jpnn.com, JAKARTA - Tokoh politik sebaiknya berhati-hati dalam memilih kata yang bakal diucapkannya. Sebaiknya menghindari kata-kata bernada provokatif. Menghindari kata-kata yang bisa mengundang permusuhan dan memperdalam keterbelahan yang sempat terjadi di masyarakat kita sejak Pilpres 2014.
“Sebaiknya hindari kata-kata seperti siap berkelahi, ataupun libas. Masih banyak pilihan kata lain yang bisa digunakan untuk memotivasi, tetapi tetap sejuk,” kata Pengamat Politik dari Manilka Research, Herzaky M. Putra di Jakarta, Senin (6/8).
BACA JUGA: Tinggal Dua Berpeluang jadi Cawapres Prabowo
Menurut Herzaky, pemahaman setiap orang bisa berbeda-beda. Apalagi untuk masyarakat di akar rumput. Mereka cenderung menerima atau menyerap pesan atau arahan dari pemimpin mereka apa adanya.
Mendekati pendaftaran capres-cawapres ini, menurut Herzaky, suhu politik cenderung meningkat. Bakal ada masyarakat yang kecewa dengan capres atau cawapres yang didukungnya, tapi ternyata tidak terdaftar dalam kontestasi 2019. Apalagi jika hanya dua calon presiden yang bakal berlaga. Ada potensi polarisasi yang mesti dicegah sebelum membesar.
BACA JUGA: Suhendra: Saya Siap Mendampingi Pak Jokowi
Karena itu, wajib bagi para pemimpin politik untuk menenangkan para pendukungnya. Bagaimanapun, masyarakat Indonesia masih sangat kental menganut budaya patron-klien.
“Apa yang dilakukan, apa yang diucapkan oleh pemimpinnya, itulah yang bakal mereka contoh, bakal mereka lakukan,” katanya.
BACA JUGA: Relawan Jokowi Siap Melawan jika Terus Diserang
Menurutnya, lebih tepat jika para pemimpin politik memberikan statemen-statemen yang menyejukkan. Menunjukkan contoh kalau berbeda pandangan dengan pihak lain, sah-sah saja.
Yang penting, kata dia, tetap menghargai satu sama lain dan menjaga persatuan dan kesatuan. Politik seharusnya digunakan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bukannya memecah belah dalam pertikaian tak berujung.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kok Alumni 212 Mencampuri Urusan Partai?
Redaktur & Reporter : Friederich