jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah perlu mempercepat pembangunan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (Jargas) guna mengurangi ketergantungan pada LPG impor dan mengurangi beban subsidi negara. Langkah ini juga sejalan dengan upaya mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo di sektor energi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai investasi pada infrastruktur Jargas sangat strategis.
BACA JUGA: Spanduk Bahlil No Gas 3 Kg Yes Bermunculan, Prabowo Disarankan Copot Menteri yang Membebani
“Investasi pada Jargas dapat mengurangi ketergantungan pada LPG impor, menghemat subsidi, dan mendukung diversifikasi energi nasional,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (12/2).
Saat ini, pembangunan Jargas masih terbatas karena mayoritas pendanaannya berasal dari APBN dan hanya tersedia di beberapa wilayah. Padahal, menurut Josua, biaya Jargas lebih ekonomis dibandingkan LPG.
BACA JUGA: Pastikan Distribusi Elpiji 3 Kg Tertib, Wapres Gibran Datangi Pangkalan Gas di Pasar Manggis Jaksel
"Berdasarkan perhitungan dalam dokumen, biaya per MMBTU gas bumi lebih rendah dibandingkan LPG dan minyak tanah. Artinya, pengalihan dari LPG ke Jargas dapat mengurangi pengeluaran subsidi negara," jelasnya.
Josua mengusulkan empat langkah percepatan pembangunan Jargas, Skema Public-Private Partnership (PPP), pemberian Insentif, dan sosialisasi kepada masyarakat.
BACA JUGA: Rupanya DPR Tidak Diajak Konsultasi Soal Kebijakan Pengecer Dilarang Jual Gas Melon
Saat ini, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menjadi pihak yang konsisten menambah jumlah Sambungan Rumah Tangga (SR) Jargas. Hingga kini, PGN telah melayani lebih dari 820 ribu pelanggan, setara dengan pengurangan konsumsi 84 ribu metrik ton LPG di wilayah Jabodetabek, Cirebon, Jawa Timur, dan beberapa daerah lainnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan pentingnya pembangunan Jargas untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG dan memperkuat kedaulatan energi nasional.
“Konsumsi LPG nasional mencapai 8 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi hanya 1,7 juta ton. Sisanya, sekitar 6-7 juta ton, harus diimpor. Ini membebani anggaran negara dengan subsidi sebesar Rp60 triliun hingga Rp80 triliun,” ungkap Bahlil. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kacau, Gas 3 Kg Langka, Warga Semarang Sulit Memasak
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga