jpnn.com, JAKARTA - ABI Research merilis data bahwa GoJek ternyata hanya menguasai 35,3 persen pangsa pasar Indonesia, tertinggal dari pesaingnya, Grab yang telah meraup 63,6 persen kue ride-hailing. Hal serupa juga terjadi di Vietnam, GoJek hanya mampu menjangkau 10,3 persen dibanding Grab 72,9 persen.
CEO Jetspree Alex Le mengatakan bahwa industri ride-hailing di Asia tenggara yang telah masuk ke fase maturity, menjadi salah satu faktor yang membuat GoJek tersengal-sengal dalam ekspansi regionalnya.
BACA JUGA: Pemerintah Dukung Perkembangan Masa Depan GoJek
“Model bisnis ride-hailing sebenarnya sederhana. Subsidi dan diskon pada awal operasi telah memungkinkan Grab, dan pemain lama seperti Easy Taxi atau Uber mencaplok pangsa pasar yang besar,” papar Alex dalam siaran tertulisnya, Kamis (7/11).
Menurutnya, bisnis GoJek yang lamban dalam transportasi online di pasar baru Asia tenggara membuatnya sulit untuk meluncurkan rangkaian layanan lainnya. Hal itu dikarenakan biaya akusisi pelanggan baru untuk pengiriman makanan atau paket menjadi lebih mahal ketika Gojek tidak memiliki basis pengguna aplikasinya.
BACA JUGA: Investor Sambut Positif 2 Pemimpin Baru di Gojek Pengganti Nadiem
“Pada gilirannya membuat ‘situasi ayam atau telur’ di mana kurangnya layanan lain pada platform Anda, membuat platform Anda kurang menarik,” kata Alex.
Situasi yang sama pernah dihadapi WeChat ketika keluar dari kandangnya di negeri Tirai Bambu atau ketika Easy Taxi berekspansi keluar Brazil. “Sulit bagi perusahaan teknologi yang sudah besar di kandangnya untuk berekspansi, karena produk, operasi, struktur tim, prioritasnya sudah sangat terpaku dengan pasar dalam negerinya. Ekspansi ke pasar baru butuh lebih dari sekadar uang,” jelas Alex.
BACA JUGA: GoJek Dijegal, Grab Melenggang
Bicara soal uang, GoJek pun masih harus melompati jurang yang menganga. Tahun ini, Grab telah mendapat investasi hampir USD 5 miliar, sementara Gojek masih berkutat pada target USD 2 miliar. Grab sendiri telah melipatgandakan komitmennya dengan investasi sebesar USD 2 miliar di Indonesia dan USD 500 juta di Vietnam, yang rasanya sulit dikejar oleh Gojek.
Lanjut Alex, Gojek bukannya tidak mencoba beradaptasi. Perusahaan ini mencoba menggunakan merek baru, Go-Viet di Vietnam dan Get di Thailand. Namun, pengoperasian bisnis di Vietnam tidak berjalan baik dengan mundurnya CEO kedua, dalam beberapa bulan.
“Pertanyaan yang dihadapi operasi lokal seperti Go-Viet adalah bagaimana struktur komando yang akan dijalankan? Seberapa banyak kepercayaan yang Anda tempatkan pada tim lokal? Banyak, terlalu banyak, sedikit, atau malah terlalu sedikit? Sampai tingkat mana mereka dapat membuat keputusan, dengan sumber daya apa yang mereka miliki?” tanya Alex.
Perjalanan ekspansi regional tampaknya belum akan landai bagi Gojek. Dengan tidak adanya traction yang signifikan di tahun ini, sulit bagi Gojek untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di masing-masing pasar. Mereka menghadapi persaingan di dua medan: bertarung dengan Grab yang terus melakukan pendalaman pasar di Indonesia sekaligus bertarung di Asia Tenggara dengan posisi yang kurang tertinggal. “Apalagi mereka baru saja ditinggalkan pendirinya, Nadiem Makarim,” pungkasnya.
Diketahui, ekspansi regional Gojek dimulai pada 2018, dimulai dengan soft launching Go-Viet di Vietnam, peluncuran Gojek di Singapura pada 2018, dan peluncuran Get, brand Gojek di Thailand, pada Februari 2019. (mg7/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh