jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik permintaan Presiden Joko Widodo kepada anggota TNI dan Polri untuk menjelaskan capaian kinerja pemerintah kepada masyarakat. Pasalnya, kata dia, selain melanggar UU yang mengatur tugas pokok TNI dan Polri, permintaan Jokowi sangat potensial menarik kembali dua institusi tersebut masuk ke dalam pusaran politik praktis.
Wakil ketua umum Partai Gerindra itu menegaskan sikap presiden tersebut buruk bagi demokrasi dan merugikan TNI-Polri.
BACA JUGA: Idrus Ceritakan Suasana saat Serahkan Surat Mundur ke Jokowi
“Permintaan Presiden Joko Widodo di depan anggota TNI-Pori untuk menyosialisasikan kinerja pemerintah, jelas pernyataan yang sangat berbahaya. Sangat politis, tidak proporsional," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/8).
Menurut Fadli, seharusnya presiden sensitif karena pernyataannya tersebut tidak hanya akan mencederai proses pemilu, tapi bisa merobohkan demokrasi. Ada dua alasan mendasar yang digarisbawahi Fadli terkait persoalan tersebut.
BACA JUGA: Ada Tugas Khusus dari Jokowi untuk Mensos Pengganti Idrus
Pertama, kata dia, permintaan presiden tersebut bertentangan dengan UU TNI-Polri. Fadli menjelaskan di dalam Pasal 39 Ayat 2 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tengang TNI, prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Sementara Pasal 28 Ayat 1 UU Nomor 2 tahun 2002 Tentang Polri menyebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Larangan ini juga dipertegas kembali dalam Pasal 67 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilihan Umum. TNI dan Polri dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu. "Jadi, regulasi yang menjaga netralitas TNI-Polri sudah sangat kuat,” tegasnya.
BACA JUGA: Idrus Marham Minta Mundur, Jokowi Langsung Setuju
Selain dilarang UU, lanjut Fadli, yang juga penting dicatat adalah menyosialisasikan kinerja pemerintah, jelas bukan bagian tugas TNI-Polri Anggota TNI-Polri tidak dipersiapkan khusus menjalankan tugas tersebut.
Menurut UU, tugas pokok TNI ada tiga, yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan. Dalam pelaksanaannya memang dimungkinkan bagi TNI menjalankan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
“Pertanyaannya, apakah menyosialisasikan keberhasilan pemerintah bagian dari OMSP? Jawabannya, sudah pasti bukan!" katanya.
Begitu juga di dalam Pasal 13 UU 2/2002 Tentang Polri. Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Alasan kedua, lanjut Fadli, permintaan presiden kepada anggota TNI-Polri jelas sangat politis. Sebab, yang menyampaikannya adalah presiden yang pada saat bersamaan juga berstatus sebagai bakal calon presiden. Semestinya, presiden harus semakin menegaskan jaminan netralitas TNI-Polri di tahun pemilu ini. Bukan justru menarik-narik TNI-Polri ke politik praktis. "Ini sama saja mengajak anggota TNI-Polri menjadi tidak profesional," jelasnya.
Karena itu, Fadli meminta semua pihak termasuk Presiden Jokowi yang sedang berstatus sebagai bakal calon presiden, untuk berhati-hati. "Jangan menarik TNI-Polri kembali dalam politik praktis," ujanrya.
TNI-Polri harus tetap menjaga netralitasnya. Sebab, politik TNI dan Polri adalah politik kebangsaan. Politik yang berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Bukan politik kepada orang per orang, apalagi bakal calon presiden. "Presiden harus meralat pernyataannya dan TNI-Polri harus tetap netral dalam pemilu dan pilpres," tuntasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bersumpah di Bawah Alquran, Agus Gumiwang Resmi Jadi Mensos
Redaktur & Reporter : Boy