Edison Poltak Siahaan, Ketua Perhimpunan Wicara Esofagus yang Getol Kampanyekan Bahaya Merokok

Stres Kehilangan Pita Suara, Kini Jadi Motivator Ulung bagi Penderita Kanker Laring

Rabu, 21 November 2012 – 20:28 WIB
Ketua Perhimpunan Wicara Esofagus Indonesia Edison P Siahaan ketika ditemui di Kalibata Mall, Kamis lalu (15/11). Foto: Sekaring Ratri/Jawa Pos

Akibat merokok, Edison Poltak Siahaan harus merelakan pita suaranya diangkat. Dia tidak bisa berbicara lagi layaknya orang-orang normal. Tak ingin orang lain bernasib seperti dirinya, Edison kini gencar mengampanyekan gerakan berhenti merokok lewat Perhimpunan Wicara Esofagus.

 SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta

USIANYA sudah memasuki senja. Tahun ini Edison Poltak Siahaan genap 74 tahun. Namun, di usia setua itu, dia tergolong lansia yang sehat. Kondisi tubuhnya tampak selalu fit. Posturnya tegak, tidak bungkuk dan ringkih. Dia juga masih sering naik angkutan umum daripada mengendarai mobil pribadi.
 
Sekilas, memang tidak ada yang salah dengan fisik Edison. Hanya, bagian lehernya selalu ditutupi kain putih. Ketika dia bicara, suara yang keluar juga tidak seperti suara orang-orang normal lain. Suaranya lirih, parau, dan cenderung mirip bunyi robot.

Kalau tidak terbiasa, lawan bicara bisa kesulitan menangkap apa yang dia katakan. Karena itu, terkadang Edison perlu menenteng mikrofon mini ke mana pun dirinya pergi.
 
"Sebagai bantuan seandainya orang yang saya ajak bicara tidak bisa memahami apa yang saya katakan. Tapi, (mikrofon) ini sudah agak rusak sehingga suaranya nggak sejernih dulu," ujar Edison ketika ditemui di Kalibata Mall Kamis pekan lalu (15/11).
 
Edison adalah salah seorang mantan penderita kanker laring. Bahkan, kankernya dulu termasuk stadium berat. Karena kanker itu sudah menggerogoti saluran pernapasannya, ayah empat anak tersebut harus merelakan pita suaranya "diamputasi".

Edison pun harus bernapas melalui lubang yang dibuat di bagian tengah lehernya. Karena itu pula, pergi ke mana pun, dia selalu melingkarkan kain putih semacam syal pada lehernya untuk menutupi lubang "hidung" tersebut. "Saya ke mana-mana juga selalu bawa tisu untuk membersihkan kotoran yang keluar dari lubang ini," tutur dia.
 
Meski menyandang status tunalaring, Edison tergolong orang yang percaya diri. Dia tidak malu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dia juga tidak segan menunjukkan lubang buatan di lehernya. Hanya, dia belum bersedia difoto dengan kondisi lubang yang terbuka.
 
"Kalau cuma dilihat tidak apa-apa. Tapi, kalau difoto, saya malu," jelas Edison sembari tersenyum.
 
Berkat kegigihannya bersosialisasi sebagai mantan penderita kanker laring, Edison didaulat menjadi ketua Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE) Indonesia, organisasi tempat berkumpulnya para penyandang tunalaring. Di PWE, dia juga merangkap sebagai instruktur untuk melatih teknik berbicara para penyandang tunalaring. Setiap dua bulan, anggota PWE berkumpul di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk belajar tentang teknik berbicara sekaligus berbagi pengalaman.
 
"Saya lihat perkembangan teknik berbicara mereka. Kalau ada yang kurang bagus, terus kami latih semaksimal mungkin," tuturnya.
 
Para anggota juga memanfaatkan forum itu untuk bertukar pengalaman sebagai mantan penderita tunalaring. "Apa pun, kami ini memiliki kekurangan. Jadi, sangat perlu penyesuaian dengan lingkungan," urai dia.
 
Pria kelahiran 27 Desember tersebut menjadi ketua PWE Indonesia sejak 2007. Dia dipilih karena dikenal sebagai motivator andal di komunitas tunalaring. Selain itu, Edison memiliki kemampuan sebagai instruktur. "Mungkin karena saya paling senior sehingga dipilih," ujar dia merendah.

Sejak saat itu, Edison membawahkan 150 anggota PWE di seluruh Indonesia. Dia juga melakukan banyak perubahan di tubuh organisasi. Misalnya, bila sebelumnya PWE hanya menjadi wadah untuk belajar tentang teknik bicara dan berbagi pengalaman antar sesama penyandang tunalaring, Edison ingin lebih dari itu.

Dia ingin PWE bisa berbuat lebih untuk para penderita kanker laring yang masih berada dalam tahap perawatan. Karena itu, dia kerap mengajak para anggotanya berkeliling RSCM dan RS Kanker Dharmais untuk menemui pasien-pasien yang tengah berjuang melawan kanker laring.
 
"Kami menyemangati mereka agar tidak putus asa. Karena banyak yang stres sebelum menjalani operasi pengangkatan pita suara. Mereka takut membayangkan tidak bisa berbicara lagi. Karena itu, ketika kami mendatangi mereka dan bisa berbicara, mereka biasanya heran," papar Edison.

"Saya bilang pada mereka, tidak punya pita suara bukan berarti kiamat. Hidup itu anugerah dari Tuhan, harus disyukuri," tambah dia.
 
 
Edison sendiri terserang kanker laring lantaran kebiasaannya merokok. Sebelum kanker menggerogoti saluran pernapasannya, dia termasuk perokok berat. Dalam sehari, Edison bisa menghabiskan dua sampai tiga pak rokok. Dia mulai merokok pada usia yang sangat muda, saat masih duduk di kelas dua SMP. Kebiasaan merokok tersebut berlanjut hingga dia beranak pinak. Tak pernah sedikit pun dia terpikir untuk berhenti merokok.
 
Pada 1995, efek merokok baru dia rasakan. Saat berlibur ke Timur Tengah, tiba-tiba suara Edison menjadi serak. Awalnya, dia membiarkannya. "Saya pikir, suara saya jadi serak karena perbedaan suhu antara Indonesia dan Timur Tengah," kenang dia.
 
Namun, sepulang dari liburan, suara Edison belum juga pulih. Bahkan, suaranya makin serak dan hilang. Pernapasannya juga mulai terganggu. Edison mencoba berobat ke sana kemari, namun penyakitnya tak sembuh-sembuh.
 
Akhirnya, pada 1997, dia memutuskan untuk menjalani endoskopi. Tapi, hasilnya negatif alias tidak ada yang salah dengan saluran pernapasannya. Anehnya, suaranya tetap serak dan dia sulit bernapas. Dia pun kembali melakukan endoskopi. "Saya lakukan sampai lima kali," terang dia.
 
Edison memang bandel. Meski kondisi pernapasannya tidak normal, dia tetap merokok seperti biasanya. Padahal, dokter secara tegas meminta dia berhenti merokok total. Dia pernah mencobanya, tapi selalu gagal.
 
"Istri saya ikut membantu upaya saya. Dia selalu cek jam tangan. Kalau belum satu jam, saya nggak boleh merokok. Sampai pernah ada tamu bertanya kenapa istri saya terus lihat jam, apa ada janji. Setelah saya jelaskan alasannya, mereka tertawa," papar dia.
 
Sejak 1997 hingga empat tahun kemudian, Edison masih aktif merokok. Sampai akhirnya, pada 2001, dia kolaps. Edison sama sekali tidak bisa bernapas. Pria kelahiran Parapat, Sumatera Utara, itu pun langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSCM.

Sehari kemudian, Edison bisa kembali bernapas. Dia pun pulang keesokan harinya. Setelah pulang, dia menyempatkan diri untuk memeriksakan kondisi ke klinik khusus THT langganannya. Sesudah dia memeriksakan kondisi, dokter klinik tersebut langsung mengharuskan Edison masuk rumah sakit.

Dia bahkan memberikan surat rujukan agar segera dilakukan operasi. Edison kembali masuk rumah sakit. Dia akan menjalani dua operasi, yakni operasi untuk membikin lubang di leher dan operasi pengangkatan kanker secara total, termasuk pita suaranya.

Mendengar vonis bahwa pita suaranya harus diangkat, Edison tidak bisa protes. Sebab, kondisinya sudah benar-benar lemah. Dia sangat sulit bernapas. Bahkan, berat badannya turun drastis dari 65 kg menjadi 45 kg.

Namun, dalam kondisi yang sudah parah seperti itu, Edison tetap bandel. Menjelang operasi, dia masih sempat merokok. "Kalau pas ke kamar mandi, saya merokok sembunyi-sembunyi, satu batang kan lumayan," kata dia sembari terkikik.

Akhirnya, pada Juni 2001, operasi pengangkatan pita suara dilakukan. Dia juga harus menjalani radiasi sampai 33 kali. Edison merasa sangat terpuruk. Selain harus merelakan pita suaranya diambil, pada November 2001 dia kehilangan anak bungsunya yang meninggal akibat kecelakaan.

"Saya benar-benar stres kehilangan anak bungsu saya itu," kata kakek empat cucu tersebut.

Selain kehilangan pita suara, Edison tidak memiliki indra penciuman lagi. Dia tidak mampu mencium benda yang aromanya kurang kuat.

"Kalau parfum masih bisa. Tapi, kalau kayak asap rokok atau bau selokan, saya tidak bisa mencium baunya," ujarnya.
 
Sejak itu, Edison memutuskan untuk berhenti merokok secara total. Sejak indra penciumannya tidak lagi sempurna, dia tidak bisa menikmati rasa rokok lagi.
 
Hidup tanpa pita suara pada awalnya membuat Edison stres dan minder. Sebab, sebelumnya dia dikenal sebagai penyanyi yang kerap tampil di sejumlah acara keluarga dan kolega. Akibatnya, dia enggan pergi ke mana-mana."Jika harus bepergian, dia terpaksa harus membawa bolpoin dan block note untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebab, dia tidak bisa berbicara secara normal.
 
Namun, sejak bergabung dengan PWE, semangat hidup Edison kembali muncul. Dia ingin bisa berbicara seperti anggota-anggota PWE yang sudah fasih bercakap-cakap. Tentu itu tidak mudah. Edison harus lebih dulu belajar bersendawa. Sebab, sendawa membantu para penyandang tunalaring mengenali suku kata.
 
"Jadi, kalau sendawanya dua kali, berarti ada dua suku kata. Kalau tiga kali, ya ada tiga suku kata dan seterusnya," jelas dia.
 
Kelihatannya memang mudah berlatih suku kata dengan bersendawa. Tapi, kenyataannya cukup sulit. Edison butuh waktu setahun hanya untuk bisa menyusun kata dengan baik tanpa terbata-bata.
 
Pada 2003, Edison bersama seorang kawan yang juga tunalaring dikirim ke Jepang selama tiga bulan untuk belajar menjadi instruktur berbicara bagi para penyandang tunalaring. Sepulang dari sana, Edison sudah mahir berbicara dan dianggap pantas menjadi instruktur.

Sejak itu, semangat dia untuk menularkan teknik berbicara yang baik kepada para penyandang tunalaring pun kian menggebu. Dia juga dikenal sebagai motivator ulung di kalangan para penderita tunalaring. Karena itu, dia lantas dipilih menjadi ketua PWE Indonesia.
 
Edison mengisahkan, suatu kali pihak RS Kanker Dharmais menelepon dirinya. Dia diminta datang ke rumah sakit tersebut karena ada pasien kanker laring yang ingin bunuh diri. Si pasien sudah menelan banyak obat untuk mengakhiri hidupnya. Mendengar itu, Edison segera mendatangi si pasien.
 
"Pasien itu bilang, buat apa saya hidup kalau nggak bisa bicara lagi. Namun, setelah tahu bahwa saya juga seperti dia, seminggu kemudian dia mau menjalani operasi pengangkatan pita suara. Sampai sekarang dia sehat dan jadi anggota PWE aktif," jelas "pensiunan" pengusaha di bidang properti itu.
 
Meski sudah terbilang fasih, Edison tetap tidak bisa berbicara layaknya orang normal. Karena itu pula, dia kerap mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan. Misalnya, ketika menelepon atau menerima telepon, dia disangka seorang perempuan. Pernah suatu hari dia menelepon abangnya. Kebetulan, yang menerima telepon itu pembantu baru sang kakak. Berulang-ulang Edison menjelaskan bahwa dia adik laki-laki majikannya. Tapi, si
pembantu tidak percaya.
 
"Dia bilang, jangan main-main ya, Anda ini perempuan kan," urai Edison, menirukan ucapan pembantu tersebut. Karena jengkel, dia lantas membanting teleponnya. "Sore harinya dia (si pembantu, Red) datang ke rumah saya dan minta maaf," ujarnya sembari tersenyum.
 
Akibat kanker laring itu, keluarga Edison pun habis-habisan soal biaya. Dia harus merelakan mobil, tanah, hingga tabungannya habis untuk biaya pengobatan penyakit tersebut. Untuk itu, Edison berharap tidak ada lagi korban rokok seperti dirinya. Sejak menjadi ketua PWE, dia aktif mengampanyekan bahaya merokok.
 
"Saya selalu bilang, jangan pernah mencoba untuk mengurangi rokok, tapi harus benar-benar berhenti. Karena saya sudah mengalami sendiri," tegasnya.
 
September lalu, Edison hadir dalam pertemuan para korban rokok seperti dirinya. Tidak hanya mantan penderita tunalaring, ada juga mantan penderita tuberkulosis (TB), kanker payudara, hingga asma. Dalam forum itu, Edison mengusulkan agar dibentuk aliansi para korban rokok.

Lalu, lahirlah Aliansi Masyarakat Korban Rokok (AMKR). "Intinya, kami pernah menjadi perokok dan kini merasakan akibatnya. Karena itu, kami tidak ingin menambah teman senasib lagi," tandas dia. (*/c11/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sutan Bathoegana Sempat Panas, Diredakan Anas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler