BARU kali ini saya mengalami kesulitan untuk memilih orang: siapa yang akan menjadi direktur utama (Dirut) PT Aneka Tambang (Persero) Tbk menggantikan Alwinsyah Lubis, yang karena sudah dua periode tidak bisa diangkat lagi. Itulah ketentuan yang berlaku di UU BUMN.
Biasanya dua minggu sebelum RUPS sudah bisa tergambar siapa yang akan jadi Dirut sebuah perusahaan BUMN. Tapi, dalam kasus PT Antam (Aneka Tambang), sampai malam menjelang RUPS belum bisa saya putuskan. Bahkan sampai pagi harinya, ketika RUPS tinggal empat jam lagi, saya belum juga bisa memutuskan.
Penyebabnya sederhana: ada dua orang calon yang benar-benar sama hebatnya: Tato Miraza dan Winardi. Keduanya sama-sama orang dalam. Sama-sama sudah duduk sebagai direktur di Antam. Prestasinya juga sama-sama menonjol.
Integritasnya juga sama baiknya. Keduanya juga belum berumur 50 tahun. Dan keduanya juga sama-sama lulusan ITB dari fakultas yang sama: teknik metalurgi.
Akhirnya saya menyerahkan kepada Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer Muhammad Zamkhani untuk memilih salah satu. Saya akan menyetujui siapa pun di antara keduanya yang dipilih Zamkhani. Tapi, Zamkhani juga "menyerah".
Saat saya harus mulai senam pagi di Monas Senin lalu, pikiran saya terbelah ke persoalan itu. Akhirnya, di tengah-tengah senam, pukul 05.45 saya telepon Pak Zamkhani. Saya minta kedua kandidat menemui saya pukul 07.00, atau hanya dua jam sebelum RUPS.
"Anda berdua ini kok begitu hebat-hebat, sampai saya bingung memilih siapa di antara Anda," kata saya kepada mereka. "Kalian berdua ini benar-benar seimbang. Bagaimana kalau diundi saja?" tanya saya. Keduanya tertawa. "Ini ada koin di kantong saya," tambah saya.
Lantas saya kemukakan misi Antam ke depan. Juga apa yang sudah mereka lakukan selama ini dan harus dilakukan nanti. "Atau kalian suit saja," tambah saya. "Bapak saja yang pilih," ujar Tato. "Betul. Kami ikut saja," sahut Winardi.
Lalu saya jawab, "Saya khawatir, kalau saya yang memilih, salah satu dari kalian akan kecewa," kata saya."Tidak, Pak. Semua ini demi perusahaan," ujar Tato. "Kami sudah sepakat saling mendukung," ucap Winardi.
Saya pun lega. Saya sempat khawatir, kalau Tato yang terpilih, Winardi akan keluar dari Antam. Begitu juga sebaliknya. Dua orang yang sama hebat memang tidak baik berada dalam satu tim. Tapi, kalau salah satunya harus meninggalkan Antam, BUMN akan sangat kehilangan. Padahal, Antam baru kehilangan satu kader terbaiknya: seorang manajer keuangan yang rencananya dijadikan direktur keuangan, baik oleh Winardi maupun oleh Tato. Manajer itu keburu diambil Pak Jokowi untuk menjadi direktur di perusahaan MRT milik Pemprov DKI.
Dua orang calon Dirut Antam tersebut akhirnya sepakat, siapa pun yang akan terpilih sebagai Dirut, yang tidak terpilih bakal jadi Dirut salah satu anak perusahaan. Biarpun anak, anak perusahaan Antam itu ukurannya segajah bengkak: puluhan triliun bisnisnya. Maklum, usaha tambang itu sangat padat modal.
Apalagi, PT Antam lagi mengembangkan usaha melalui anak perusahaannya yang gajah-gajah: nikel di Buli (Halmahera) yang nilai investasinya sekitar Rp 15 triliun dan aluminium di Kalbar dengan investasi sekitar Rp 5 triliun. Yang di Kalbar, yang akan menghasilkan chemical grade alumina, sudah akan uji produksi akhir tahun ini.
Ke depan masih satu lagi yang harus dibangun di Kalbar, yakni pabrik smelter grade alumina yang dikhususkan untuk menyediakan bahan baku bagi PT Inalum di Asahan, Sumatera Utara. Akhir tahun ini PT Inalum sudah akan jadi BUMN.
Dengan gambaran seperti itu, siapa pun yang akan jadi Dirut Antam menjadi lebih plong. Maka, saat keduanya pamit meninggalkan ruangan saya untuk menuju tempat RUPS, saya pun merenung sejenak: siapa yang akan ditetapkan sebagai
Dirut Antam dalam RUPS satu jam lagi? Pak Zamkhani sudah menyiapkan dokumen untuk keduanya. Siapa pun yang dipilih, dokumennya tinggal ditandatangani. Jadilah Tato Miraza terpilih sebagai Dirut. Dia tiga tahun lebih muda daripada Winardi.
Ke depan perjuangan Antam memang tidak ringan. Harga komoditas tambang yang fluktuatif sangat mendebarkan. Terutama nikel. Untung tiga tambang emasnya sangat baik.
Direksi baru Antam juga punya pekerjaan yang berat menyangkut pengamanan lahan-lahan tambang yang diserobot berbagai pihak. Termasuk oleh elite politik lokal untuk diberikan izinnya ke perusahaan-perusahaan antah-berantah. Ini memerlukan kerja lapangan yang gigih.
Bukan hanya Antam yang mengidap persoalan penjarahan lahan tambang seperti itu. PT Timah (Persero) Tbk, BUMN yang beroperasi di Bangka Belitung itu, lebih "meminjam lagu capres Rhoma Irama" TER LA LU. PT Timah yang secara resmi memiliki lahan tambang 520.000 ha (darat dan laut) hanya bisa mengekspor sebanyak 28.000 ton tahun lalu. Sedangkan perusahaan-perusahaan lain yang sama sekali tidak punya lahan tambang bisa mengekspor 70.000 ton.
Begitu gemasnya direksi baru PT Timah itu, sampai-sampai Dirutnya, Sukrisno, memelihara kumis lebih tebal saat ini dengan jenggot yang tidak serapi waktu masih jadi Dirut PT Bukit Asam dulu. Tato Miraza, Dirut PT Antam (Persero) Tbk yang baru, saya lihat tidak berkumis. Entah tahun depan! (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Biasanya dua minggu sebelum RUPS sudah bisa tergambar siapa yang akan jadi Dirut sebuah perusahaan BUMN. Tapi, dalam kasus PT Antam (Aneka Tambang), sampai malam menjelang RUPS belum bisa saya putuskan. Bahkan sampai pagi harinya, ketika RUPS tinggal empat jam lagi, saya belum juga bisa memutuskan.
Penyebabnya sederhana: ada dua orang calon yang benar-benar sama hebatnya: Tato Miraza dan Winardi. Keduanya sama-sama orang dalam. Sama-sama sudah duduk sebagai direktur di Antam. Prestasinya juga sama-sama menonjol.
Integritasnya juga sama baiknya. Keduanya juga belum berumur 50 tahun. Dan keduanya juga sama-sama lulusan ITB dari fakultas yang sama: teknik metalurgi.
Akhirnya saya menyerahkan kepada Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer Muhammad Zamkhani untuk memilih salah satu. Saya akan menyetujui siapa pun di antara keduanya yang dipilih Zamkhani. Tapi, Zamkhani juga "menyerah".
Saat saya harus mulai senam pagi di Monas Senin lalu, pikiran saya terbelah ke persoalan itu. Akhirnya, di tengah-tengah senam, pukul 05.45 saya telepon Pak Zamkhani. Saya minta kedua kandidat menemui saya pukul 07.00, atau hanya dua jam sebelum RUPS.
"Anda berdua ini kok begitu hebat-hebat, sampai saya bingung memilih siapa di antara Anda," kata saya kepada mereka. "Kalian berdua ini benar-benar seimbang. Bagaimana kalau diundi saja?" tanya saya. Keduanya tertawa. "Ini ada koin di kantong saya," tambah saya.
Lantas saya kemukakan misi Antam ke depan. Juga apa yang sudah mereka lakukan selama ini dan harus dilakukan nanti. "Atau kalian suit saja," tambah saya. "Bapak saja yang pilih," ujar Tato. "Betul. Kami ikut saja," sahut Winardi.
Lalu saya jawab, "Saya khawatir, kalau saya yang memilih, salah satu dari kalian akan kecewa," kata saya."Tidak, Pak. Semua ini demi perusahaan," ujar Tato. "Kami sudah sepakat saling mendukung," ucap Winardi.
Saya pun lega. Saya sempat khawatir, kalau Tato yang terpilih, Winardi akan keluar dari Antam. Begitu juga sebaliknya. Dua orang yang sama hebat memang tidak baik berada dalam satu tim. Tapi, kalau salah satunya harus meninggalkan Antam, BUMN akan sangat kehilangan. Padahal, Antam baru kehilangan satu kader terbaiknya: seorang manajer keuangan yang rencananya dijadikan direktur keuangan, baik oleh Winardi maupun oleh Tato. Manajer itu keburu diambil Pak Jokowi untuk menjadi direktur di perusahaan MRT milik Pemprov DKI.
Dua orang calon Dirut Antam tersebut akhirnya sepakat, siapa pun yang akan terpilih sebagai Dirut, yang tidak terpilih bakal jadi Dirut salah satu anak perusahaan. Biarpun anak, anak perusahaan Antam itu ukurannya segajah bengkak: puluhan triliun bisnisnya. Maklum, usaha tambang itu sangat padat modal.
Apalagi, PT Antam lagi mengembangkan usaha melalui anak perusahaannya yang gajah-gajah: nikel di Buli (Halmahera) yang nilai investasinya sekitar Rp 15 triliun dan aluminium di Kalbar dengan investasi sekitar Rp 5 triliun. Yang di Kalbar, yang akan menghasilkan chemical grade alumina, sudah akan uji produksi akhir tahun ini.
Ke depan masih satu lagi yang harus dibangun di Kalbar, yakni pabrik smelter grade alumina yang dikhususkan untuk menyediakan bahan baku bagi PT Inalum di Asahan, Sumatera Utara. Akhir tahun ini PT Inalum sudah akan jadi BUMN.
Dengan gambaran seperti itu, siapa pun yang akan jadi Dirut Antam menjadi lebih plong. Maka, saat keduanya pamit meninggalkan ruangan saya untuk menuju tempat RUPS, saya pun merenung sejenak: siapa yang akan ditetapkan sebagai
Dirut Antam dalam RUPS satu jam lagi? Pak Zamkhani sudah menyiapkan dokumen untuk keduanya. Siapa pun yang dipilih, dokumennya tinggal ditandatangani. Jadilah Tato Miraza terpilih sebagai Dirut. Dia tiga tahun lebih muda daripada Winardi.
Ke depan perjuangan Antam memang tidak ringan. Harga komoditas tambang yang fluktuatif sangat mendebarkan. Terutama nikel. Untung tiga tambang emasnya sangat baik.
Direksi baru Antam juga punya pekerjaan yang berat menyangkut pengamanan lahan-lahan tambang yang diserobot berbagai pihak. Termasuk oleh elite politik lokal untuk diberikan izinnya ke perusahaan-perusahaan antah-berantah. Ini memerlukan kerja lapangan yang gigih.
Bukan hanya Antam yang mengidap persoalan penjarahan lahan tambang seperti itu. PT Timah (Persero) Tbk, BUMN yang beroperasi di Bangka Belitung itu, lebih "meminjam lagu capres Rhoma Irama" TER LA LU. PT Timah yang secara resmi memiliki lahan tambang 520.000 ha (darat dan laut) hanya bisa mengekspor sebanyak 28.000 ton tahun lalu. Sedangkan perusahaan-perusahaan lain yang sama sekali tidak punya lahan tambang bisa mengekspor 70.000 ton.
Begitu gemasnya direksi baru PT Timah itu, sampai-sampai Dirutnya, Sukrisno, memelihara kumis lebih tebal saat ini dengan jenggot yang tidak serapi waktu masih jadi Dirut PT Bukit Asam dulu. Tato Miraza, Dirut PT Antam (Persero) Tbk yang baru, saya lihat tidak berkumis. Entah tahun depan! (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kuliah Tanam Padi di Universitas Sawah Baru
Redaktur : Tim Redaksi