Dunia Pendidikan, dari Kartini hingga Mahatma Gandhi

Oleh : Khoirunnisa, S.Sos.,M.Si, Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Senin, 22 Januari 2024 – 11:28 WIB
Khoirunnisa, S.Sos.,M.Si, Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Pendidikan Pendorong Perubahan Sosial

Raden Ajeng Kartini adalah salah satu tokoh perempuan Indonesia yang sangat berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia. Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Kartini dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia dan pejuang hak-hak perempuan. 

BACA JUGA: Pegadaian Masuk Dalam Jajaran Top 50 Kartini Humas Indonesia

Kartini diakui karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Pandangannya yang progresif  pada masanya telah membawa perubahan signifikan dalam peran perempuan di masyarakat. Salah satu kontribusi besar Kartini adalah pada bidang pendidikan. Dia memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Pemikirannya tentang pendidikan sebagai sarana untuk memerdekakan perempuan telah menginspirasi banyak orang dan membantu membentuk sistem pendidikan Indonesia. Kartini mengajukan gagasan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan berkembang secara pribadi.

Raden Ajeng Kartini, dengan visi progresifnya, memimpin perjuangan yang luar biasa untuk meningkatkan posisi dan hak-hak perempuan di masyarakat pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda, terutama dalam bidang pendidikan. Kartini meyakini bahwa pendidikan adalah kunci pembebasan perempuan. Pada masanya, perempuan terbatas dalam hal akses pendidikan dan Kartini berusaha merubah paradigma ini. Dia memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, yakin bahwa pengetahuan dan kecerdasan akan memberikan kebebasan kepada perempuan.

BACA JUGA: Catatan Ketua MPR: Pangan dan Bijak Berutang, Membarui Prioritas di Tengah Ketidakpastian

Kartini tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan perempuan. Dia percaya bahwa dengan pendidikan, perempuan dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi individu yang mandiri, berkontribusi pada masyarakat, dan mengambil peran aktif dalam pembentukan nasibnya sendiri. Seperti yang disampaikan dalam korespondensinya: “O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Bagi masyarakat kita pasti akan membahagiakan, bilamana wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik. Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, agar supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita”.

Kartini melihat bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan adalah salah satu bentuk diskriminasi yang harus diatasi. Dia menentang norma-norma sosial yang menghambat perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi. Gagasan ini menjadi dasar bagi gerakan pemberdayaan perempuan di Indonesia, yang kemudian melibatkan upaya untuk menyediakan akses pendidikan yang setara bagi semua. Karena menurutnya "…Pemerintah tidak akan sanggup memberi makan semua orang, tapi tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya agar dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran, serta memberi kesempatan kepada anak bangsa baik laki-laki dan perempuan untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan bangsanya kearah perkembangan jiwa, kearah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan ....". Masih kurangnya pemahaman mengenai kesetaraan di masyarakat kita, yang kemudian masih banyak pula aturan-aturan dibuat hanya untuk menyesuaikan, memenuhi, mengakomodir tuntutan, namun tidak sepenuhnya dijalankan untuk diberikan daya, seperti 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, tetapi sejak tahun 2012 perempuan sebagai anggota KPU-Bawaslu kurang dari 30 persen. 

BACA JUGA: Membedah Klaim Gibran soal Resiliensi Ekonomi Indonesia

Hal ini tentu menimbulkan protes dari para aktivis perempuan, salah satunya anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yang mengatakan, ”Dalam diri perempuan juga ada keterwakilan daerah, keahlian, agama, suku, organisasi masyarakat, dan lain sebagainya. Kalau mau, dicari irisan terbanyak.” 

Selain pengetahuan akademis, Kartini juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan karakter. Dia menekankan nilai-nilai moral, keberanian, dan kemandirian dalam proses pendidikan. Pendidikan yang seimbang antara pengetahuan dan karakter dianggapnya esensial untuk membentuk perempuan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berdaya dan bertanggung jawab. Seperti kutipan dari suratnya yang ditujukan pada salah seorang korspondensinya Ny.Abendanon,21 Januari 1901, "Pendidik ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja; bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas, pikiran belumlah lagi jaminan orang hidup susila dan mempunyai budi pekerti...“

Kartini melihat pendidikan sebagai pendorong perubahan sosial. Dengan memberikan akses pendidikan yang luas kepada perempuan, Kartini yakin bahwa mereka dapat berperan dalam mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan setara. Melalui gagasannya mengenai pendidikan, Kartini membuka jalan bagi perubahan signifikan melalui peran perempuan pada masyarakat Indonesia. Pemikirannya yang maju dan perjuangannya untuk kesetaraan gender dan pendidikan telah meninggalkan warisan penting yang terus memengaruhi perkembangan sosial dan pendidikan di Indonesia hingga saat ini. 

Meskipun Kartini tidak hidup lama dan tidak melihat langsung hasil perjuangannya, warisannya terus menginspirasi dan memberikan dampak positif pada peran perempuan di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya hak-hak perempuan, pendidikan, dan kebebasan terus menjadi nilai-nilai yang dihargai dalam masyarakat Indonesia dan menjadi sumber inspirasi bagi perempuan modern di Indonesia yang mencakup berbagai aspek yang telah memotivasi dan memberdayakan generasi setelahnya. Secara keseluruhan, warisan inspirasional Kartini tidak hanya terbatas pada masa lalunya, tetapi juga terus memberdayakan perempuan modern Indonesia. Gagasan-gagasannya tentang kemandirian, pendidikan, dan kebebasan menjadi pendorong utama bagi perempuan untuk mengejar impian mereka dengan keyakinan dan tekad. 

Kemandirian, Pendidikan dan Kebebasan bukanlah milik segelintir orang yang memiliki kuasa dan derajat yang tinggi, yang oleh Kartini disebut bangsawan. Menurutnya hanya ada dua macam bangsawan, bangsawan pikiran dan bangsawan budi, sehingga derajat dan status seseorang tidak akan ada artinya tanpa memiliki pikiran dan budi.  Pikiran dan budi serta pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai moral, keberanian, dan kemandirian dalam proses pendidikan merupakan pendorong perubahan sosial.

Tantangan Baru Dunia Pendidikan di Era Transformasi Teknologi

Wajah dunia pendidikan saat ini sangat erat kaitannya dengan teknologi. Perkembangan teknologi telah membawa dampak besar pada cara kita belajar, mengajar, dan mengelola sistem pendidikan. Aspek penting antara keduanya, pendidikan dan teknologi seharusnya dapat berjalan seiring dan berkeadilan. Karena sejatintya pendidikan merupakan hak dari tuap individu yang juga menjadi kewajiban bagi negara dalam merealisasikan hak tersebut. Saat ini dunia pendidikan bertranformasi melalui teknologi. Banyaknya platform pembelajaran online, kursus daring, kelas virtual yang saat ini sering digunakan. Hal tersebut dimaksudkan guna membantu meningkatkan pengalaman belajar. Teknologi memfasilitasi pendidikan jarak jauh, memungkinkan siswa untuk mengakses pelajaran tanpa harus berada di lokasi fisik yang sama dengan pengajar. 

Walaupun teknologi membawa banyak manfaat, tetapi tantangan seperti aksesibilitas, kesenjangan digital, dan masalah keamanan juga perlu diperhatikan dalam mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan. 

Mahatma Gandhi, seorang  pemimpin revolusioner yang pemikirannya lebih banyak terfokus pada nilai-nilai moral, etika, dan keadilan sosial daripada pada perkembangan teknologi. Meskipun demikian, beberapa prinsip yang dianut oleh Gandhi bisa memiliki relevansi atau relevansi potensial terhadap penggunaan teknologi dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan, penggunaan teknologi dapat diarahkan untuk memastikan inklusivitas dan aksesibilitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau kurang mampu.

Gandhi memandang pendidikan sebagai sarana pemberdayaan. Teknologi dapat diarahkan untuk memberdayakan individu dengan memberikan akses ke pengetahuan, pelatihan, dan peluang pembelajaran yang setara. Dan diapun  menekankan pendekatan holistik terhadap pendidikan, yang mencakup pengembangan fisik, mental, dan moral. Teknologi dapat digunakan untuk mendukung pendekatan ini dengan menyediakan sumber daya yang mencakup aspek-aspek tersebut. 

Nah untuk point terakhir ini yang kita perlu perhatikan bahwa tidak semua sumber daya manusia kita memiliki kecukupan dalam semua aspek yang dibutuhkan dalam pembelajaran dengan penggunaan teknologi. Katakan saja misalnya tenaga pengajar yang senior karena faktor usianya, sekalipun memiliki pengalaman mengajar yang cukup namun kemampuan dalam penggunaan teknologi, terdapat beberapa kendala sekalipun hal ini hanya sedikit jumlahnya. Belum lagi, kebutuhan akan pendekatan humanistik dalam proses pembelajaran dan etika dalam pengajaran, masih perlu mendapat perhatian dan terus dilakukan peningkatan. 

Karena, pendidikan bukan hanya proses belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan. Proses pendidikan ini mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiaannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi pengetahuan. 

Pendidikan bukan hanya kegiatan pengembangan kognitif anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan cinta dan keberanian. Sesungguhnya menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta kasih dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Jika hanya berfokus pada penggunaan teknologi tampa pemanfaatannya, jelas hanya akan menciptakan keuntungan bagi pihak yang menguasai teknologi (pemilik teknologi), jika bukan pihak kapitalis penguasa teknologi. Mengutip yang disampaikan Marx (2004), 

"Teknologi mengungkapkan cara manusia berhubungan dengan Alam, proses produksi yang digunakannya untuk menopang kehidupannya, dan dengan demikian juga mengungkapkan cara pembentukan relasi sosialnya, dan konsepsi-konsepsi mental yang mengalir darinya." Untuk itu semoga sekalipun teknologi banyak membantu dalam kehidupan kita, setidaknya hubungan sosial dalam dunia pendidikan harus tetap terjaga. Seperti halnya  Gandhi yang hidup pada era sebelum kemajuan teknologi seperti yang kita alami saat ini, prinsip-prinsip yang dipegangnya tetap memiliki relevansi dalam memandu cara kita menggunakan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Bagi mereka yang berusaha mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan, prinsip-prinsip etika, inklusivitas, dan keberlanjutan dapat menjadi pedoman yang penting.


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler