Ed Zoelverdi, Mat Kodak Itu, Telah Tiada

Mengajar pun Selalu Bawa Kamera Poket

Kamis, 05 Januari 2012 – 15:51 WIB

Belantika fotografi Indonesia kehilangan salah seorang sosok panutan: Ed Zoelverdi. Pria yang dijuluki Mat Kodak itu meninggal pada usia 67 tahun kemarin (4/1). Mantan redaktur foto majalah Tempo tersebut tak kuasa berjuang melawan kanker paru-paru.
 
 HILMI SETIAWAN, Jakarta
 
CERITA tentang meninggalnya Ed Zoelverdi meluncur mulus dari Dewi Sri, sang keponakan. Menurut dia, pamannya itu meninggal setelah dirawat di rumah sekitar dua puluh hari.
 
Selama di rumah, Ed yang hingga tutup usia belum dikaruniai putra tersebut ditemani Nur Miyati, istrinya. Mereka tinggal di rumah mantan Menteri Kehutanan Marzuki Usman di Jalan Mirah Delima II Nomor 5, Kompleks Kodam Sumur Batu, Sunter, Jakarta.
 
Dewi menceritakan, sebelum dirawat di rumah, Ed sempat menjalani perawatan di RS Persahabatan. Di rumah sakit khusus paru-paru itu, dia dirawat sekitar dua minggu. "Saat di rumah, beliau lebih suka menggunakan obat tradisional," katanya.
 
Dewi juga menyatakan, menurut kabar terakhir dari rumah sakit, kanker yang menggerogoti Ed sudah berstadium lanjut. Dia juga mengungkapkan bahwa tubuh pamannya semakin terlihat kerempeng.
 
Selama dirawat di rumah, Ed sudah tidak bisa diajak berkomunikasi. Kondisi pria kelahiran Aceh, 12 Maret 1943, itu terus menurun hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Setelah disalati di masjid setempat, jenazah Ed dimakamkan di TPU Kemiri, Rawamangun, Jakarta.
 
Nur ikhlas melepas kepergian sang suami untuk selamanya. Dia mengungkapkan bahwa kondisi Ed tidak mengalami perkembangan signifikan setelah dipulangkan dari rumah sakit. Menurut dokter, Ed mengalami kanker paru-paru stadium tiga. "Kesempatan untuk sembuh sangat kecil," ungkap Nur.
 
Kenangan Ed sebagai dosen masih melekat di benak beberapa alumnus Universitas Indonesia (UI). Di kampus itulah Ed menjadi dosen. Anindita Dwi Puspita, alumnus UI 2008, menuturkan, Ed dikenal sebagai dosen yang tidak pernah marah. "Kami memanggil beliau dengan sebutan bang," tuturnya.
 
Dalam sebuah kesempatan, Anindita dan teman-temannya berebut menyetorkan hasil jepretan paling bagus kepada Ed. Tujuannya, foto mereka bisa masuk slide presentasi Ed ketika mengajar. Meski bisa masuk slide, tak banyak yang mendapat pujian. "Yang sering itu kritik," katanya.
 
Di tempat pemakaman, beberapa kolega Ed ikut mengantar jenazah hingga ke liang lahad. Di antaranya, wartawan senior Fikri Jufri. Dia juga sempat berpidato setelah jenazah Ed dikebumikan. Pemakaman itu berlangsung khidmat.
 
Kenangan terhadap sosok Ed diutarakan kurator sekaligus fotografer senior Oscar Motuloh. Dia menyatakan, salah satu ciri khas penampilan Ed adalah selalu menggunakan baju safari gelap lengkap dengan kantong bolpoin di lengan kiri. "Almarhum sangat berminat terhadap dunia seni lukis," ungkapnya.
 
Oscar mengingat masa-masa bersama Ed di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Dalam beberapa percakapan, Oscar menyatakan bahwa Ed juga ingin belajar menulis kepada Goenawan Mohamad. Siapa sangka, ambisi itu kesampaian ketika Ed bergabung dengan Tempo.
 
Sebelum di Tempo, Ed ikut membidani majalah berita mingguan bernama Ekspres. Dia kemudian hijrah ke Gatra. Di tempat baru tersebut, dia bekerja sebagai editor dan sering menulis kolom fotografi. "Almarhum belajar fotografi secara otodidak dari kamera pinjaman," kata Oscar.
 
Kecintaan Ed pada dunia foto terus dibawa ketika mengajar di UI. Dia tidak pernah lupa membawa satu unit kamera poket. Tidak jarang dia secara sembunyi-sembunyi memotret aktivitas para mahasiswanya. Kemudian, foto hasil jepretannya itu diedit lalu ditampilkan sebagai pelengkap saat mengajar. (*/c5/ca)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Setiawan Djody Kembali Bermusik setelah Sukses Jalani Ganti Hati


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler