jpnn.com, JAKARTA - Pada 6 Juli 2017 pekan lalu, pemerintah telah menyerahkan nota perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) 2017 kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyoroti sejumlah persoalan dalam nota tersebut, terutama terkait tata kelola anggaran dan utang yang dinilai buruk.
BACA JUGA: Parlemen Afrika Selatan Minta Saran Air Bersih dan Sanitasi di DPR
“Baru pada 19 Mei 2017 lalu, dalam penjelasan mengenai kerangka ekonomi dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah menyampaikan di depan DPR jika defisit anggaran hanya akan mencapai Rp 330,2 triliun, atau 2,42 persen dari PDB. Anehnya, belum berselang dua bulan, pada naskah RAPBN-P 2017 pekan lalu proyeksi defisit itu berubah drastis menjadi Rp 397,2 triliun, atau mencapai 2,92 persen terhadap PDB,” kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis yang diterima Rabu (12/7).
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, selisih proyeksi defisit Rp 67 triliun bukanlah angka yang kecil. Ia mempertanyakan mengapa hanya dalam tempo kurang dari dua bulan, perhitungan yang dibuat pemerintah cepat sekali berubah?
BACA JUGA: Lubang Misterius di Lapas Kerobokan, Siapa Penggalinya?
Lebih aneh lagi, kata Fadli, meskipun proyeksi defisit untuk tahun 2017 berubah drastis, namun proyeksi defisit 2018-2020 dalam nota APBN-P ternyata tetap dipertahankan, tak diubah. “Padahal logisnya kan harusnya ikut berubah. Kita jadi bertanya mengenai kredibilitas penyusunan anggaran ini,” ujar Fadli.
Menurutnya, terus meningkatnya defisit anggaran, yang kini mencapai 2,92 persen, tentu tak bagus, karena sudah pasti akan ditutup dengan utang. Dan tambahan utang baru pasti lebih besar dari defisit, karena selalu disertai tambahan rencana investasi yang dibiayai utang. Inilah yang telah membuat jumlah utang pemerintah terus membesar.
BACA JUGA: Pembahasan RUU Pertembakauan Demi Kepentingan Nasional
“Dalam catatan saya, selama 2,5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang Indonesia telah bertambah Rp 1.062 triliun. Pertambahan ini hampir sama dengan pertambahan jumlah utang periode kedua pemerintahan Presiden SBY, yang pada 2009-2014 mencapai Rp 1.019 triliun. Artinya, pertumbuhan utang pemerintah saat ini bisa dikatakan luar biasa. Sejak Indonesia merdeka, inilah rekor utang tertinggi,” kata Fadli.
Dia menjelaskan pada akhir 2014, utang kita tercatat masih Rp 2.604,93 triliun. Tapi pada akhir Mei 2017 lalu, jumlahnya telah menyentuh Rp 3.672,33 triliun. Di tengah defisit anggaran yang kian membesar, utang yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019 jumlahnya juga cukup besar, masing-masing mencapai Rp 390 triliun dan Rp 420 triliun.
“Dan itu baru menghitung utang jatuh tempo, belum jika kita memperhitungkan pembayaran bunga utang tiap tahun. Sebagai gambaran, bunga yang dibayar pada 2016 adalah sebesar Rp 182,8 triliun. Pada 2017 ini, pembayaran bunga dianggarkan sebesar Rp 221,2 triliun. Bisa dibayangkan tingginya beban utang.”
Sayangnya, lanjut Fadli, pemerintah selama ini selalu menutup-nutupi pertumbuhan luar biasa utang kita dengan dalih rasionya terhadap PDB masih kurang dari 30 persen. Selama ini rasio utang terhadap PDB memang masih bergerak pada level 27-28 persen. Namun, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena mestinya jumlah utang pemerintah dibandingkan dengan pendapatan pemerintah sendiri, bukan terhadap PDB.
Ia berpendapat PDB menggambarkan pendapatan total seluruh pelaku ekonomi di suatu negara, mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta, hingga orang asing. Jadi, nilai PDB tak mencerminkan pendapatan asli pemerintah. Apalagi rasio pajak kita terhadap PDB juga tergolong kecil, hanya berada pada kisaran 11 persen. Sehingga, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena tak menggambarkan kemampuan riil perekonomian kita. Harusnya utang dibandingkan terhadap pendapatan pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN.
“Jika kita bandingkan, pada 2012 rasio pendapatan nasional terhadap total utang kita masih berada di angka 67,6 persen. Namun pada 2017, rasionya tinggal 43,6 persen. Rasio pendapatan terhadap utang terus-menerus turun. Ini mestinya dijadikan acuan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan pembangunan,” katanya.
Sayangnya, menurut Fadli, meski situasi anggaran kita saat ini sebenarnya mencemaskan, tapi kita belum melihat pemerintah telah dan akan mengevaluasi secara serius proyek pembangunan infrastruktur yang saat ini telah terbukti banyak mangkrak karena ketiadaan anggaran.
“Dulu pemerintahan SBY berutang karena kondisi fiskal tertekan akibat aneka beban subsidi, mulai dari BBM, listrik dan lain-lain. Agak lucu, sesudah pemerintah mencabut berbagai subsidi, kita masih saja harus menambah utang karena kegagalan pemerintah mengelola dan membuat prioritas belanja anggaran,” kritik Fadli.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR: Jangan Semua TKI Dianggap Ilegal
Redaktur : Tim Redaksi