jpnn.com - VOTING Inggris pada 13 Oktober sukses mengubah sudut pandang dunia terhadap konflik abadi Israel-Palestina. Padahal, dukungan Majelis Rendah alias House of Commons Negeri Big Ben terhadap pembentukan negara Palestina tersebut sama sekali tidak akan mengubah kebijakan pemerintah. Tetapi, tetap saja, suara 274 legislator Inggris itu membuat Eropa semakin dekat dengan Palestina.
Al-Jazeera menyebut pemungutan suara yang diikuti kurang dari separo anggota majelis rendah tersebut sebagai simbol. Sebab, dukungan Inggris itu tidak akan langsung membuat Palestina berubah menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan Israel. Simbol tersebut juga sama sekali tidak akan mengubah arah perundingan damai dua negara.
BACA JUGA: Obama Kritik Travel Warning ke Afrika Barat
Namun, jika Majelis Rendah berhasil membuat pemerintahan Perdana Menteri (PM) David Cameron resmi mendukung Palestina, status hubungan Inggris dan Palestina akan berubah. ’’Setidaknya, secara diplomatik, dua negara akan punya hubungan. Inggris bakal punya kantor perwakilan di Palestina dan demikian sebaliknya,’’ papar Rachel Shabi, pengarang buku Not the Enemy: Israel’s Jews from Arab Lands.
Sebelum parlemen Inggris melakukan voting, Swedia sudah lebih dulu memaklumatkan dukungannya terhadap pembentukan negara Palestina. Dukungan Inggris dan Swedia itu kini sukses memengaruhi negara-negara anggota UE yang lain. Negara-negara di sisi barat Benua Biru tersebut mulai ramai-ramai menggalang dukungan agar Palestina berdiri sebagai negara mandiri.
BACA JUGA: Pantat Bertato Rumus Matematika
Menyusul Inggris dan Swedia, Spanyol pun segera menggelar voting untuk menentukan sikapnya terhadap Palestina. Seperti Inggris, voting parlemen Spanyol tidak akan mengubah kebijakan pemerintah tentang Palestina. Tetapi, setidaknya, dukungan itu akan membuat kebijakan berbeda bagi negara-negara Eropa lain yang selama ini menganggap Palestina sebagai wilayah pendudukan Israel.
’’Dukungan Eropa tersebut juga sekaligus menjadi konsolidasi atas keputusan PBB tentang Palestina pada 2012,’’ kata Shabi. Saat itu, atas dukungan 134 negara anggota, PBB mengabulkan permohonan Palestina untuk menjadi bagian dari organisasi terbesar dunia tersebut. Tetapi, status keanggotaan Palestina bukanlah sebagai negara anggota, melainkan anggota bukan negara.
BACA JUGA: Panitia Konser Maut Bunuh Diri dengan Terjun dari Lantai 10
Eropa tampaknya mulai berubah haluan. Sebelumnya, negara-negara anggota UE sepakat dengan Amerika Serikat (AS) dan Israel bahwa negara Palestina hanya bisa lahir dari perundingan. Karena itu, mau tidak mau, Palestina harus berunding dengan Israel guna membahas masa depan hubungan mereka. Sayangnya, hingga sekarang perundingan dua negara tidak pernah membuahkan hasil signifikan.
’’Negara-negara Eropa mulai paham bahwa solusi dua negara melalui perundingan berarti tidak akan pernah ada negara Palestina,’’ tandas Shabi. Maka, beberapa negara kuat mulai berpaling dari doktrin tersebut. Eropa pun kemudian mendukung upaya Palestina untuk mewujudkan cita-citanya menjadi negara yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah masyarakat internasional.
Dukungan dari negara-negara Eropa itu mengubah pandangan dunia terhadap Palestina. Jika sebelumnya hanya negara-negara miskin dan kecil yang mendukung pemerintahan Mahmoud Abbas, kini negara-negara kuat Eropa melakukan hal yang sama. Tetapi, Prancis dan Jerman tetap enggan memberikan dukungan terhadap Palestina demi menghindari konflik dengan Israel.
Di sisi lain, beberapa pengamat politik internasional mengkritisi sikap Eropa tersebut. Salah satunya, Sir Geoffrey Nice, penasihat Ratu Elizabeth II yang juga bekerja pada Mahkamah Kriminal Internasional PBB untuk Yugoslavia (ICTY). Menurut dia, Eropa hanya setengah hati mendukung Palestina. Sebab, mereka menghalangi niat Palestina untuk menjadi anggota Mahkamah Kriminal Internasional (ICT).
’’Eropa memberikan bantuan berlimpah pada Palestina dan mengecam pembangunan permukiman Yahudi di wilayah sengketa, tapi tidak mendukung upaya Palestina untuk mendapatkan keadilan lewat ICT,’’ jelas Nice kepada The Independent. Dengan menjadi anggota ICT, Palestina akan mempunyai kesempatan menyeret Israel ke meja hijau atas genosida dan kejahatan perang yang dilakukan.
Dalam setiap kesempatan, ujar dia, negara-negara Eropa selalu mengarahkan Palestina agar mau menyelesaikan konflik dengan Israel melalui perundingan. Tetapi, kesepakatan damai tidak kunjung tercapai dan Palestina tidak menyerah. Akhir bulan ini, Palestina mengajukan draf resolusi ke Dewan Keamanan (DK) PBB yang berisi tuntutan kepada Israel agar mengakhiri pendudukan.(AFP/theindependent/huffingtonpost/washingtonpost/aljazeera/hep/c20/ami)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tersinggung Lahir Batin Akibat Bercelana Dalam Pink
Redaktur : Tim Redaksi