Fadli Zon: Pidato Presiden Jokowi Soal RAPBN 2021 Kurang Realistis

Sabtu, 15 Agustus 2020 – 21:02 WIB
Fadli Zon kritik pidato Jokowi soal RAPBN 2021. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon kembali mengkritisi Presiden Jokowi.

Kali ini, Fadli mengkritik pidato pengantar RAPBN 2021 yang disampaikan Jokowi, dalam Sidang Bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Jakarta, Sabtu (15/8).

BACA JUGA: Bang Ruhut Pengin Nyinyiran kepada Fadli Zon & Fahri Hamzah Dihentikan

Fadli mengatakan, publik kemarin sudah mendengar pidato kenegaraan Jokowi dalam rangka mengantarkan RUU APBN 2021.

Di tengah ancaman pandemi serta resesi ekonomi yang masih akan terus berlangsung, katanya, rakyat sebenarnya ingin mendengarkan pidato kenegaraan yang dekat dengan kenyataan.

BACA JUGA: Terima Tanda Kehormatan RI, Fadli Zon Bakal Tetap Kritisi Pemerintahan Pak Jokowi

Menurut dia, hanya dengan mendekati realitas, akan bisa mencari jalan keluar tepat untuk mengatasi krisis yang tengah berlangsung.

"Sayangnya harapan itu tak terpenuhi. Pidato kemarin kurang realistis," twit Fadli di akun Twitter @fadlizon, Sabtu (15/8).

BACA JUGA: Din Syamsuddin Cs Segera Deklarasi KAMI, Ada Maklumat & Tuntutan untuk Jokowi

Mantan wakil ketua DPR itu mengatakan satu hal paling mencolok, ialah soal target pertumbuhan ekonomi.

Presiden Jokowi menargetkan pertumbuhan tahun depan ada pada kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen.

"Di tengah pandemi, itu adalah target yang tak masuk akal. Apalagi, selama kuartal kedua 2020 kemarin pertumbuhan ekonomi kita anjlok hingga minus 5,32 persen," kata Fadli.

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen itu mempertanyakan bagaimana caranya melompat dari minus 5 persen ke positif 5 persen di tengah-tengah pandemi, bila sebelum pandemi saja angka pertumbuhan hanya bisa mepet 5 persen.

"Rasanya tak perlu menjadi ekonom untuk menilai target itu sama sekali jauh dari realistis!" tegas Fadli.

Ia juga menilai pernyataan Presiden Jokowi bahwa harus menjadikan krisis ini sebagai momen untuk melakukan lompatan besar, adalah ungkapan terlalu muluk.

"Optimisme penting, tapi realistis lebih penting lagi," katanya menambahkan.

Menurut Fadli, sesudah kehidupan ekonomi anjlok, sebagaimana perekonomian hampir seluruh negara di dunia saat ini, yang diperlukan ialah pemulihan, alias kembali ke titik normal.

"Bicara mengenai lompatan pada saat sedang terpuruk, selain tak masuk akal, juga bukan ungkapan bijaksana," kata Fadli.

Politikus Partai Gerindra itu menyampaikan ada empat alasan kenapa optimisme dalam pidato presiden kemarin kurang realistis.

Pertama, anggaran stimulus ekonomi yang akan diberikan pemerintah tahun depan lebih kecil daripada tahun ini.

Merujuk pada revisi APBN 2020, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini mencapai Rp 695 triliun. Sementara, 2021 pemerintah hanya akan menganggarkan Rp 356,5 triliun.

"Artinya, dengan anggaran hampir Rp 700 triliun saja pemerintah gagal mengangkat perekonomian, apalagi dengan anggaran yang berkurang hampir setengahnya?" ujarnya.

Kedua, lanjut Fadli, RAPBN 2021 dengan jelas menunjukkan penyusunan anggaran belanja pemerintah sejauh ini, tak memiliki korelasi dengan kurva pandemi maupun proyeksinya.

Patokannya ialah besaran anggaran PEN dan defisit APBN itu sendiri.

Dengan dalih pandemi, tahun ini pemerintah telah dua kali merevisi APBN 2020 yang kemudian menghasilkan anggaran PEN Rp 695 triliun, dan pelebaran defisit 6,34 persen (Rp1.039,2 triliun).

Sebagai catatan, ketika menyusun anggaran ini pemerintah memproyeksikan pandemi Covid-19 akan melandai pada Juli atau Agustus 2020.

Pada kenyataannya, pandemi justru kian meluas. Selain klaster-klaster besar berupa wilayah, sejak pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Juli kemarin, kini juga muncul klaster baru berupa mal, perkantoran, pabrik, bahkan sekolah.

"Anehnya, ketika kurva pandemi terus menanjak, dan ujung dari pandemi ini semakin tak bisa diramalkan, alokasi anggaran pemerintah untuk menangani isu ini justru berkurang drastis," ungkapnya.

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan bahwa hal itu menunjukkan basis pengalokasian anggaran pemerintah memang kurang realistis, atau tak jelas basisnya.

"Muncul pertanyaan terkait anggaran PEN. Apa sebenarnya dasar pemerintah mengalokasikan anggaran Rp695 triliun untuk PEN? Perlukah anggaran sebesar itu, yang telah menyebabkan defisit APBN kita melonjak drastis?" ungkapnya.

Menurutnya, kalau alasannya pandemi dan resesi ekonomi, mestinya alokasi anggaran untuk tahun depan jauh lebih besar, atau minimal sama. Karena resesi global sebenarnya baru saja dimulai pertengahan tahun ini.

"Pada kenyataannya, anggaran PEN tahun depan berkurang hampir separuhnya, ketika pandemi dan resesi diproyeksikan akan terus memburuk," jelasnya.

Ketiga, lanjut Fadli, perlindungan sosial untuk rakyat kecil justru dikurangi. Kalau melihat postur RAPBN 2021, anggaran Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2021 “hanya” berjumlah Rp 92,82 triliun, alias turun dari anggaran tahun ini Rp 134 triliun.

Konsekuensinya, sebagaimana diakui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menyebabkan nilai bantuan sosial (bansos) tunai untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) turun.

Nilai bantuan akan turun dari sebelumnya Rp 300 ribu menjadi tinggal Rp 200 ribu per KPM.

Dengan adanya penurunan kembali tahun depan, berarti sejak pandemi ini muncul pemerintah telah dua kali menurunkan nilai bansos.

Semula, pemerintah memberikan bansos senilai Rp 600 ribu per KPM.

"Jumlah itu kemudian diturunkan menjadi Rp300 ribu. Dan tahun depan akan kembali dipangkas menjadi Rp 200 ribu," ujarnya.

Secara keseluruhan, alokasi anggaran perlindungan sosial terkait pandemi memang menurun.

Dalam APBN 2020 pemerintah menganggarkan Rp 203,9 triliun. Namun, dalam RAPBN 2021 anggarannya tinggal Rp 110,2 triliun.

"Terus terpangkasnya bantuan tunai untuk masyarakat memang ironis. Mengingat, di sisi lain pidatonya Presiden menyebut kunci pertumbuhan ekonomi kita saat ini adalah konsumsi rumah tangga," paparnya.

Nah, Fadli menyatakan bagaimana rakyat bisa menambah konsumsinya, jika mereka kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan juga bansos dari pemerintahnya.

Keempat, serapan belanja pemerintah sangat rendah. Kemenkeu menyebutkan, hingga akhir Juli kemarin, realisasi belanja untuk PEN baru mencapai 19 persen, atau sekitar Rp 136 triliun dari total Rp 695 triliun yang dianggarkan.

"Itu serapan yang sangat rendah. Padahal, di sisi lain pemerintah telah diberi “kekebalan hukum” dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran," kata Fadli.

Ia mengatakan bila serapan belanja pemerintah hingga kuartal kedua saja serendah itu, maka proyeksi bahwa pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke angka lima persen tahun depan, adalah proyeksi yang terlalu muluk.

"Dengan empat catatan tadi, saya bisa menilai pidato Presiden kemarin memang kurang realistis. Itu bukan kado yang diharapkan di tengah perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75," pungkas anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu. (boy/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler