SEMUA orang berhak atas buku. Sayangnya, akses untuk buku tak selalu tersedia. Elvera Nuriawati Makki menjawab itu semua dengan konsisten memperjuangkan gerakan literasi bagi pendidikan anak usia dini (PAUD) di wilayah Indonesia Timur.
----------
HENNY GALLA, Tangerang
----------
Waktu itu, senja telah turun di Mataram. Kaki pun hendak melesat cepat seusai menapak turun dari anak tangga pesawat. Namun, apa daya, hujan lebat yang terlampau kerap menyapa memaksa semua barang bawaan harus ditahan semalam.
Esok harinya, di akhir November 2009, Elvera Nuriawati Makki melangkah menembus kabut. Sejurus kemudian, semuanya terbayar saat menyaksikan sorot puluhan pasang mata yang berbinar.
Di sudut lain, hujan tadi malam menyisakan aroma basah pada rak kayu di depan sebuah teras rumah. Rak itu masih kosong dan menunggu untuk diisi. Vera -sapaan karibnya- memandangnya lega. Sambutan itu sudah melebih ekspektasi.
Sekitar 34 bocah rela menanti perjalanan Vera dari pusat kota "yang harus ditempuh dua jam dengan bermobil" ke Batu Lawang, Desa Gelanggang, wilayah terpencil di Lombok Timur. "Itu untuk kali pertama saya menyinggahi PAUD Assajari," cerita Vera saat ditemui Jawa Pos di kediamannya The Green, Serpong, Tangerang, akhir pekan lalu (5/1).
Senyum bocah 3-5 tahun itu langsung mengembang saat mereka menyaksikan Vera membuka barang bawaan penuh dengan tumpukan buku bacaan anak-anak. Tanpa banyak kata, para bocah itu berebut mengambil buku, lantas keheranan dengan isi yang ada di dalamnya. Gajah, jerapah, burung, dan ayam, dengan semburat merah, kuning, dan hijau, menyapa mereka dengan kata: Halo!
Dalam kerumunan bocah itu, beberapa masih malu-malu menunjuk buku yang disuka. Ada pula yang agresif bertanya kepada pengasuh PAUD-nya, gambar apa ini dan itu. Ada yang rajin menyimak sang pengasuh membacakan cerita. Ada pula yang serius menyendiri dan membaca berjam-jam, tapi ternyata bukunya terbalik.
Gelak tawa menyeruak di ruang terbuka itu. Aksi sosial pertama Vera berhasil. Dia yang berambisi menumbuhkan budaya membaca sejak dini diterima dengan hangat. Kegiatan membaca buku dan mendongeng pun akhirnya dimasukkan ke dalam kurikulum PAUD Assajari, yang sebelumnya hanya bermain dan bernyanyi.
Semangat yang meletup-letup ini semua berawal dari buku. Bagi Vera, membaca adalah kata lain berkomunikasi. Bagi balita, mungkin yang mereka butuhkan hanya gambar-gambar cerah yang menarik mata, yang di dalamnya ada personifikasi binatang-binatang yang mencoba berdialog dengan anak-anak.
Namun, bagaimana jika tak semua bocah bisa menikmati buku yang kaya ilmu itu sesuai dengan usianya" Pada akhirnya anak-anak itu terpaksa membaca buku bekas kakak kelas, yang cenderung serius, dan tidak memicu kegembiraan membaca.
Krisis buku bacaan untuk anak-anak ini secara nyata dialami wilayah-wilayah terpencil di Indonesia bagian Timur (Intim). Banyak pertimbangan ekonomi di dalamnya. Faktor beratnya ongkos logistik membuat para distributor buku anak-anak lebih banyak enggan mengirimnya ke wilayah yang dihitung tak banyak mengeruk untung.
Kalaupun ada yang sampai ke Intim, banderol buku cerita tipis si Kancil saja mungkin sudah puluhan ribu rupiah harganya. Dalam kondisi itu masyarakat dengan nilai penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tak bakal mungkin mengalokasikan dananya untuk membeli buku bacaan anaknya.
Lantaran itu, Vera yang sehari-hari menjadi deputy director corporate communication public affairs Mercedez-Benz Indonesia ini berkomitmen secara mandiri mendirikan Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL). Kecintaannya kepada anak-anak dan budaya literasi memicunya rela menuju pelosok-pelosok Indonesia untuk membawa sendiri buku bacaan anak-anak itu.
Pada mulanya, dia memilih Lombok Timur yang jarang terjamah, tak seperti bagian lain Pulau Lombok yang sarat pelancong dan wisatawan mancanegara. Untuk kali pertama ada empat titik PAUD yang dia rawat di Lombok. Hingga sekarang total ada 12 titik, yang di antaranya tersebar enam titik di Lombok, Pulau Seram (sebelah utara Pulau Ambon), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan yang terbaru di Pulau Fordata (Kabupaten Maluku Tenggara Barat).
"Perjalanan ke Fordata, naik pesawat dua jam dari Ambon menuju Saumlaki (ibu kota Kabupaten Pulau Yamdena). Lalu harus naik kapal lagi ke Fordata," terang perempuan kelahiran Jakarta, 26 Mei 1976, itu.
Tiap derap perjalanan, dia selalu mengunggahnya ke blog maupun jejaring sosial. Tak pelak, satu per satu terbukalah akses untuk mengirimkan buku ke wilayah yang paling membutuhkan.
Salah satunya kelompok pengungsi yang lari dari konflik di Maluku dan Pulau Buru pada 1999 yang menewaskan banyak korban dan telah memusnahkan rumah dan harta benda. Mereka kini bermukim di Pulau Ambon. Anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pengungsian itu saat ini belajar dengan komunitas Gunung Mimpi.
Pengiriman buku TBAL dilakukan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada kisaran Mei-Juni dan November-Desember. Asumsinya, dalam tempo itu anak-anak tengah menikmati libur panjang semesternya. Dengan begitu, mereka bisa membunuh waktu dengan membaca. Para relawan, baik individu maupun komunitas, dengan suka cita membantu Vera mengirimkan buku.
Vera menyandarkan diri pada sofa cokelat empuk saat memaparkan program sosial TBAL satu buku satu saudara. "Setiap pengirim buku bisa menaruh testimoninya untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak yang membacanya," terang Vera yang mengenakan setelan rok putih dan kaus biru gelap.
Alumnus University of Houston, Texas, AS, tersebut menjelaskan, pengurus PAUD selanjutnya akan mengirim laporan kegiatan hasil relawan. "Biasanya lebih cepat diunggah lewat Facebook. Kadang kalau e-mail terlalu rumit," terang Vera, lantas tertawa.
Sejauh ini, istri Vandy R. Makki ini tak menemukan kendala yang berarti selain masalah logistik pengiriman yang memang membutuhkan perjuangan. Tak semua pengusaha logistik mau mengirimkan paket buku ke wilayah terpencil. "Saya pernah ngotot kepada jasa pengiriman karena saat itu mereka sulit menemukan letak salah satu PAUD di Sulawesi," terang ibu Vala, 9, dan Varen Makki, 5, tersebut.
Kini sudah hampir empat tahun Vera menjalani aksi sosialnya. Setidaknya, dia harus menggelontorkan dana buku hingga logistik minus tiket pesawat perorangan mencapai Rp 40 juta dalam setahun untuk sepuluh titik yang dia rawat.
Dua titik lainnya di Pulau Seram, dia bekerja sama dengan perusahaan Kalrez Petroleum Seram Ltd dan Citic Seram Energy Limited. Pada 2013, perempuan yang juga pernah menjadi jurnalis radio ini akan menambah dua titik PAUD lagi di Intim.
"Ada rencana yang belum terealisasi, yakni di Papua," papar Vera yang sering mengajak suami dan dua anaknya untuk ikut bertualang ke pulau-pulau terpencil guna menebar hak para bocah membaca buku itu. (*/c2/oki)
----------
HENNY GALLA, Tangerang
----------
Waktu itu, senja telah turun di Mataram. Kaki pun hendak melesat cepat seusai menapak turun dari anak tangga pesawat. Namun, apa daya, hujan lebat yang terlampau kerap menyapa memaksa semua barang bawaan harus ditahan semalam.
Esok harinya, di akhir November 2009, Elvera Nuriawati Makki melangkah menembus kabut. Sejurus kemudian, semuanya terbayar saat menyaksikan sorot puluhan pasang mata yang berbinar.
Di sudut lain, hujan tadi malam menyisakan aroma basah pada rak kayu di depan sebuah teras rumah. Rak itu masih kosong dan menunggu untuk diisi. Vera -sapaan karibnya- memandangnya lega. Sambutan itu sudah melebih ekspektasi.
Sekitar 34 bocah rela menanti perjalanan Vera dari pusat kota "yang harus ditempuh dua jam dengan bermobil" ke Batu Lawang, Desa Gelanggang, wilayah terpencil di Lombok Timur. "Itu untuk kali pertama saya menyinggahi PAUD Assajari," cerita Vera saat ditemui Jawa Pos di kediamannya The Green, Serpong, Tangerang, akhir pekan lalu (5/1).
Senyum bocah 3-5 tahun itu langsung mengembang saat mereka menyaksikan Vera membuka barang bawaan penuh dengan tumpukan buku bacaan anak-anak. Tanpa banyak kata, para bocah itu berebut mengambil buku, lantas keheranan dengan isi yang ada di dalamnya. Gajah, jerapah, burung, dan ayam, dengan semburat merah, kuning, dan hijau, menyapa mereka dengan kata: Halo!
Dalam kerumunan bocah itu, beberapa masih malu-malu menunjuk buku yang disuka. Ada pula yang agresif bertanya kepada pengasuh PAUD-nya, gambar apa ini dan itu. Ada yang rajin menyimak sang pengasuh membacakan cerita. Ada pula yang serius menyendiri dan membaca berjam-jam, tapi ternyata bukunya terbalik.
Gelak tawa menyeruak di ruang terbuka itu. Aksi sosial pertama Vera berhasil. Dia yang berambisi menumbuhkan budaya membaca sejak dini diterima dengan hangat. Kegiatan membaca buku dan mendongeng pun akhirnya dimasukkan ke dalam kurikulum PAUD Assajari, yang sebelumnya hanya bermain dan bernyanyi.
Semangat yang meletup-letup ini semua berawal dari buku. Bagi Vera, membaca adalah kata lain berkomunikasi. Bagi balita, mungkin yang mereka butuhkan hanya gambar-gambar cerah yang menarik mata, yang di dalamnya ada personifikasi binatang-binatang yang mencoba berdialog dengan anak-anak.
Namun, bagaimana jika tak semua bocah bisa menikmati buku yang kaya ilmu itu sesuai dengan usianya" Pada akhirnya anak-anak itu terpaksa membaca buku bekas kakak kelas, yang cenderung serius, dan tidak memicu kegembiraan membaca.
Krisis buku bacaan untuk anak-anak ini secara nyata dialami wilayah-wilayah terpencil di Indonesia bagian Timur (Intim). Banyak pertimbangan ekonomi di dalamnya. Faktor beratnya ongkos logistik membuat para distributor buku anak-anak lebih banyak enggan mengirimnya ke wilayah yang dihitung tak banyak mengeruk untung.
Kalaupun ada yang sampai ke Intim, banderol buku cerita tipis si Kancil saja mungkin sudah puluhan ribu rupiah harganya. Dalam kondisi itu masyarakat dengan nilai penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tak bakal mungkin mengalokasikan dananya untuk membeli buku bacaan anaknya.
Lantaran itu, Vera yang sehari-hari menjadi deputy director corporate communication public affairs Mercedez-Benz Indonesia ini berkomitmen secara mandiri mendirikan Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL). Kecintaannya kepada anak-anak dan budaya literasi memicunya rela menuju pelosok-pelosok Indonesia untuk membawa sendiri buku bacaan anak-anak itu.
Pada mulanya, dia memilih Lombok Timur yang jarang terjamah, tak seperti bagian lain Pulau Lombok yang sarat pelancong dan wisatawan mancanegara. Untuk kali pertama ada empat titik PAUD yang dia rawat di Lombok. Hingga sekarang total ada 12 titik, yang di antaranya tersebar enam titik di Lombok, Pulau Seram (sebelah utara Pulau Ambon), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan yang terbaru di Pulau Fordata (Kabupaten Maluku Tenggara Barat).
"Perjalanan ke Fordata, naik pesawat dua jam dari Ambon menuju Saumlaki (ibu kota Kabupaten Pulau Yamdena). Lalu harus naik kapal lagi ke Fordata," terang perempuan kelahiran Jakarta, 26 Mei 1976, itu.
Tiap derap perjalanan, dia selalu mengunggahnya ke blog maupun jejaring sosial. Tak pelak, satu per satu terbukalah akses untuk mengirimkan buku ke wilayah yang paling membutuhkan.
Salah satunya kelompok pengungsi yang lari dari konflik di Maluku dan Pulau Buru pada 1999 yang menewaskan banyak korban dan telah memusnahkan rumah dan harta benda. Mereka kini bermukim di Pulau Ambon. Anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pengungsian itu saat ini belajar dengan komunitas Gunung Mimpi.
Pengiriman buku TBAL dilakukan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada kisaran Mei-Juni dan November-Desember. Asumsinya, dalam tempo itu anak-anak tengah menikmati libur panjang semesternya. Dengan begitu, mereka bisa membunuh waktu dengan membaca. Para relawan, baik individu maupun komunitas, dengan suka cita membantu Vera mengirimkan buku.
Vera menyandarkan diri pada sofa cokelat empuk saat memaparkan program sosial TBAL satu buku satu saudara. "Setiap pengirim buku bisa menaruh testimoninya untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak yang membacanya," terang Vera yang mengenakan setelan rok putih dan kaus biru gelap.
Alumnus University of Houston, Texas, AS, tersebut menjelaskan, pengurus PAUD selanjutnya akan mengirim laporan kegiatan hasil relawan. "Biasanya lebih cepat diunggah lewat Facebook. Kadang kalau e-mail terlalu rumit," terang Vera, lantas tertawa.
Sejauh ini, istri Vandy R. Makki ini tak menemukan kendala yang berarti selain masalah logistik pengiriman yang memang membutuhkan perjuangan. Tak semua pengusaha logistik mau mengirimkan paket buku ke wilayah terpencil. "Saya pernah ngotot kepada jasa pengiriman karena saat itu mereka sulit menemukan letak salah satu PAUD di Sulawesi," terang ibu Vala, 9, dan Varen Makki, 5, tersebut.
Kini sudah hampir empat tahun Vera menjalani aksi sosialnya. Setidaknya, dia harus menggelontorkan dana buku hingga logistik minus tiket pesawat perorangan mencapai Rp 40 juta dalam setahun untuk sepuluh titik yang dia rawat.
Dua titik lainnya di Pulau Seram, dia bekerja sama dengan perusahaan Kalrez Petroleum Seram Ltd dan Citic Seram Energy Limited. Pada 2013, perempuan yang juga pernah menjadi jurnalis radio ini akan menambah dua titik PAUD lagi di Intim.
"Ada rencana yang belum terealisasi, yakni di Papua," papar Vera yang sering mengajak suami dan dua anaknya untuk ikut bertualang ke pulau-pulau terpencil guna menebar hak para bocah membaca buku itu. (*/c2/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lebih Dekat dengan Danet Suryataman, Perancang Tucuxi
Redaktur : Tim Redaksi