jpnn.com - jpnn.com - Perkawinan usia dini masih mudah dijumpai di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2012, anak perempuan yang menikah pada usia 10-15 tahun mencapai 11,13 persen.
BACA JUGA: Wah Ada Apa Nih, Pernikahan Dini Kok Makin Banyak
Sedangkan anak perempuan yang menikah di usia antara 16-18 tahun sebanyak 32,10 persen (BPS, 2013).
Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia tersebut telah menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Kamboja ASEAN (BKKBN 2012).
Hal ini merefleksikan masih adanya persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. Posisi anak perempuan masih rentan menjadi korban kepentingan pihak lain. Situasi ini menjadikan anak perempuan semakin rentan mengalami kemiskinan.
Maraknya praktik perkawinan anak ini merefleksikan adanya dua kekuatan wacana yang saling mempertahankan.
Di satu sisi, wacana perkawinan anak sebagai salah satu bentuk kekerasan.
Karena itu, berbagai advokasi dilakukan oleh banyak pihak, baik dari akademisi, praktisi, maupun pemerintah.
Namun, kekuatan advokasi ini diuji dengan masih adanya sejumlah pihak yang mempertahankan praktik perkawinan anak dan mensosialisasikan sebagai salah satu tren dan gaya hidup yang positif.
Dengan dalih menjaga harga diri dan menerapkan ajaran agama, perkawinan anak dianggap dibolehkan, bahkan dianjurkan.
Padahal, cukup banyak fakta telah menunjukkan bahwa perkawinan anak melahirkan banyak persoalan.
Fatayat Nahdatul Ulama (NU) telah melakukan kajian tentang perkawinan anak yang lebih ditekankan terhadap pengalaman proses reproduksi yang dijalani perempuan yang menikah dini.
Fatayat NU juga telah melakukan upaya pencegahan perkawinan anak.
Karena itu, Pengurus Pusat Fatayat NU bekerja sama dengan the Ford Foundation menyelenggarakan Seminar Kajian Perkawinan Anak dan Upaya Penanggulangannya di Hotel Bintang Griya Wisata Jakarta, Rabu (22/2).
”Fatayat NU sangat mendorong dan berupaya keras untuk terus memberikan advokasi guna mengurangi praktik pernikahan di bawah umur untuk lebih menciptakan kemaslahatan,” kata Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini.
Meskipun upaya hukum yang dilakukan sejumlah LSM dengan melakukan pengujian yudisial (judicial review) pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak membuahkan hasil yang diharapkan, tapi pihaknya merasa perlu tetap mengkaji kembali kebijakan UU Perkawinan tersebut.
Dalam seminar ini, sesi pertama akan menyajikan sejumlah pemaparan hasil kajian perkawinan anak di berbagai daerah di Indonesia yang disampaikan Ketua PP Fatayat NU Bidang Penelitian dan Pengembangan Iklilah Muzayyanah DF.
“Penelitian ini menggunakan perspektif perempuan dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai sumber data utama. Penelitian yang dilakukan di enam daerah ini menemukan adanya berbagai masalah relasi gender dan persoalan kesehatan reproduksi pada anak perempuan yang menikah di usia anak,” tuturnya.
Seminar ini juga memaparkan hasil penelitian Puslitbang Kementerian Agama RI tentang perkawinan anak di tujh wilayah di Indonesia yang disampaikan Kepala Bidang pada Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kemenag Kustini.
Sesi kedua menghadirkan narasumber Maria Ulfah Anshor dari KPAI dan Ida Rosyidah, peneliti Pusat Riset Gender Universitas Indonesia.
Dalam sesi ini, kedua narasumber akan memaparkan strategi pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak yang telah dilakukan di lembaga masing-masing.
Seminar ini menghadirkan lebih dari seratus peserta yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat berbasis Islam di Indonesia, engurus Fatayat NU di tingkat Pusat, koordinator wilayah se-Indonesia, lima pengurus wilayah, pengurus cabang se-Jabodetabek, pengelola PIKER dan LKP3A Fatayat NU dari sepuluh kabupaten/kota di lima provinsi.
Hasil kajian ini akan didiseminasi pada seluruh cabang Fatayat NU guna memperkuat peran dalam mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak.
Selain itu, informasi konstruktif ini juga dapat menjadi acuan bagi masyarakat, terutama para tokoh masyarakat dan tokoh agama agar turut serta mengambil peran penting dalam upaya mencegah praktik perkawinan anak ini.
“Saya berharap semua tokoh masyarakat untuk terlibat dan proaktif dalam mempersiapkan generasi, keluarga dan bangsa yang mashlahah” pungkas Anggia. (jos/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ragil