Belanja online alias 'online shopping' semakin populer di kalangan milenial di Indonesia, terlebih barang yang ditawarkan lebih beragam dengan harga bersaing dibandingkan di toko-toko pada umumnya.
Kemunculan startup baru pun semakin marak dan beberapa bahkan telah mendapat julukan sebagai 'unicorn' di Indonesia dengan memberikan kemudahan layanan seperti pemesanan tiket, pelayanan antar-jemput, hingga layanan finansial seperti pinjaman online.
BACA JUGA: Ratusan Warga Australia Kunjungi Masjid Indonesia di Melbourne
Tapi tak banyak pula sejumlah keluhan dan laporan dari para konsumen yang merasa dirugikan, bahkan tertipu.
Dalam tiga tahun terakhir Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, atau YLKI, telah menerima banyak pengaduan terkait produk digital, khususnya belanja online dan pinjaman online.
BACA JUGA: Polisi Geledah Rumah Keluarga Brenton Tarrant di Australia
"Dalam setahun terakhir, khususnya 2018, pengaduan soal pinjaman online menggeser online shopping, seiring maraknya fintech," kata Tulus Abadi, Ketua YLKI kepada ABC Indonesia.
Menurut Tulus, pinjaman-pinjaman dari jasa keuangan online ini tidak ada bedanya dengan "rentenir online yang dilegalkan pemerintah lewat OJK [Otoritas Jasa Keuangan]".
BACA JUGA: Bagaimana Fraser Anning Terpilih Jadi Senator Australia
"OJK sepertinya membebaskan tata cara penagihan dan nilai bunga yang ditentukan antara pemberi pinjaman dan yang meminjam dan ini jadi penyebab masalah bagi konsumen."Pinjaman yang memakan korban
Bulan Februari lalu, seorang sopir taksi berusia 35 tahun ditemukan gantung diri di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Dia diduga mengakhiri hidupnya akibat terlilit utang dari pinjaman online.
Pelaku sempat menulis surat permohonan maaf kepada istri dan anaknya, serta meminta agar OJK dan pihak berwajib untuk memberantas pinjaman online yang ia sebut sebagai "jebakan setan".
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menemukan keterlambatan pembayaran kerap membuat peminjam menerima berbagai bentuk intimidasi, karena penyedia jasa pinjaman dapat mengakses kontak telepon milik peminjam.
"Hal ini sepatutnya dapat dihindari dengan cara, konsumen lebih memperhatikan hak dan kewajibannya," ujar Assyifa Szami Ilman, peneliti CIPS.
"Mereka berhak mengakses semua informasi dan pelayanan dan produk jasa keuangan yang sesuai dengan kemampuan mereka," tambahnya.
YLKI telah meminta agar pemerintah tidak hanya "mencari untung" dari manfaat ekonomi digital, tetapi pada saat yang sama mengabaikan perlindungan konsumen.
"Sampai detik ini RUU tentang transaksi online masih belum disahkan padahal ini payung hukum yang efektif," tegas Tulus.
Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cawapres KH Maruf Amin Dan Sandiaga Uno Saling Serang Namun Santun Di Debat Ketiga