jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatur presidential threshold (PT). Menurut Fahri, keputusan tersebut membatasi hak partai politik (parpol) dan rakyat.
“Itu terkait terbatasnya hak mencalonkan kandidat. Satu struktur satu kader satu kandidat. Sekarang orang (parpol, red) harus berkoalisi dari awal, nah masalahnya koalisi enggak terjadi dari awal,” ucap Fahri di Jakarta, Kamis (11/1).
BACA JUGA: Ssst..Fahri Sebut Ada Partai Jual Kursi DPRD Rp 5 Miliar
Seharusnya, menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera ini, setelah adanya putusan MK ini partai-partai langsung bergerak memunculkan kandidat masing-masing sehingga rakyat dapat mengetahui siapa calon pemimpin mereka pada Pilpres mendatang.
"MK sudah memutuskan demikian, tapi partai harus cepat bila perlu mulai diumumkan, saya mencalonkan ini. Itu mesti diputuskan,” tegasnya.
BACA JUGA: Hormati Putusan MK Soal PT, PD Siapkan Strategi Pilpres
Dengan begitu, lanjut politikus asal Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, para kandidat bisa memulai sosialisasi diri. Bahkan berdebat secara nasional di kampus-kampus, bertemu dengan tokoh masyarakat dan rakyat.
Fahri mengingatkan agar ke depan tidak terlalu banyak penyesalan setelah memilih. "Kan banyak kita lihat orang setelah memilih kecewa karena tidak tahu yang dia pilih,” ujarnya.
BACA JUGA: Mendagri Anggap Wajar Ada yang Anggap PT tak Demokratis
Selain itu, putusan MK ini juga membatasi hak masyarakat karena pilihannya terbatas. Untuk menutupi hal itulah parpol diminta segera menentukan pilihannya untuk disodorkan kepada publik. “Bukan memunculkan figur di menit-menit akhir,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid sebelumnya berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan uji materi yang diajukan enam pemohon berbeda tersebut.
“Saya berharap karenanya permohonan judicial review bisa dikabulkan MK,” kata Hidayat di gedung parlemen, Jakarta, Kamis (11/1).
Menurut Hidayat, dikabulkannya uji materi itu semata-mata untuk taat kepada konstitusi. Rakyat pun akan diberikan lebih banyak alternatif capres yang sesuai dengan harapan mereka.
"Mudah-mudahan akan membuat rakyat masih percaya dengan demokrasi dan pilpres sehingga karenanya mereka tidak perlu mengambil jalan di luar demokrasi seperti radikalisme, liberalisme," paparnya.
Dia mengatakan MK tentu sudah mengkaji dan mendengarkan banyak pihak terkait dengan uji materi tersebut.
Menurut dia, pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 memang PT 20 persen tidak menjadi masalah. Namun, kata dia, sekarang memang dipermasalahan karena ada faktor baru yakni putusan MK yang menggabungkan Pilpres dengan pemilihan legislatif (pileg).
Merujuk Pasal 6 UUD 1945 terkait pencalonan presiden, diatur bahwa yang berhak mencalonkan adalah parpol peserta pemilu. Pesertanya adalah seluruh partai yang secara sah sebagai peserta pemilu seperti yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Nah, di antara parpol itu ada yang belum ikut pemilu seperti Perindo dan PSI. Sekarang, mereka sudah bisa ikut pemilu sesuai dengan ketentuan dengan UUD.
"Kalau sekarang Pemilu dan Pilpres dibarengkan dan yang boleh mengajukan hanya yang 20 persen berarti menghadirkan ketidakadilan bagi parpol yang tidak capai 20 persen. Ketidakhadiran itu tidak sesuai dengan UUD," katanya.
Karena itu, kata dia, PKS, Gerindra, PAN dan Demokrat menolak voting saat pengambilan keputusan pasal terkait PT.
Menurut dia, ini bukan persoalan benar atau salah. Namun, tegasnya, persoalan yang terkait UUD tidak bisa divoting. Satu-satunya lembaga negara yang berhak menguji apakah sesuai atau tidak dengan konstitusi adalah MK. "Di tangan MK kenegarawanan diuji," tegasnya.
Sekarang, kata Hidayat, tinggal dilihat apakah MK takluk untuk kepentingan parpol besar dan atau mereka betul melaksanakan UUD yang sebagiannya sendiri mereka yang memutuskan.(fat/boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Ingin Golkar Segera Usulkan Nama Calon Ketua DPR
Redaktur : Boy
Reporter : Boy, M. Fathra Nazrul Islam