Fadli Zon: Jangan Kaitkan Aksi Teror Dengan Pembahasan Revisi RUU

Rabu, 05 Juli 2017 – 15:17 WIB
Personel Densus 88 Antiteror. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Maraknya aksi teror belakangan ini telah membuat sejumlah pihak mendesak agar pembahasan revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) bisa segera diselesaikan.

Pengesahan segera revisi UU tersebut dianggap bisa membuat penanganan atas aksi teror bisa makin efektif.

BACA JUGA: Kenaikan Bantuan Dana Bisa Tingkatkan Kualitas Parpol

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam Fadli Zon menyatakan bahwa DPR, melalui Pansus Revisi UU Antiterorisme, bersikap hati-hati dalam membahas draf revisi yang inisiatifnya diajukan pemerintah tersebut.

"Ada banyak persoalan dalam draf revisi yang diajukan pemerintah, sehingga DPR memilih berhati-hati dalam pembahasannya. Misalnya, ada usulan perpanjangan masa penahanan dari enam bulan menjadi 510 hari. Ini tak bisa diloloskan begitu saja, sebab proses penegakkan hukum atas tindak terorisme juga tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku. Jangan sampai penegakkan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum, itu prinsip yang ingin kami jaga. Kita tak berharap tindakan hukum sejenis Petrus di masa lalu kini bisa terulang kembali dalam bentuk lain," tegasnya

BACA JUGA: Kirim Pasukan TNI untuk Bertempur di Filipina tak Diatur UU

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, DPR ingin agar filosofi penanganan tindak terorisme tak berangkat dari prinsip pemberantasan teroris, sebagaimana yang sejauh ini menonjol terlihat.

Tapi lebih memerhatikan berbagai aspek secara komprehensif.

BACA JUGA: Fahri Hamzah Bilang Ide Megapolitan Realistis

"Info yang saya terima dari Ketua Pansus, saat ini pembahasannya sudah cukup maju kok, sudah lebih dari 60% dari total 112 DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang dibahas di Pansus. Fakta bahwa tindak terorisme dianggap sebagai extraordinary crime, jangan sampai membuat kita jadi seperti memberikan cek kosong pada aparat penegak hukum. Kita harus belajar dari kesalahan dalam menangani extraordinary crime lainnya, seperti tindak pidana korupsi, misalnya. Lembaga atau aparat yang menangani extraordinary crime harus tetap bisa dikontrol dan diawasi," imbuhnya.

Dia memastikan DPR sangat concern terhadap isu bahwa penanganan tindak terorisme harus memerhatikan dan tetap berada di dalam koridor hukum, tak boleh terus-menerus menggunakan diskresi.

Menurutnya, semua harus taat pada due process of law.

“Itu sebabnya, meski ada desakan dari sejumlah pihak agar Revisi UU Antiterorisme segera disahkan, DPR tak bisa begitu saja mengikuti desakan tersebut. Kalau pembahasannya tergesa-gesa, risikonya bisa banyak sekali nantinya,” jelasnya.

Apalagi, paparnya, secara teknis dalam revisi UU Antiterorisme ini kian banyak pihak yang harus disinergikan, mulai dari Polri, BNPT, BIN, TNI dan juga masyarakat sipil.

"Bagaimana bentuk sinerginya, itu yang sedang diatur. Yang jelas, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh negara atau aparat dengan menggunakan dalih terorisme," paparnya.

Diakuinya, masukan yang diterima DPR sangat banyak. Sebagai gambaran, untuk definisi terorisme saja, ada 172 rancangan yang masuk usulan pembahasan.

Untuk memformulasikan hal ini, tentu membutuhkan perumusan yang matang

“Jadi, tak ada kaitan belum selesainya pembahasan revisi UU Antiterorisme dengan aksi teror yang marak belakangan ini. Apalagi, dengan undang-undang yang masih berlaku aparat sebenarnya juga sudah bisa bekerja. Pembahasan yang sedang berlangsung di parlemen saat ini konteksnya hanya merevisi saja, sehingga bukan merupakan faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror," pungkas Fadli. (adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang Parlemen Eurasia di Seoul Hasilkan 10 Pernyataan


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DPR RI   DPR  

Terpopuler