jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Prof FX Sugiyanto mengatakan deflasi berkepanjangan yang dialami Indonesia merupakan dampak dari penurunan daya beli masyarakat.
"Dalam perspektif historis, deflasi berbulan-bulan itu baru memang baru pertama kalinya dialami," katanya, di Semarang, Senin (8/10).
BACA JUGA: Palembang Sudah Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-Turut
Menurut dia, deflasi yang terjadi berdampak baik bagi masyarakat karena mereka bisa berbelanja dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Namun, jika deflasi terjadi terlalu lama bisa menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat menahan untuk mengeluarkan uang atau daya beli masyarakat memang turun.
BACA JUGA: BPS: Jateng Alami Deflasi 0,07 Persen pada Agustus 2024
"Kalau (deflasi, red) terlalu lama bisa jadi indikasi kuat ini orang menahan duit mereka untuk belanja atau tidak punya duit. Nah, dua kemungkinan ini bisa terjadi. Ini saya didukung dengan data," katanya.
FX Sugiyanto menjelaskan jika dilihat dari kelompok penghasilan, 20 persen kelompok penghasilan tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen dengan penghasilan terbawah atau termiskin.
"Nah, yang (berpenghasilan) tengah ini yang mulai berkurang daya beli, dan ini berisiko. Kedua, orang kemudian lebih baik menahan (belanja, red) karena khawatir kalau tidak ada perbaikan (pendapatan)," katanya.
FX Sugiyanto menyebut penurunan daya beli masyarakat kelas menengah diakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang menyebabkan angka pengangguran makin tinggi.
Sebagai akademisi, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip itu mengingatkan bahwa bahaya yang dihadapi sebenarnya bukan pada pengangguran terbuka, melainkan mereka yang setengah menganggur.
"Mereka yang bekerja setengah penganggur yang kadang-kadang bekerja tidak lebih dari lima jam. Itu sangat banyak, sekitar 13 juta dari 19 juta (pekerja) di Jateng," katanya.
FX Sugiyanto mengatakan kondisi deflasi berturut-turut saat ini berbeda dibandingkan saat krisis moneter 1998 karena saat itu bersifat mendadak dan hampir semua orang penghasilannya hilang langsung.
"Kalau ini kan tidak mendadak, ada sebuah proses yang memang daya belinya menurun dan ternyata daya beli itu lebih banyak dinikmati oleh kelompok atas sehingga indikatornya nanti kalau makro itu di indeks gini (ketimpangan ekonomi) makin besar," katanya.
Oleh karena itu, jika tidak segera diatasi dan dibiarkan berlarut-larut, lanjut dia, akan sangat berisiko karena tingkat pengangguran yang tinggi bisa menimbulkan kerawanan secara sosial.
Dia menyebutkan untuk solusi jangka pendek pemerintah bisa pemberian bantuan sosial (bansos) atau bantuan langsung kepada masyarakat untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat, tetapi akan sangat berisiko di momentum politik seperti sekarang.
"Solusi jangka panjangnya, ya, membuka lapangan kerja. Jadi, memang mau tidak mau pemerintah yang baru nanti, termasuk pemerintah provinsi itu harus berpikir betul menciptakan lapangan kerja," pungkas FX Sugiyanti.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul