Evaluasi Pengadilan Tipikor Daerah

Senin, 20 Agustus 2012 – 06:27 WIB
Penangkapan terhadap hakim ad hoc Pengadilan Tipikor menandakan ada masalah dalam pembentukan pengadilan khusus tersebut. Sejumlah pakar menilai keberadaan pengadilan khusus korupsi di daerah perlu dievaluasi lagi.

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pendirian pengadilan khusus tipikor di daerah terlalu terburu-buru. MA dalam waktu singkat membuka belasan pengadilan tipikor di daerah menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi tentang keberadaan pengadilan khusus tipikor.

Keberadaan pengadilan tersebut dinilai MA bisa mengurangi kemerdekaan kekuasaan yudikatif yang selama ini berada di tangan Mahkamah Agung. Akibat kebijakan yang dilaksanakan dalam waktu singkat, rekrutmen hakim yang menitikberatkan pada aspek moralitas dan integritas tidak lagi menjadi tujuan utama.

Apalagi, hakim ad hoc berasal dari berbagai latar belakang, utamanya akademisi yang miskin pengalaman teknis peradilan maupun berlatarbelakang advokad yang sebagian telah berpraktik sebagai makelar kasus. "Untuk mendapatkan hakim ad hoc yang berkualitas dan berintegritas tidaklah mudah. Saat perekrutan, MA menghadapi kendala ini. Hakim ad hoc juga kurang dapat dikendalikan oleh MA dan KY bila dibandingkan dengan hakim karir," katanya.

Tidak hanya menyulitkan Mahkamah Agung, keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi di daerah juga menyulitkan Kejaksaan Agung. Pasalnya, kejaksaan harus membawa terdakwa untuk bersidang di ibu kota provinsi. Ini tentu membutuhkan biaya sangat besar dan waktu banyak dibandingkan bila kasus tersebut ditangani oleh pengadilan negeri setempat.

Selain itu, biaya rekrutmen hakim ad hoc hingga gaji dan tunjangan juga menambah beban Negara. Sebab, hakim kini berstatus pejabat negara yang gaji dan fasilitasnya lebih besar dibanding pegawai negeri sipil biasa. "Keberadaan Pengadilan Tipikor menyerap banyak dana, mulai dari proses rekrutmennya hingga membiayai para hakim ad hoc," tuturnya.

Mantan pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Mas Achmad Santosa menilai, penangkapan dua hakim ad hoc tipikor di Semarang membuktikan korelasi antara banyaknya putusan bebas terhadap terdakwa korupsi di daerah dengan praktik jual-beli perkara. "Kalau selama ini kita dengar penyebab putusan bebas adalah dakwaan yang buruk, penangkapan dua hakim ini membuktikan adanya perilaku hakim yang tercela," katanya.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada kekuasaan kehakiman, Mas Achmad Santosa mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial meninjau semua putusan bebas yang diputuskan pengadilan khusus tipikor di daerah. Mahkamah Agung juga harus memperkuat Badan Pengawasan untuk menegakkan martabat dan kehormatan hakim.

Pria yang kerap dipanggil Ota ini menilai Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus memasang alat perekam di seluruh persidangan di Pengadilan Khusus Tipikor serta menegakkan transparansi putusan secara real time. "Dengan demikian, masyarakat bisa menilai bila terjadi kejanggalan dalam putusan," terangnya. (ken/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dianggap Sentralistis, UU Zakat Digugat ke MK

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler