Fahri Hamzah: Presiden Jokowi Harus Bertanggung Jawab

Selasa, 25 Desember 2018 – 21:10 WIB
Fahri Hamzah. Foto: Humas DPR for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah bencana alam besar telah menerpa Indonesia sepanjang 2018. Antara lagi gempa bumi Nusa Tenggara Barat (NTB) Agustus 2018, gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) September 2018.

Terbaru, tsunami di Selat Sunda yang menerjang Banten dan Lampung Desember 2018 ini. Sistem maupun peralatan peringatan dini tsunami menjadi sorotan.

BACA JUGA: Pelni Siapkan Kapal Angkut Bantuan untuk Korban Tsunami

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah mengatakan, sebenarnya tema mitigasi bencana itu harus menguat sebelum terjadinya peristiwa itu sendiri.

Menurut Fahri, setelah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang disampaikan oleh pemerintah pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disahkan, maka Indonesia berkemungkinan mengembangkan teknologi antariksa untuk melakukan mitigasi bencana. Di antaranya dalam bentuk mengembangkan satelit yang memantau pergerakan kerak bumi, maupun aktivitas gunung berapi secara lebih masif dan komprehensif.

BACA JUGA: Data Terbaru Korban Tsunami: 429 Orang Meninggal Dunia

Fahri mengatakan, mungkin sekarang sudah ada peralatan yang dimiliki Indonesia, namun teknologinya tidak memungkinkan melakukan pemantauan menyeluruh karena letaknya yang terputus-putus.

"Dan dari hampir 200 pusat pemantauan, saya mendengar hanya 50 lebih yang masih aktif. Yang lain itu sudah tidak aktif lagi," kata Fahri menjawab JPNN, Selasa (25/12) malam.

BACA JUGA: Fadli Desak Evaluasi Total BMKG, Butuh Orang Profesional!

Menurut Fahri, menempatkan teknologi pemantauan dan mitigasi bencana di Indonesia adalah sesuatu yang sangat mutlak dan darurat. "Itu pertama yang saya katakan sebagai pandangan terakhir tentang bagaimana cara mengatasi bencana," ujarnya.

Kedua, Fahri memandang aneh terkait institusi di Indonesia ketika terjadi bencana. Menurut dia, ketika bencana terjadi berturut-turut dan begitu besar akibat kelalaian melakukan mitigasi dan early warning system kepada rakyat hingga menimbulkan banyak korban nyawa manusia, tidak ada satu pun lembaga yang memiliki kapasitas bertanggung jawab atas keseluruhan masalah yang ditimbulkannya.

"Padahal seharusnya ada. Harusnya ada lembaga yang bertanggung jawab, dan ada orang yang harusnya dihukum karena kegagalan melakukan tugas mitigasi dan early warning system," paparnya.

Sebab, ujar Fahri, apa pun ini telah menyebabkan jatuh korban. Dia mengingatkan tidak boleh hanya murni mengatakan itu kehendak Tuhan. "Padahal kita menyiapkan adanya undang-undang dan kelembagaan, serta orang -orang yang bertanggung jawab atas mitigasi ini," jelas politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Ketiga, lanjut Fahri, Presiden Joko Widodo juga harus bertanggung jawab terhadap sistem peringatan dini tsunami yang tidak jalan. Fahri mengaku dulu pernah mengusulkan adanya satelit yang memantau perjalanan kerak bumi. Menurut dia, jangankan pergerakan kerak bumi, satelit untuk memantau penebangan kayu saja ada di dunia sekarang ini.

Satelit itu bisa memantau deforestasi. Sehingga setiap pohon yang ditebang setiap hari di seluruh dunia itu nampak dalam satelit. Karena itu, Fahri memandang penting perlunya early warning system mengingat Indonesia merupakan ring of fire.

"Apalagi kita di Indonesia yang sudah jelas-jelas daerah ring of fire dan memiliki peluang bencana yang sangat besar. Kalau tidak punya yang memadai maka bencana bisa mengintai dari hari ke hari," ungkap Fahri.

Karena itu, Fahri menyarankan presiden melakukan langkah yang konkret. Tapi, lanjut dia, karena ini sudah di ujung kepemimpinan Jokowi, maka calon presiden harus punya program yang memadai untuk menghadapi bencana.

Menurut dia, hal ini juga harus menjadi bahan perdebatan. Jangan sekadar menjadi basa-basi dan janji yang tidak dipenuhi. Tapi harus janji yang akan dipenuhi untuk menjamin keselamatan bangsa Indonesia karena.

"Bukankah amanat dari pembukaan UUD 1945 yang pertama adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia?" pungkas mantan aktivis mahasiswa yang terkenal vokal itu.

Sebelumnya diberitakan, Jokowi memerintahkan BMKG segera melakukan pengadaan alat tersebut guna mencegah jatuhnya korban jiwa dari bencana alam tsunami yang terjadi berulang di Indonesia.

"Saya perintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system yang bisa memberikan peringatan-peringatan dini kepada kita semua, kepada masyarakat," kata Jokowi di sela-sela meninjau dampak tsunami di Pantai Carita, Pandeglang, Banten, Senin (24/12).

Mantan gubernur DKI Jakarta itu menyampaikan, alat haruslah tipe terbaik sehingga bisa memberi peringatan yang andal. Sebab alat pendeteksi tsunami yang dimiliki BMKG saat ini hanya bisa mendeteksi tsunami akibat gempa tektonik.

Seperti diketahui, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah warga meninggal dunia akibat tsunami Selat Sunda hingga, Selasa (24/12) siang, telah menyebabkan 429 korban meninggal dunia. Korban hilang 154 jiwa. Korban luka-luka 1.485 orang. Warga yang mengungsi sebanyak 16.082. Rumah rusak 913 unit.

Kerugian masih dalam pendataan. Kemudian, gempa dan tsunami NTB beberapa waktu lalu telah menyebabkan 564 korban meninggal dunia. Kemudian korban luka-luka 1.886 orang, mengungsi 11.510 jiwa. Gempa juga mengakibatkan 149.715 unit rumah rusak. Kerugian mencapai Rp 17,13 triliun.

Korban terbanyak adalah pada gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulteng, September 2018 lalu. Adapun korban meninggal dunia 2.101 jiwa. Korban hilang 1.373 jiwa. Luka-luka 4.438 orang. Warga mengungsi 221.450. Rumah rusak 68.451. Kerugian mencapai Rp 18,47 triliun. (boy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penting! Krakatoa Meletus, Saksi Mata Mencatat…


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler