Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik

Gagal Didik Dua Murid, Terancam Tak Ada Penerus

Senin, 20 Februari 2012 – 09:04 WIB

KESENIAN gambang kromong klasik terancam punah. Seni musik orkes paduan Betawi-Tiongkok itu kini tinggal menyisakan satu maestro yang masih hidup: Encim Masnah.
----------------
AGUNG PUTU-THOMAS KUKUH, Tangerang
---------------
Lantunan melodi paduan tehyan, konghayan, dan sukong terdengar sayup-sayup dari rumah Encim Masnah atau Nenek Masnah di Desa Sewan Kebon, Neglasari, Tangerang, Banten. Gesekan tiga alat musik khas gambang kromong itu mengawali tembang Stambul yang kondang dimainkan pada acara pesta pernikahan warga Betawi. Semilir angin menambah syahdu suasana di rumah mungil yang menghadap kebun dengan ilalang setinggi semeter itu.

Kamis (16/2) siang itu, Masnah duduk di ruang tengah rumah sambil memegang microphone. Dua koyo ditempelkan di kedua pelipisnya. Suara alat musik itu sejatinya berasal dari DVD Player. Perempuan bernama Tionghoa Pang Tjin Nio itu sedang berkaraoke. "Siapa suka menggulung tenda. Tenda digulung dari Bekasi. Siapa suka menolong saya. Banyak-banyak terima kasih," nyanyi Masnah.

Masnah tidak berdaya melawan usia. Dia sudah sangat sepuh. Tubuhnya dibalut keriput dan beberapa giginya sudah tanggal. Setiap hari dia menghabiskan waktu dengan hanya melamun di depan rumah. Meski tetap bersemangat bernyanyi, terkadang suara yang dia hasilkan tidak jelas.

"Giginya sudah pada hilang. Jadinya suaranya sering nggak jelas yak," kata perempuan 87 tahun itu lantas tersenyum. Tapi, soal memori, Masnah tidak diragukan. Dia masih hafal semua lirik lagu. "Kebo hitam kabarnya hilang. Cabut rumput kena tanahnya. Saya pesen lupa dibilang. Saya sebut lupa namanya," lanjutnya bernyanyi.

Endang Winata yang berdiri tak jauh dari Masnah sesekali tersenyum. Dia gembira jika waktu-waktu senggang dimanfaatkan ibu kandungnya itu untuk bernyanyi. Sesekali, lelaki yang karib dipanggil Ocit itu mendekat untuk membetulkan microphone yang kemresek karena colokan kabel audio bermasalah.

"Daripada melamun, saya sering "memaksa" Mama nyanyi. Biar ingat terus lagunya. Tapi, kadang-kadang dia marah karena dipaksa-paksa," kata Ocit lantas tersenyum. "Capek nyanyi di sini. Segen. Kalau pentas, seneng. Ada kegembiraan," timpal Masnah.

Masnah tinggal bersama keluarga Ocit yang memiliki tiga anak. Rumah dengan batu bata yang tak berlapis semen itu dibangun dari uang yang didapat Masnah dari sebuah penghargaan. Jumlahnya tentu tak ideal. Rumah tersebut pun sangat sederhana, yakni rumah tipe 36.

Rumah tersebut terletak di perkampungan dengan gang sempit. "Buat bangun rumah ini, saya tambahi juga dari hasil penjualan rumah saya sebelumnya. Di sini baru tinggal setahun," kata Ocit yang bekerja sebagai wiraswasta itu.

Masnah merupakan sinden gambang kromong klasik terakhir. Dia menikmati masa keemasan kesenian tradisional Betawi yang bercampur budaya Tiongkok pada 1960-an. Pada masa itu Masnah beberapa kali manggung di berbagai daerah. "Sampai sebulan nggak pernah pulang," katanya.

Perempuan kelahiran 1925 itu juga sudah menjelajah Nusantara. Bahkan, pada 2006 lalu dia tampil di Singapura dalam acara pergelaran seni Tiongkok dari berbagai negara.

Gambang kromong klasik berbeda dengan yang sering ditampilkan belakangan ini. Lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu bertema mendalam. Misalnya, Poa Si Li Tan, Kramat Karem, dan Gula Ganting.

Gambang kromong populer biasanya memainkan lagu-lagu populer. Masnah menyebutnya dengan istilah "lagu sayur". Sedangkan lagu filosofis yang serius dia sebut dengan nama "lagu dalam". Beberapa orang bahkan menyebut gambang kromong yang dimainkan Masnah sebagai gambang kromong dalem karena dalamnya pesan yang dibawa.

Gambang kromong merupakan kesenian perkawinan musik Betawi dan Tiongkok. Gambang kromong juga bisa disebut sebagai orkes yang memainkan beragam alat musik, memadukan gamelan dan alat musik Tiongkok. Alat musik Tiongkok yang digunakan adalah sukong, tehyan, dan konghayan. Nama gambang kromong diambil dari dua alat perkusi gambang dan kromong.

Gambang kromong terbagi dalam versi modern dan klasik. Versi klasik memainkan lagu dalam, sedangkan versi populer memainkan lagu-lagu sayur. Syair lagu keduanya menggunakan bahasa Melayu Betawi dengan irama tenang. Karena itu, gambang kromong klasik sangat berbeda dengan gambang kromong modern yang dipakai untuk iring-iringan tari.

Saat masih berjaya dulu, Masnah tidak hanya piawai bernyanyi. Dia juga bisa menari. Karena itu, susah mencarikan padanannya di masa kini. Untuk bernyanyi gambang kromong klasik saja sulit, apalagi yang bisa menari sekaligus bernyanyi. Mendidik penerus generasi gambang kromong juga tidak gampang. Masyarakat sekarang lebih tertarik mendalami kesenian modern yang lebih populer.

Bahkan, dari tiga anak Masnah hasil perkawinannya dengan maestro gambang kromong Oen Oen Hok, tidak ada yang mengikuti jejaknya. Ocit yang anak bungsu pun enggan. Ocit menuturkan, pada 2004 ada dua orang yang berguru kepada Masnah. Mereka dibiayai Ford Foundation agar tetap ada penerus sinden klasik. Sayangnya, mereka tak melanjutkannya sampai tuntas.

Saat itu Ford Foundation yang bekerja sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) juga membuat 20 album Seri Musik Indonesia. Mereka merekam 200 lagu dari 25 provinsi di Indonesia. Bahkan, penelitian, rekaman, dan penyusunannya memakan waktu hingga 10 tahun. Nah, di album khusus gambang kromong itulah suara Masnah direkam.

Padahal, Masnah saat ini merupakan satu-satunya yang mewarisi kesenian gambang kromong klasik. Jika tidak ada yang menjadi muridnya, kesenian tersebut bisa ikut punah seiring dengan usia Masnah.

Selain dirinya, sejatinya ada satu lagi maestro gambang kromong. Yakni, Oen Oen Hok suaminya sendiri. Tapi, Oen Hok meninggal pada 1994.

"Mama bisanya mah cuma nyanyi dan nari. Tidak bisa mainin alat musik. Kalau Papa bisa mainin alat, bahkan bikin alat gambang kromong juga bisa. Kecuali kromong karena harus dibuat dari campuran besi dan kuningan," papar Ocit.

Gambang kromong klasik sudah mendarah daging pada diri Masnah. Dia bahkan menggeluti kesenian tersebut sejak berusia 14 tahun dengan menjadi wayang atau cokek. Saat itu dia berguru olah vokal kepada Encek Tek Kho, maestro gambang kromong saat itu.

Masnah dulu berkibar bersama kelompok gambang kromong bernama Irama Masa pimpinan sang suami. Namun, sejak suaminya meninggal, Irama Masa pun buyar. Kini Masnah mengandalkan order manggung dari kelompok gambang kromong yang mau menggunakan jasanya.

Pada 2007, Masnah mendapat penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai seniman yang dianggap setia merawat tradisi. Namun, kini tak banyak kelompok musik gambang kromong yang bertahan. Kebanyakan pemainnya cabutan, tidak menjadi anggota tetap kelompok gambang. Order pentas di pesta-pesta pernikahan merosot karena kalah dengan organ tunggal alias electone. Mereka kebanyakan hanya tampil untuk acara-acara di vihara.

Pada masa jayanya Masnah tidak hanya panen order. Karena menjadi sinden, Masnah juga menjadi bidadari gambang kromong. Pamor kemampuan bernyanyi dan menari diikuti dengan pesonanya. "Dulu sampai dijuluki ratu panggung," kata Ocit.

Karena itu, tidak heran bila banyak pembesar yang kepincut dengan Masnah. Perempuan berdarah Tionghoa-Sunda-Jawa itu menikah hingga tujuh kali. Mulai polisi, pejabat, hingga akhirnya pemain gambang kromong sendiri yang memberinya tiga anak.

Masnah sejatinya gelisah dengan masa depan gambang kromong klasik. Namun, dia tidak berdaya dengan situasi yang membuatnya sulit menularkan kemampuan tersebut. Sebab, selain popularitas gambang kromong yang terus turun, dana menjadi persoalan tersendiri. Meski begitu, Masnah tak pernah hilang rasa cintanya kepada kesenian yang telah membesarkan namanya itu. "Dari mana datangnya lintah. Dari laut turun ke kali. Dari mana datangnya cinta. Dari mulut turun ke hati," lanjutnya berdendang. (c2/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Petualangan Dedi, Robin Hood dari Batam (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler