jpnn.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menilai rencana penurunan harga gas industri per 1 April nanti belum tentu membawa dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri dalam waktu dekat.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Komisi Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, Achmad Widjaja, di Jakarta.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Honorer K2 Menunggu Entah Sampai Kapan, 6 Menteri Disentil
"Tidak bisa semudah itu industri langsung tumbuh (grow up) ketika harga gas industri diturunkan, karena terkait juga kondisi ekonomi nasion dan global," kata Achmad.
Dia menambahkan, harga gas industri sebelumnya sudah lama cukup tinggi dan ini menyebabkan pertumbuhan industri mengalami pelambatan.
BACA JUGA: Dua Pria Keracunan Gas Saat Memperbaiki Sumur di Rumah
"Mungkin industri bisa terlihat pertumbuhannya akhir tahun nanti, jika benar jadi diturunkan pada April nanti. Tapi jika batal diturunkan, industri akan terus mengalami pelambatan," jelas dia.
Menurut mantan ketua umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) tersebut, ketika kondisi ekonomi stabil, industri sebenarnya bisa tumbuh di level tujuh persen dari semula lima persen.
BACA JUGA: PGN Ikuti Kebijakan Pemerintah Terkait Harga Gas Industri
"Namun, dengan kondisi ekonomi saat ini, bisa bertahan di angka lima persen sudah bagus," ujar dia.
Dia berkomentar, ada lima industri yang akan terdampak jika harga gas industri turun, yakni petrokimia, pupuk, keramik, kaca lembaran, dan baja.
Terpisah, mantan wakil ketua Komisi VI DPR Inas N Zubir mengatakan penurunan harga gas industri merupakan bentuk insentif yang diberikan pemerintah, sehingga industri dalam negeri dapat tumbuh dan bersaing di kawasan maupun global untuk mendorong perekonomian nasional.
Menurutnya, upaya menurunkan harga gas industri sebagaimana amanat Perpres No 40/2016 dilakukan melalui pengurangan atau penghilangan bagian negara dari hulu sebesar kurang lebih USD 2,2/MMBTU.
"Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pengantar rapat terbatas pada 6 Januari 2020 dengan dua opsi tambahan yaitu penerapan DMO dan pelaksanaan impor gas," jelas dia.
Inas menilai, jika dilihat mundur ke belakang atau tepatnya pada 2005, pemerintah pernah mencabut subsidi BBM untuk industri karena kemampuan APBN yang tidak lagi bisa menopang beban subsidi BBM.
"Tapi jika pengurangan penerimaan negara dari hulu dilaksanakan dalam rangka memberikan insentif untuk industri, maka hal ini adalah bentuk lain dari subsidi untuk bahan bakar industri karena pada akhirnya berdampak kepada target penerimaan APBN dan keuangan negara," ungkap dia.
Inas mempertanyakan apakah langkah tepat jika negara memberikan subsidi gas bumi untuk industri? Padahal, imbuh dia, kebijakan yang mirip seperti itu sudah pernah ada lalu dicabut oleh pemerintah, yaitu subsidi BBM industri pada 2005.
"Apakah pemerintah sudah putus asa sehingga sudah tidak bisa menemukan instrumen atau solusi lain yang dapat diberikan kepada industri agar dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan perekonomian nasional dibandingkan memilih untuk melakukan skema subsidi gas bumi untuk industri?" tambahnya.
Inas menyarankan, pemerintah perlu melakukan evaluasi apakah memang keputusan yang akan diambil ini menuju ke jalan yang benar atau malah sebaliknya menggerus keuangan negara saja, karena nilai tambah yang seharusnya diberikan industri tidak tercapai.
Di satu sisi, sesuai data per Januari 2020, harga BBM industri jenis HSD adalah Rp 13.365 per liter atau setara USD 27,20 per MMBTU dan jenis MFO adalah sebesar Rp 11.220 per liter atau setara USD 21,19 per MMBTU. Sementara harga gas bumi industri berkisar di USD 8,87 per MMBTU.
"Melihat profil tersebut, maka sejatinya harga gas bumi adalah 32 persen dari harga HSD dan 42 persen dari harga MFO dan jauh lebih kompetitif dibandingkan bahan bakar minyak," pungkas Inas. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia