Paling enak itu adalah “nggak tahu”, “nggak dengar” dan “nggak ngeri.” Karena, ketidaktahuan itu membuat kita tidak merasa takut! Lha apa yang ditakutkan? Wong, tidak tahu sedang terjadi apa? Begitu pun sebaliknya, makin tahu, makin waspada, makin takut, bahkan bisa jadi paranoid.
Itulah pengakuan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, begitu naik di pesawat Royal Jet, di Bagdad International Airport, pukul 22.00 semalam. Dia tidak langsung duduk di kursi. Dia hanya geleng-geleng kepala dan berjalan-jalan di kabin. Rupanya, dia masih menahan rasa galau, sejak empat bom diledakkan teroris persis di dekat Green Zone, ibu kota Irak. Bagdad betul-betul Kota 1001 Bom.
“Ini pengalaman bilateral meeting yang paling mengesankan (baca: mencekam, red). Saya berusaha menahan diri, untuk tidak panik, tidak takut, meskipun lantai bergoyang-goyang, lampu listrik mati sekitar 5 menit, kaca-kaca bergetar keras, dan suara ledakan bom itu terasa begitu dekat! Saya teruskan saja. Tetap concern pembicaraan poin-poin penting,” aku Hatta Rajasa.
Keresahan Hatta itu tidak dia pertontonkan saat acara kenegaraan tersebut. Bahkan, saat press conference ditanya wartawan, bagaimana dengan situasi dan keamanan Bagdad, dia ikut menimpali. “Saya kira aman! Kalau tidak aman, tidak mungkin pemerintah RI menempatkan Pak Dubes Safzen Noerdin dan seluruh staf KBRI di ibu kota Irak ini,” jawabnya, membesarkan hati Deputi Perdana Menteri Irak Dr Hussein Al Shahristani.
Hussein sendiri mengakui, sampai saat ini memang belum 100 persen bebas dari teror bom di beberapa kota. Konflik panjang aliran Sunni dan Syiah, menjadi salah satu sebab, mengapa Negeri Aladin ini tidak segera bebas dari terorisme. “Tapi percayalah, jumlag rata-rata orang yang tewas karena insiden dan kejahatan di Canada, lebih banyak daripada di Irak!” kilahnya.
Sejak mendarat di Bagdad, aroma seram memang tidak bisa dihindarkan. Dalam perjalanan dari airport menuju Guest House di Green Zone, sudah harus melewati lebih dari 5 kali check point. Mobil-mobil umum, yang bukan Corp Diplomat (CD) dan tamu negara, harus minggir, berhenti, mesin dimatikan, semua pintu dibuka, kap mobil dibuka, bagasi belakang dibuka, mobil dikosongkan dari penumpang, semua orang turun dan menjalani pemeriksaan dokumen.
Kalau Anda bawa kamera lengkap, Anda dapat bonus. Berupa pemeriksaan lebih lama, lebih detail, semua barang elektronik, termasuk lensa-lensa harus dicatat, dan saat pulang nanti dilaporkan kembali. Check poin lain, menggunakan anjing pejacak. Herder warna coklat yang bermoncong serem itu dibiarkan memeriksa mobil-mobil yang mau masuk Green Zone.
Setiap perempatan, pertigaan, check point, dijaga tentara bersenapan laras panjang. Di banyak sudut mobil tank, mobil antihuru-hara, panser, lengkap dengan senjata yang ditenteng oleh petugas yang berwajah serem. “Jangan mengambil gambar!” begitu bentak driver yang membawa saya dengan Land Cruiser putih yang sudah di desain anti peluru. Saya maklum, karena kalau sampai ketahuan tentara yang berjaga-jaga itu, bisa rumit urusannya. Bisa diambil kameranya, atau minimal dicopot memory card-nya.
Saya sempat mikir, mobil yang saya tumpangi ini memang anti peluru, Tidak tembus ditembak. Tapi kan tidak tembus bom? Kalau kena bom, rasanya berantakan juga ini mobil? “Saya sudah pesan, pokoknya balik dari Guest House, saya milih naik mobilnya Pak Dubes, yang warna putih. Karena Menlu Prancis delapan bulan yang lalu mobilnya kena bom yang ditempatkan di knalpotnya, dan tetap selamat,” aku Karen Agustiawan, Dirut Pertamina yang ikut bersama rombongan di Land Cruiser lain yang juga anti peluru.
Apa yang terjadi dengan empat bom itu? Ledakannya cukup nendang! Syaiful Anwar, staf KBRI menyebut, kaca-kaca di KBRI pecah berantakan. Ini kali pertama, sejak bom terakhir bulan Maret 2012 lalu menghajar Bagdad. Kala itu, tidak sampai pecah-pecah. “Kali ini, ledakan bomnya lebih keras, lebih merusak, dan makin mendekati Green Zone,” jelasnya.
Zona hijau atau Green Zone sendiri, sebenarnya sudah sangat luas, hampir sepertiga luasan Kota Bagdad. Kawasan ini dijaga superketat oleh tentara dengan kekuatan penuh dan peralatan yang canggih. Di area ini pula, kantor Kedutaan Amerika dan negara-negara Eropa berada. Jadi memang tidak sembarangan. Zona ini jadi sepi, karena penjagaan sangat berlebihan. KBRI itu berada di luar zona hijau ini, tetapi masih dekat dengan radius pengamanan.
Tepat dua jam dari Bagdad, kami akhirnya selamat bisa mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab. Rombongan yang diantaranya termasuk Susilo Siswoutomo, Wamen ESDM, Edy Hermantoro, Dirjen Migas, M Afdhal Bahaudin, Director of Planning Pertamina, Chrisna Damayanto Director of Processing Pertamina, bisa tidur nyenyak, di atas pesawat berkapasitas 50 seats itu. Dan mereka baru terbangun ketika roda-roda jet itu menyentuh landasan bandara internasional Dubai.
Saya duga, mereka terbangun dari mimpinya. Mudah-mudahan tidak sedang mimpi ada empat ledakan bom seperti yang menggucang Bagdad itu. Karena landingnya memang tidak terlalu mulus. Booommm…. (bersambung)
Itulah pengakuan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, begitu naik di pesawat Royal Jet, di Bagdad International Airport, pukul 22.00 semalam. Dia tidak langsung duduk di kursi. Dia hanya geleng-geleng kepala dan berjalan-jalan di kabin. Rupanya, dia masih menahan rasa galau, sejak empat bom diledakkan teroris persis di dekat Green Zone, ibu kota Irak. Bagdad betul-betul Kota 1001 Bom.
“Ini pengalaman bilateral meeting yang paling mengesankan (baca: mencekam, red). Saya berusaha menahan diri, untuk tidak panik, tidak takut, meskipun lantai bergoyang-goyang, lampu listrik mati sekitar 5 menit, kaca-kaca bergetar keras, dan suara ledakan bom itu terasa begitu dekat! Saya teruskan saja. Tetap concern pembicaraan poin-poin penting,” aku Hatta Rajasa.
Keresahan Hatta itu tidak dia pertontonkan saat acara kenegaraan tersebut. Bahkan, saat press conference ditanya wartawan, bagaimana dengan situasi dan keamanan Bagdad, dia ikut menimpali. “Saya kira aman! Kalau tidak aman, tidak mungkin pemerintah RI menempatkan Pak Dubes Safzen Noerdin dan seluruh staf KBRI di ibu kota Irak ini,” jawabnya, membesarkan hati Deputi Perdana Menteri Irak Dr Hussein Al Shahristani.
Hussein sendiri mengakui, sampai saat ini memang belum 100 persen bebas dari teror bom di beberapa kota. Konflik panjang aliran Sunni dan Syiah, menjadi salah satu sebab, mengapa Negeri Aladin ini tidak segera bebas dari terorisme. “Tapi percayalah, jumlag rata-rata orang yang tewas karena insiden dan kejahatan di Canada, lebih banyak daripada di Irak!” kilahnya.
Sejak mendarat di Bagdad, aroma seram memang tidak bisa dihindarkan. Dalam perjalanan dari airport menuju Guest House di Green Zone, sudah harus melewati lebih dari 5 kali check point. Mobil-mobil umum, yang bukan Corp Diplomat (CD) dan tamu negara, harus minggir, berhenti, mesin dimatikan, semua pintu dibuka, kap mobil dibuka, bagasi belakang dibuka, mobil dikosongkan dari penumpang, semua orang turun dan menjalani pemeriksaan dokumen.
Kalau Anda bawa kamera lengkap, Anda dapat bonus. Berupa pemeriksaan lebih lama, lebih detail, semua barang elektronik, termasuk lensa-lensa harus dicatat, dan saat pulang nanti dilaporkan kembali. Check poin lain, menggunakan anjing pejacak. Herder warna coklat yang bermoncong serem itu dibiarkan memeriksa mobil-mobil yang mau masuk Green Zone.
Setiap perempatan, pertigaan, check point, dijaga tentara bersenapan laras panjang. Di banyak sudut mobil tank, mobil antihuru-hara, panser, lengkap dengan senjata yang ditenteng oleh petugas yang berwajah serem. “Jangan mengambil gambar!” begitu bentak driver yang membawa saya dengan Land Cruiser putih yang sudah di desain anti peluru. Saya maklum, karena kalau sampai ketahuan tentara yang berjaga-jaga itu, bisa rumit urusannya. Bisa diambil kameranya, atau minimal dicopot memory card-nya.
Saya sempat mikir, mobil yang saya tumpangi ini memang anti peluru, Tidak tembus ditembak. Tapi kan tidak tembus bom? Kalau kena bom, rasanya berantakan juga ini mobil? “Saya sudah pesan, pokoknya balik dari Guest House, saya milih naik mobilnya Pak Dubes, yang warna putih. Karena Menlu Prancis delapan bulan yang lalu mobilnya kena bom yang ditempatkan di knalpotnya, dan tetap selamat,” aku Karen Agustiawan, Dirut Pertamina yang ikut bersama rombongan di Land Cruiser lain yang juga anti peluru.
Apa yang terjadi dengan empat bom itu? Ledakannya cukup nendang! Syaiful Anwar, staf KBRI menyebut, kaca-kaca di KBRI pecah berantakan. Ini kali pertama, sejak bom terakhir bulan Maret 2012 lalu menghajar Bagdad. Kala itu, tidak sampai pecah-pecah. “Kali ini, ledakan bomnya lebih keras, lebih merusak, dan makin mendekati Green Zone,” jelasnya.
Zona hijau atau Green Zone sendiri, sebenarnya sudah sangat luas, hampir sepertiga luasan Kota Bagdad. Kawasan ini dijaga superketat oleh tentara dengan kekuatan penuh dan peralatan yang canggih. Di area ini pula, kantor Kedutaan Amerika dan negara-negara Eropa berada. Jadi memang tidak sembarangan. Zona ini jadi sepi, karena penjagaan sangat berlebihan. KBRI itu berada di luar zona hijau ini, tetapi masih dekat dengan radius pengamanan.
Tepat dua jam dari Bagdad, kami akhirnya selamat bisa mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab. Rombongan yang diantaranya termasuk Susilo Siswoutomo, Wamen ESDM, Edy Hermantoro, Dirjen Migas, M Afdhal Bahaudin, Director of Planning Pertamina, Chrisna Damayanto Director of Processing Pertamina, bisa tidur nyenyak, di atas pesawat berkapasitas 50 seats itu. Dan mereka baru terbangun ketika roda-roda jet itu menyentuh landasan bandara internasional Dubai.
Saya duga, mereka terbangun dari mimpinya. Mudah-mudahan tidak sedang mimpi ada empat ledakan bom seperti yang menggucang Bagdad itu. Karena landingnya memang tidak terlalu mulus. Booommm…. (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Surga Para Diver, Fotografer dan Hunter Underwater
Redaktur : Tim Redaksi