pemerintah tidak pernah serius berupaya mencari solusi atas permasalahan ini. Bahkan, ia menilai ini merupakan ciri pemerintahan  yang malas. Menurutnya, mengurangi subsidi hanya bisa dilakukan dengan mengurangi pemakian BBM, tapi solusi yang diambil pemerintah untuk itu tidak ada. Dia mengungkapkan, masalah kenaikan BBM akan terus muncul karena pemerintah tidak pernah mencari solusi jangka panjang.

“Kalau hanya menaikan BBM mah bukan hal baru, pemerintahan yang dulu-dulu juga seperti itu. Tidak pernah ada solusi jangka panjang yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini, solusinya hanya solusi yang mencari gampangnya saja," katanya.

Menurutnya, kalau solusinya kenaikan saja, sampai kapan pun Indonesia gak akan pernah keluar dari masalah. Selalu ujungnya jalan pintas yang mudah. "Orang tidak sekolah juga tahu kalau sudah mepet naikan harga,” imbuhnya.

Dia mengatakan, kalau pemerintah serius permasalahan ini bisa ditangani dengan berbagai cara. Yudi pun mencontohkan kenapa pemerintah tidak memperbaiki transportasi umum dan sarana infrakstruktur yang memadai bagi rakyat. Sekarang ini tidak ada kota besar yang tidak macet di Indonesia disebabkan sistem transportasi umum yang buruk.

“Kenapa meningkatnya kenaikan penggunaan BBM tidak dibenahi dengan kebijakan yang benar seperti membenahi trasnportasi umum dan infrakstrukur? Jangan salahkan rakyat jika kemudian memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi yang memakan banyak BBM karena tidak ada kendaraan umum yang memadai dan jalanan yang super macet," ujarnya.
"Pemerintah cenderung tidak melakukan apa-apa,” sambung Yudi.

Ia mengatakan, Indonesia kaya akan sumber energi non BBM seperti panas bumi, panas matahari, maupun energi nabati. Namun sayangnya potensi itu tidak pernah dimanfaatkan secara serius untuk menjadi program pemerintah. Dulu jelas Yudi ada program penanaman pohon jarak untuk keperluan BBM nabati, tapi tidak diteruskan.
Indonesia juga negara yang memiliki energi panas bumi terbesar di dunia, tapi tidak digunakan. Matahari pun bersinar sepanjang tahun, juga tidak digunakan.  “Paling tidak kebijakan energi alternative itu harus jelas,” tegasnya.

Menaikan BBM dan meminta rakyat berkorban atas ketidakberesan manageman pemerintahan menurut Yudi juga tidak bisa diterima. Masih banyak cara yang ditempuh untuk mengefisienkan pemerintahan dan anggaran. Kebocoran anggaran mulai dari penerimanaan, proses dan penggunaan anggaran sebenarnya bisa dikurangi jika mau.
"Pemerintahan yang managemennya amburadul dan tidak punya komitmen untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

“Belum lagi eksplorasi sumber daya minyak, kebocoran juga tidak terdeteksi, penyelundupan, konsensi asing tidak jelas, konsesnsi tidak pernah transparan. Kalau pemerintah sungguh-sungguh sebenarnya sebelum naik, banyak yang bisa dibenahi dulu, atau paling tidak kenaikannya tidak langsung besar,” tegas Mantan Rektor Paramadhina ini lagi. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BLT Dinilai Hanya Alat Kampanye


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler