Eks Bos CIA Sebut Insiden Benghazi Murni Aksi Teroris

Tapi, Tak Tahu Dua Grup Militan Jadi Ekstremis di Laporan

Minggu, 18 November 2012 – 09:19 WIB
WASHINGTON - Mantan Direktur CIA (badan intelijen AS) David Howell Petraeus, 60, bersaksi di depan Komite Intelijen DPR (House of Representatives) maupun Komite Intelijen Senat AS di gedung Kongres, US Capitol, Jumat siang waktu setempat (16/11) atau dini hari kemarin WIB (17/11). Dalam keterangannya, pensiunan jenderal bintang empat itu menegaskan bahwa insiden di kompleks gedung Konsulat Jenderal AS di Kota Benghazi, Libya, pada 11 September lalu adalah murni aksi teroris.

"Kesaksian Jenderal Petraeus hari ini (kemarin) sudah cukup jelas. Dari awal sampai akhir, dia mengatakan bahwa insiden tersebut merupakan aksi terorisme atau berkaitan dengan para teroris," kata Peter King, chairman Komite Keamanan Dalam Negeri DPR.

Namun, dia juga menyebut keterangan mantan komandan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) di Afghanistan itu berbeda dengan kesaksiannya sebelum sesi tanya jawab tersebut. Dalam pertemuan tertutup dengan Komite Intelijen DPR maupun Senat di ruang yang berbeda, Petraeus mengatakan bahwa sejak awal CIA telah menyebut adanya keterlibatan teroris.

Bahkan, tutur dia, dalam laporan awal, CIA sempat menuliskan nama dua kelompok militan yang diduga mendalangi insiden itu. Yakni, kelompok Ansar al-Shariah dan Islamic Maghreb yang merupakan afiliasi Al Qaeda.
Belakangan, dua kelompok itu diganti dengan ekstremis pada laporan final.

"Tetapi, Petraeus mengaku tidak tahu siapa yang mengganti nama kelompok militan itu dengan kata ekstremis," ujar staf Kongres yang merahasiakan namanya. CIA melibatkan lebih dari satu lembaga intelijen dan pemerintah dalam menyusun laporan akhir.

Senator Mark Udall, politikus Partai Demokrat dari Colorado, mengatakan bahwa CIA mengirim laporan awal tentang insiden Benghazi itu ke beberapa lembaga. Yakni, lembaga intelijen dan sejumlah lembaga federal. Lantas, setelah melewati proses peninjauan dan edit ulang, laporan awal CIA tersebut disempurnakan menjadi laporan final.

"Laporan final lantas dipresentasikan di hadapan para petinggi lembaga intelijen dan federal, termasuk Petraeus. Selanjutnya, mereka membubuhkan tanda tangan bersama pada lembar dokumen akhir," terang Udall, mengutip keterangan Petraeus. Saat proses verifikasi itu, nama dua kelompok militan itu sudah berganti menjadi ektremis.

Menurut Udall, perubahan nama itu merupakan hal yang cukup wajar. Apalagi, laporan CIA itu menjadi acuan bagi banyak pihak yang menyelidiki Insiden Benghazi.

"Kata ekstremis dipakai untuk mengubah nama dua kelompok militan yang diduga mendalangi insiden tersebut. Sebab, dalam laporan intelijen, kita harus sangat berhati-hati soal tuduhan," bebernya.

Secara terpisah, King menjelaskan bahwa mekanisme peninjauan dan pengeditan laporan awal CIA itu perlu dijelaskan lebih rinci. Jika memang isi laporan itu berubah, soal nama kelompok militan yang diduga terlibat, politikus dari Partai Republik tersebut menuntut adanya penyelidikan untuk mengetahui lembaga atau oknum yang mengubah.

"Jelas ada pihak yang mengubahnya. Kita harus tahu siapa dan alasannya," tegas King.

Dalam kesempatan itu, King menyebut bahwa Petraeus pernah memberikan kesaksian yang berbeda soal Insiden Benghazi. Pada 14 September lalu, di hadapan Komite Intelijen DPR, Petraeus tidak yakin apakah serangan yang menewaskan Dubes AS untuk Libya Christopher Stevens dan tiga staf diplomatik lainnya itu adalah ulah teroris.

"Saat itu, dia tidak seyakin ini menyebutkan keterlibatan teroris," katanya mengingatkan.

Karena itu, Komite Intelijen DPR dan Komite Intelijen Senat masih akan menggali lebih banyak informasi dari Petraeus terkait Insiden Benghazi. Apalagi, laporan final CIA itu menjadi landasan bagi Dubes AS untuk PBB Susan Rice dalam memberikan wacana yang berbeda soal insiden tersebut. Kepada media, perempuan 48 tahun itu menyebut insiden maut itu sebagai buntut aksi spontan.

Saat itu, Rice mengatakan bahwa serangan mendadak ke kompleks gedung Konsulat AS di Benghazi itu berkaitan dengan unjuk rasa anti-AS terkait peredaran film anti-Islam berjudul Innocence of Muslims. Bersamaan itu, cuplikan film yang menghina Nabi Muhammad SAW tersebut di YouTube memicu gelombang unjuk rasa anti-AS di seluruh dunia. Karena itu, Rice lantas mengaitkan insiden teror di Benghazi dengan film tersebut.

Saat memberikan kesaksiannya, Petraeus juga menampik bahwa pengamanan di fasilitas diplomatik AS tersebut tidak memadai, seperti tuduhan media. Malam itu, para militan berhasil menerobos Konjen AS karena mereka nekat dan membawa persenjataan lengkap. Sebelumnya, mereka juga melumpuhkan penjaga di kompleks tersebut dan merangsek masuk serta melakukan pembakaran. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Laptop Data Pribadi 10 Ribu Karyawan dan Kontraktor NASA Dicuri

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler