jpnn.com - Ario tidak jadi ke Ternate. Ibunyalah yang dibawa ke Surabaya. Dimasukkan ke RSUD dr Soetomo. Kakak sulung ARIO yang dampingi sang ibu di perjalanan.
"Baru tiba Minggu lusa. Menunggu penerbangan langsung Ternate-Surabaya," ujar Ario Muhammad, anak bungsu dari enam bersaudara (Baca Disway kemarin).
BACA JUGA: Makian DeLiang
Saya bersyukur kian banyak penerbangan langsung jarak jauh.
BACA JUGA: Lomba Heboh
Ario sudah lega. Ibunya akan dapat penanganan lebih baik di Surabaya. Dia pun sudah mau diajak bicara panjang soal anak sulungnya yang viral di medsos: Muhammad DeLiang Al-Farabi. Yang di umur 11 tahun sekarang ini sudah menulis 30 buku dalam bahasa Inggris.
Yang paling ingin saya baca adalah The Battle of Badr. Perkiraan saya itu buku soal Perang Badar yang sangat dibanggakan di kalangan Islam.
BACA JUGA: Telat Jatah
Saya ingin tahu cara pandang DeLiang mengenai perang itu. Apakah memandangnya sebagai perjuangan Islam atau sebagai peristiwa perang pada umumnya.
Selama di madrasah dulu, saya selalu hanya membaca sejarah Islam satu versi. Yakni versi buku pelajaran Tarikh Islam. Itulah yang saya terima sebagai kebenaran peristiwa. Apalagi, guru kami sering menambahkan opini sehingga berbagai peristiwa terasa lebih menggugah.
Kelak, setelah jadi wartawan muda, saya baru tahu bahwa peristiwa yang sama bisa ditulis dengan kesan yang berbeda -karena ditulis dari sudut pihak lawan di perang itu.
"Apakah DeLiang membaca literatur Perang Badar yang berbahasa Inggris?"
"Dia baca literatur Inggris. Tetapi sangat terbatas. Lalu membaca Perang Badar dalam literatur bahasa Indonesia," ujar sang ayah.
"Apakah The Battle of Badr berisi analisis DeLiang tentang perang itu atau lebih bersifat saduran?"
"Saya lihat isinya campuran. Ada imajinasi, ada time travel, time machine, dan ada fakta-fakta perang itu sendiri," ujar Ario.
"Berarti The Battle of Badr itu novel?
"Iya. Novel," katanya. "Novel yang ada unsur science fiction," tambahnya.
Bahwa DeLiang lahir di Taiwan, itu lantaran Ario mengawini Ratih Nur Esti Anggraini saat sama-sama menempuh S-2 di Taipei. Ario di teknik sipil, Ratih di computer science.
Hamil di sana. Lahirlah DeLiang. Hanya numpang lahir. Ketika si bayi berumur 1,5 bulan Ario-Ratih selesai S-2.
Bakat menulis yang dimiliki DeLiang diketahui saat Ario melihat buku harian anaknya. Yakni ketika DeLiang sudah sekolah di SD di Bristol, Inggris.
Ario dan Ratih memang kembali sama-sama dapat beasiswa S-3. Di Bristol, Inggris. DeLiang dibawa ke sana. Dimasukkan SD Negeri di sana. Berat. Belum bisa bahasa Inggris sama sekali.
Setelah DeLiang enam bulan di SD itu Ario dipanggil pihak sekolah. Diberitahu. Anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran. Ario minta agar sekolah memberikan tambahan toleransi waktu.
Di tahun kedua DeLiang ternyata mampu mengejar teman-temannya, bahkan dinilai sangat berprestasi.
Waktu DeLiang kelas lima SD Ario-Ratih sudah menyelesaikan doktor mereka.
Mereka pun pulang ke Indonesia. Berikut satu anak perempuan yang lahir di Bristol. Bahkan, saat meninggalkan Bristol itu Ratih sedang hamil kali ketiga: hanya melahirkan di Trenggalek.
Ratih memang orang Trenggalek. Begitu lulus SMAN 1 Trenggalek Ratih kuliah di ITS Surabaya. Di jurusan informatika.
Ario sebenarnya ingin jadi dokter. Sebagai juara sekolah di SMAN Ternate dia mendaftar di FK Universitas Indonesia. Gagal. Lalu masuk teknik sipil di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
DeLiang tidak bisa tinggal di Bristol sampai lulus SD. Di kelas lima itu dia ikut pulang. Betapa sulit mencarikan sekolah lanjutan bagi DeLiang.
Maka dia dimasukkan home schooling milik Kak Seto cabang Surabaya -bukan yang di Tangerang seperti tertulis di Disway kemarin.
"Saya pilih di Kak Seto karena sekolahnya hanya enam jam seminggu," ujar Ario. Dia ingin anaknya lebih punya banyak waktu bermain dan membaca.
Ibunda Ario seorang guru SD. Di Maluku Utara. Sudah pensiun. Ibunda Ratih juga guru SD. Di Trenggalek. Juga sudah pensiun.
Dua wanita, dua guru, melahirkan dua doktor dan cucu yang istimewa.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gunung Tinggi
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi, M. Fathra Nazrul Islam