jpnn.com - JAKARTA - Rendahnya serapan anggaran pemerintah daerah dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tahun 2015, mendapat kritik pedas dari Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi. Dia menuding justru pemerintah pusat lah yang menghambat penyerapan anggaran daerah.
Tudingan ini bukan tanpa dasar. Menurut Viva, pada 18 Agustus 2015, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor900/4627/SJ, yang intinya berisi penjelasan teknis Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, juga mengatur tatacara penerima hibah dan bansos.
BACA JUGA: Situs Revolusi Mental Telan Biaya Rp 140 M?
Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah berbunyi: “belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada: Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah lain; Badan usaha milik Negara atau BUMD; dan/atau Badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatanyang berbadan hukum Indonesia.
Adapun ayat (4) yang dijadikan acuan dalam ayat (5) berisi ketentuan yang mengatur bahwa “belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.
BACA JUGA: Lagi, Forum Honorer K2 Beber Kecurangan Rekrutmen CPNS
Aturan ini menurut Viva memiliki dampak negatif pada pemerintah daerah karena menimbulkan kekhawatiran akan sanksi hukum, sehingga mereka tidak berani menggunakan anggaran yang sudah dialokasikan di APBD.
"Pemerintah daerah atau SKPD tidak berani menyalurkan hibah dan bansos karena takut masuk penjara. Daripada salah lebih baik diam. Hal ini menyebabkan serapan anggaran di Kementerian dan Lembaga semakin rendah," kata Viva melalui siaran persnya, Rabu (26/8).
BACA JUGA: Walah... Baru Diresmikan, Website revolusimental.go.id Sudah Tak Bisa Diakses
Dampak lainnya, masyarakat miskin akan bertambah banyak puluhan juta jumlahnya karena dana APBN dan APBD tidak berani dicairkan pemda untuk program sosial. Padahal, lanjutnya, mitra kerja Komisi IV DPR RI yaitu Kementan, Kemen LHK, dan kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki banyak program pemberdayaan masyarakat.
Penerima program sosial itu di antaranya kelompok petani (poktan) dan gapoktan, kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan), kelompok pengolahan dan pemasaran ikan (Poklasar), kelompok usaha bersama (KUB), masyarakat sekitar hutan dan Kelompok Tani Hutan.
"Semua kelompok itu tidak berbadan hukum. Dampak ekonomi, sosial, dan politiknya sangat tinggi jika bansos tidak bisa dicairkan ke masyarakat. Presiden Jokowi akan mengalami delegitimasi kepemimpinannya karena dianggap tidak pro rakyat," jelasnya.
Politikus PAN itu juga menyatakan kebijakan ini menjadi fakta lemahnya koordinasi direktorat teknis antar lembaga negara. Apalagi pemerintah merencanakan akan mengeluarkan PP Administrasi Pemerintah yang bertujuan untuk mensinkronkan kebijakan teknis dan diskresi kebijakan agar tidak terjadi kriminalisasi.
Karena itu dia menyarankan, sebaiknya seluruh kebijakan atau peraturan di bawah Undang-undang, di antaranya PP, Perpres, Permen, yang berkaitan dengan anggaran, pemda, hibah dan bansos harus disinkronisasikan dan diintegrasikan terlebih dulu agar kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah tidak menjadi contradictio in terminis, atau semakin menambah kontradiksi peraturan di dalam.
"Seluruh pemerintah daerah saat ini takut dan tidak berani menyalurkan dana hibah dan bansos karena SE Kemendagri ini. Pemerintah Pusat harus bertindak agar rakyat tidak semakin menderita," pungkasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengejutkan! Ada Capim KPK Ingin Kasus BLBI dan Century Dihentikan
Redaktur : Tim Redaksi