Fadli Zon: Tokoh-tokoh Deklarator KAMI Bukan Orang-orang Kalah

Minggu, 30 Agustus 2020 – 11:09 WIB
Deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (18/8). Aksi tersebut dihadiri tokoh-tokoh seperti Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Refly Harun, Ahmad Yani dan lain-lain. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menilai yang disuarakan KAMI atau Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia sebenarnya hanya meneruskan kegelisahan masyarakat saja.

Bagaimanapun, kata Fadli, kekuasaan memang butuh diawasi dan dikritik. Bukan hanya oleh lembaga resmi pemerintahan seperti parlemen atau lembaga-lembaga yudisial, melainkan juga oleh kelompok masyarakat yang dulu sering disebut civil society.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Rizal Ramli Sebut Jokowi Suka Bikin Susah Orang, Ratusan Prajurit TNI Mengamuk di Ciracas

"KAMI merupakan bagian dari itu. Dulu pers juga berfungsi sebagai “anjing penjaga” atau “watch dog” dari pemerintahan. Tapi peran pers perjuangan seperti itu tampaknya kian punah," kata Fadli di akun @fadlizon di Twitter, dikutip Minggu (30/8).

Mantan wakil ketua DPR itu menilai hadirnya KAMI menunjukkan masih ada civil society di Indonesia. Menurutnya, hal ini patut disyukuri.

BACA JUGA: Kapitra Ampera Curiga KAMI Bentuk Poros Perlawanan yang Besar

Sebagai anggota parlemen, Fadli bahkan melihat kemunculan kelompok oposan di luar parlemen seperti KAMI ini merupakan hawa segar bagi demokrasi yang makin sumpek.

"Selain membantu mengkritisi pemerintah, kehadiran KAMI juga turut membantu parlemen, juga partai politik, dalam hal otokritik," ujar dia.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Siapa Sponsor Spanduk Habib Rizieq? ke Mana Tito Karnavian, KAMI bisa Jadi Ancaman Gibran

Menurutnya, catatannya cukup jelas yakni bila parlemen dan partai politik menjalankan fungsinya, peka terhadap aspirasi masyarakat, melaksanakan fungsi check and balances terhadap kekuasaan, maka gerakan seperti KAMI ini sebenarnya tak akan muncul.

Karena itu, kata dia, kemunculan KAMI menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam fungsi parlemen, partai politik, pers dan institusi-institusi pilar demokrasi lainnya.

"Itu sebabnya, kita tak perlu jengah terhadap kehadiran KAMI," tegas ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen itu.

Menurut Fadli, gerakan masyarakat sipil memang tak sepantasnya direspons dengan penilaian menyudutkan. Kehadiran civil society merupakan bagian dari demokrasi. "Sekali lagi sama seperti halnya kehadiran pers dan partai politik," ungkap Fadli.

Dia mengingatkan gerakan seperti KAMI selalu muncul di setiap periode pemerintahan.

Menurutnya, pada masa Orde Baru dulu, ada kelompok Petisi 50. Setelah Reformasi, pada masa pemerintahan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pernah muncul Petisi 28. Tuntutan kelompok ini bahkan lebih keras ketimbang delapan tuntutan yang disampaikan KAMI, yaitu memobilisasi gerakan cabut mandat dengan target menurunkan presiden.

"Toh kita tahu pemerintah dan semua lembaga negara pada waktu itu tak ada yg merespon dengan pandangan menyudutkan atau intimidasi dan kriminalisasi," kata Fadli mengingatkan.

Menurut dia lagi, adanya gerakan moral seperti ini menunjukkan masyarakat sipil masih berfungsi sebagai elemen demokrasi. Dia menegaskan bahwa ini adalah hal yang positif.

"Saya baca, delapan tuntutan yg disampaikan KAMI kemarin semuanya tak ada yang menyimpang dari koridor hukum dan demokrasi," paparnya.

Fadli mencontohkan misalnya KAMI meminta agar para penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR agar tidak menyimpang dari jiwa Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat Pancasila.

"Tidak ada yang keliru dengan tuntutan tersebut. Sebagai anggota @DPR_RI, saya justru berterima kasih karena ada yg mengingatkan untuk apa dan siapa sebenarnya kita harus bersuara di parlemen," ungkap Fadli.

Lebih lanjut Fadli mengatakan penilaian bahwa gerakan KAMI ini diisi oleh orang-orang yang kalah, atau pernah kalah, adalah ungkapan sinikal yang tak paham makna demokrasi. Sebab, dalam kacamata demokrasi, tak dikenal konsep yang menang dan yang kalah.

Menurutnya, demokrasi hanya mengenal konsep penguasa dan oposisi, yang menunjukkan pentingnya mekanisme check and balances dalam soal pemerintahan.

"Jadi, tokoh-tokoh yg mendeklarasikan KAMI kemarin bukanlah “orang-orang kalah”. Sebagian merupakan ‘senior citizens’ yg punya reputasi terpuji. Mereka adlh orang-orang yg mewakafkan diri untuk meluruskan jalan yang bengkok. Dalam bingkai demokrasi, posisi mereka sangat terhormat," papar Fadli.

Di sisi lain, lanjut dia, munculnya gerakan-gerakan seperti ini menunjukkan sedang ada masalah serius menggelisahkan masyarakat. Menurutnya, inilah poin paling penting yang seharusnya diperhatikan.

Masyarakat menilai sesudah 20 tahun reformasi, hampir semua tuntutan saat reformasi kini sedang dijegal. Dulu menentang korupsi, misalnya, namun kini lembaga anti-korupsi justru dilemahkan. Dulu menentang nepotisme, kini nepotisme dianggap biasa.

"Semua itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Pada saat bersamaan, kanal-kanal politik yang seharusnya dapat menyalurkan kegelisahan publik dianggap macet. Semakin sedikit juru bicara rakyat," jelas Fadli.

Dia melanjutkan, begitu juga halnya dengan saluran-saluran ekstra parlementer. Menurut Fadli, perguruan tinggi dan intelektual kampus yang mestinya bisa menjaga jarak terhadap kekuasaan sehingga bisa jernih menangkap kegelisahan publik, kini justru seperti terkooptasi oleh kekuasaan.

Fadli menambahkan hal serupa juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Menurutnya, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, gerakan mahasiswa bisa dikatakan mengalami mati suri.

Sehingga, kata dia, munculnya KAMI yang diusung oleh sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang adalah bentuk kanalisasi kegelisahan publik.

:Kemunculan KAMI adalah hal biasa dalam demokrasi. Bahkan, bagi saya, kehadiran mereka merupakan vitamin bagi demokrasi," ungkapnya. "Jika gerakan semacam KAMI ini tidak muncul, maka demokrasi kita sebenarnya sedang berada dalam ancaman," tuntas Fadli. (boy/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler