Elpiji Nonsubsidi Pantas Naik

Senin, 27 Februari 2012 – 10:59 WIB
JAKARTA – PT Pertamina (Persero) terus menerus menderita kerugian dalam bisnis penjualan elpiji nonsubsidi, yakni elpiji kemasan 12 kg dan 50 kg. Tercatat, pada 2011 lalu, perusahaan migas plat merah itu merugi hingga Rp 3,8 triliun lantaran harga jual elpiji nonsubsidinya masih di bawah harga keekonomian. Pemerintah didesak untuk tidak mendiamkan kerugian Pertamina ini.

“Sangat tidak pantas jika pemerintah membiarkan dan mendiamkan saja Pertamina terus menerus mengalami rugi di sektor penjualan elpiji nonsubsidi ini,” kata Sofyano Zakaria, Pengamat dari Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi).

Pilihan pemerintah melarang Pertamina menaikkan harga dan lebih memilih menutupi kerugian dari penjualan nonsubsidi tersebut dinilai tak tepat. Kebijakan itu, menurut Sofyano sama saja dengan mensubsidi golongan mampu. Sebab, pengguna kedua kemasan elpiji itu merupakan kalangan industri dan rumah makan (restoran).

“Ada apa pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan Pertamina membiarkan saja setiap tahun Pertamina harus rugi menjual elpiji 12 kg. Elpiji 12 kg dominan digunakan golongan mampu. Nah, apakah pemerintah ‘takut’ terhadap  golongan mampu sehingga berusaha membungkam mereka dengan tidak merestui Pertamina menyesuaikan harga elpiji 12 kg” ucapnya.

Pemerintah dinilai mendua jika membiarkan kondisi ini berlanjut. Pasalnya, pemerintah bingung dengan subsidi BBM yang dinikmati orang kaya, akan tetapi tidak mempermasalahkan orang kaya menggunakan elpiji 12 kg yang disubsidi Pertamina.

Menurut dia, publik bisa saja berasumsi bahwa jangan-jangan ada sesuatu dibalik kerugian Pertamina di sektor penjualan elpiji 12 kg, dan ini sengaja didiamkan saja oleh oknum pemerintahan. “Para politisi dan aparat penegak hukum diam terhadap kerugian pertamina dalam mendistribusikan elpiji 3 kg, tetapi pemerintah menutup mata dan telinga pada kerugian disektor elpiji 12 kg,” katanya.

Anggota komisi VII DPR dari Fraksi Golongan Karya, Bobby Rizaldi Adityo mengatakan, hampir 75 persen bisnis elpiji impor dengan formula CP Aramco, sehingga sangat tergantung dengan fluktuasi harga dunia. Disaat sekarang, dimana harga dunia sudah melampaui semua asumsi makro, termasuk ICP, sudah pasti harga elpiji harus disesuaikan.
Subsidi hanya diberikan untuk epiji 3 kg. Diatas kapasitas tersebut semestinya digunakan harga keekonomian. Kekhawatiran terjadinya pengoplosan jika elpiji nonsubsidi dinaikkan, bisa diatasi dengan manajemen distribusi dari Pertamina.
 
“Seperti, depo 3 kg tidak boleh satu lokasi dengan 12 kg, dan penyebaran paket 3 kg terdata dengan baik bukan sekadar bagi-bagi 40 juta tanpa identifikasi jelas. Harga refill 3 kg juga harusnya lebih murah karena setiap pengisian kembali tidak full 3 kg, tapi mungkin hanya 2,7 kg tapi masyarakat membayar full 3 kg. Intinya selain epiji 3 kg, harus disesuaikan harganya,” paparnya.

Hanya saja, jika dinaikkan, Pertamina harus bisa bisa menjaga distribusi epiji 3 kg sehingga tidak terjadi pengoplosan. Selain itu, agar kompetitif dengan pasar, sebaiknya dibuka juga kran impor elpiji untuk perusahaan selain Pertamina. Sebab, jika hanya satu pengimpor, cenderung akan memonopoli dan pasar tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Sementara, Anggota Komisi VII Dewi Aryani mengungkapkan, sudah menjadi kewajiban pemerintah memberikan subsidi kepada operator BUMN yang ditunjuk untuk mengelola elpiji ini, yakni Pertamina. “Pertamina itu BUMN, tugas utama BUMN tentunya didirikan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat dengan menggunakan anggaran negara. Terlepas Pertamina merupakan perseroan yang harus menghasilkan laba, tapi ingat bahwa BUMN itu bukan milik perseorangan atau kelompok, tapi milik negara,” jelasnya.

Ia mengatakan, subsidi merupakan hak rakyat dan dilindungi oleh konstitusi.

Subsidinya, menurutnya, bukan untuk harga jual, tapi untuk biaya produksi dan operasional, sehingga tidak merugi. Kaya dan miskin adalah sama-sama WNI. Sehingga harus mendapat equal treatment sebagai warna negara. Pemerintah tidak pernah bahas hulu (sumber penerimaan negara) sehingga keteteran menghadapi kewajiban-kewajiban subsidi.

“Dalam niaga variabel cost kan macam-macam sampai kepada harga pasar. Elpiji, BBM, listrik, itu hak rakyat mendapatkan subsidi pemerintah. Untuk rumah tangga tentu bedakan harga dengan industri, tapi tujuan subsidi adalah untuk menekan cost sehingga masyarakat dan dunia usaha bisa berkembang baik perekonomiannya. Jangan dilihat parsial, hanya masalah konsumennya saja,” ujarnya.

Untuk diketahui, realisasi volume penjualan elpiji nonsubsidi Pertamina mencapai 2,07 juta atau 127 persen dari target dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2011 yang sebesar 1,63 juta metrik ton. Tahun ini, BUMN itu menargetkan volume penjualan elpiji nonsubsidi 2,17 juta metrik ton.

Harga jual elpiji nonsubsidi saat ini sekitar Rp 7.355 per kg. Padahal harga keekonomiannya lebih dari Rp 9.000 per kg. Hal ini disebabkan pemerintah selaku pemegang saham perseroan itu belum menyetujui usulan Pertamina untuk menaikkan harga jual elpiji nonsubsidi. (lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspadai Rentenir Berkedok Koperasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler