Embung Budi dan Ceremende Ayam Bakar Masngut

Senin, 07 April 2014 – 06:26 WIB

jpnn.com - SAYA akan berkisah mengenai dua orang yang begitu memberi harapan. Masngut di Blitar dan Budi Dharmawan di Semarang. Dua-duanya sudah berumur lebih dari 70 tahun, tapi masih saja das-des. Saya berinteraksi dengan Pak Budi minggu lalu dan dengan Pak Masngut Minggu pagi kemarin.

Pak Budi mengajak saya ke Desa Wonokerto, sebuah desa di pelosok gunung Kabupaten Semarang. Saya sampai naik ojek untuk bisa masuk ke desa dengan jalan yang gonjang-ganjing. Mengejar waktu.

BACA JUGA: Sayang Ibu demi Gerakan Satu Juta Sambungan

Pak Budi membina seratus orang di sini. Tanah mereka yang selama ini banyak menganggur ditanami buah naga. Pertamina menjadi pemberi modalnya.

Pak Budi yang pensiunan perwira TNI-AL itu memilih membina petani miskin dengan tanaman yang memiliki nilai tambah tinggi: buah tropik. Di Wonokerto dengan buah naga. Di Boyolali dengan buah durian. Di lain tempat dengan buah kelengkeng.

BACA JUGA: Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka

Bertani buah tropik tidak akan punya musuh. Kecuali harga pasar. Pak Budi tidak mau membina petani padi atau pertanian bahan baku industri. Petani padi akan selalu menghadapi tekanan pemerintah

Petani bahan baku industri akan selalu mendapat tekanan dari kalangan pabrik. “Kalau bertani buah, tidak diatur oleh pemerintah maupun kapitalis industri,” katanya.

BACA JUGA: Tommy setelah Cuci Darah Melulu

“Petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan pemerintah. Petani bahan baku tidak akan bisa kaya karena harganya ditekan oleh industri,” tambah Pak Budi.

Di Wonokerto, Pak Budi membangun embung 20 x 40 meter dengan dasar membran. Desa itu memang kering pada musim kemarau. Embung itu digunakan untuk menampung air hujan selama rendheng. Air di embung itu akan cukup dipakai selama lima bulan pada musim kemarau. Khusus untuk mengairi dengan hemat kebun-kebun buah naga milik petani.

Di setiap desa binaan Budi Dharmawan, selalu diutamakan pembangunan embung. Itulah cara nyata untuk membantu petani pedesaan yang gersang, yang biasanya mudah jatuh ke kemiskinan. Air hujan biasanya dibiarkan terbuang menjadi bencana. Pak Budi menjadikannya deposito berjangka.

Kini sudah 12 desa yang dibina Pak Budi. Semuanya berhasil dengan kadar yang berbeda. Tapi, dia belum puas. Kualitas praktik pertanian desa binaan tersebut baru bernilai 7. Umumnya, itu terjadi karena petani belum terbiasa mempraktikkan sistem pertanian modern. Tingkat disiplin mereka juga masih rendah. Pak Budi ingin pada akhirnya mereka bisa meraih nilai 9 seperti kualitas kebun miliknya sendiri.

Pak Budi memang memiliki kebun buah. Dia pernah bekerja sama dengan pemodal besar tapi mengecewakan. Pengusaha besar sulit untuk diajak membina usaha kecil. Pak Budi memilih berjuang dengan caranya sendiri. Membina petani miskin secara langsung.
 
Memang dirasa cara itu lambat untuk menjangkau kemiskinan yang begitu luas. Tapi, dia memilih menghidupkan satu per satu desa miskin daripada hanya bicara terus, namun tidak kunjung berbuat.

“Sambil menunggu, siapa tahu kelak ada presiden yang meng-copy cara ini dengan cepat dan masif,” kata adik kandung ekonom Kwik Kian Gie itu.

Saya harus mengaku kalah cepat oleh Pak Budi. Ketika tahun lalu BUMN dan IPB sepakat mengembangkan buah tropik, saya pikir kamilah yang pertama melangkahkan kaki untuk buah tropik. Ternyata Pak Budi sudah lebih dulu meski skalanya kecil. Tentu juga masih ada orang-orang seperti Pak Budi di tempat-tempat lain.

Pak Masngut di Blitar juga tua-tua keladi. Di umurnya yang sudah 72 tahun, dia juga getol mempromosikan peternakan dan pertanian terpadu. Minggu kemarin saya tidur di rumah manajer Pak Masngut untuk menyelami apa yang terjadi secara detail. Suara embikan kambing di kandang sebelah tempat tidur membuat ingatan saya kembali ke masa remaja di desa.

Pak Masngut memelihara ayam ratusan ribu ekor. Di sampingnya, dibangun kolam ikan lele dan patin. Hematnya bukan main. Untuk lele itu, dia hanya beli 30 persen makanan yang diperlukan. Yang 70 persen datang dari kandang ayam itu.

Ada tiga jenis makanan lele yang dihasilkan kandang ayam: kotoran ayam, bangkai ayam, dan ceremende. Dari ratusan ribu ayam di kandang, 2 persennya mati oleh berbagai sebab. Ayam-ayam mati itu langsung dibakar. Ayam bakar itulah yang dilempar ke kolam lele.

“Kalau tidak dibakar, lelenya tidak mau makan,” ujar Pak Masngut. Lele ternyata sangat suka ayam bakar.

Kandang ayam juga menghasilkan ceremende: kecoak-kecoak kecil. Mula-mula ceremende itu dianggap sebagai pengganggu kandang ayam. Suatu saat Masngut menyapu kandang. Ceremendenya berlarian cari selamat. Sebagian terjatuh ke kolam lele. Masngut melihat ceremende itu segera dimakan lele.

Sejak saat itulah, Masngut berkesimpulan bahwa ceremende sangat baik untuk makanan lele. Maka, ceremende yang muncul dari kotoran ayam justru dia kembangkan. Caranya: berikan akomodasi yang disenangi ceremende. Yakni, tumpukan karton telur ayam.

Di beberapa lokasi di kandang itu, dia geletakkan lima karton tempat telur. Dalam beberapa hari, lima karton tempat telur tersebut sudah penuh dengan ratusan ekor ceremende.

“Setiap hari kandang ini menghasilkan ceremende dua kuintal,” kata Pak Masngut. Baik ayam bakar maupun ceremende pastilah mengandung protein yang tinggi untuk lele. Masngut berkesimpulan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tidak bisa lagi kalau tidak integrated farming.

Banyak sekali pelajaran yang saya peroleh dari Pak Masngut yang tidak lulus universitas itu. Mulai dari ayam, bebek, lele, patin, sapi perah, sampai burung hantu dan sawit.

Pak Masngut dan Pak Budi adalah ayat-ayat Tuhan yang hadir nyata di dunia. Dan di dalam masyarakat kita. (*)

 Dahlan Iskan
Menteri BUMN

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pulau yang Dulu Dikira Tidak Maju


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler