jpnn.com, JAKARTA - Tiongkok dilanda lonjakan kasus virus corona pada awal 2023 tak lama setelah melonggarkan strategi ketat Nol-Covid.
Pemerintah Tiongkok melonggarkan kebijakan tersebut pada 7 Desember tahun lalu dan mengadopsi strategi hidup berdampingan dengan Covid-19.
BACA JUGA: Korut Pamer Pencapaian Ekonomi 2022
Namun, setelah kebijakan tersebut dilonggarkan, beberapa kota yang sejak awal bergelut hebat dengan Covid-19 justru mengalami penurunan aktivitas ekonomi yang tajam.
Survei World Economics menunjukkan kepercayaan bisnis Tiongkok turun ke level terendah sejak Januari 2013.
BACA JUGA: Di Tengah Badai Covid-19, Ekonomi China Tumbuh 3 Persen
Survei menunjukkan aktivitas bisnis turun tajam bulan Desember 2022 dengan indeks manajer penjualan di sektor manufaktur dan jasa yang keduanya di bawah level 50.
Tidak hanya itu, survei secara kuat menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah melambat secara dramatis, dan memungkinkan akan menuju resesi pada 2023.
BACA JUGA: Prospek Ekonomi 2023, Pakar: Investasi Cenderung kepada Negara Berkembang
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Ned Price, mencatat bahwa ada dampak ekonomi dari penyebaran Covid-19 yang merajalela tidak hanya untuk Tiongkok, tetapi untuk dunia yang lebih luas.
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengakui lonjakan kasus Covid-19 di Tiongkok beberapa waktu belakangan ini memperlambat proses pemulihan ekonomi secara global.
Hal ini terjadi karena Tiongkok merupakan sumber ekspor penting bagi industri manufaktur.
Selain itu, merupakan pasar penting bagi banyak komoditas global seperti minyak sawit mentah, tembaga, kedelai, batu bara, dan bijih besi dan baja.
Dampak paling terasa yang akan muncul adalah terkait perdagangan ekspor-impor. Ketika ekonomi Tiongkok menurun, artinya permintaan komoditas ke Indonesia tentunya juga berkurang.
Selain itu, rendahnya permintaan juga bisa berdampak ke dalam negeri, sebab Tiongkok merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok memiliki kontribusi 26,5 persen dari total ekspor untuk periode Januari - November 2022. Sehingga, era tergelap yang dihadapi Tiongkok akan turut menarik Indonesia ke dalamnya.
“Menjawab kekhawatiran tersebut, negara-negara ASEAN dan juga Indonesia telah cukup menjaga kondisi makro ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya pola konsumsi dan tingkat pendapatan," ujar Joanna dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (20/1).
Tak hanya itu, Bank Indonesia juga terbukti telah melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas struktural rupiah sehingga diharapkan dampak meledaknya Covid-19 di Tiongkok terhadap perekonomian bisa berada di level minimum.
"Juga didukung dengan dilonggarkannya kebijakan zero covid policy dari pemerintah Tiongkok yang secara tak langsung akan menopang pergerakan nilai tukar rupiah,” lanjut Johanna.
Kendati demikian, dia menyebut pemerintah tetap harus siap siaga mengantisipasi skenario terburuk dalam rangka untuk menstabilisasi pasar dalam negeri dan memastikan ketersediaan pasokan dalam negeri.
"Tidak hanya itu, secara jangka panjang Indonesia harus melihat hal ini sebagai peluang dengan menjangkau pasar ekspor-impor yang selama ini didominasi oleh Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan yang berlebihan," pungkas Johanna.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul