Faisal Basri

Oleh: Dahlan Iskan

Jumat, 06 September 2024 – 07:31 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - KAMIS kemarin itu sebenarnya Dr Faisal Basri punya jadwal ke pengadilan negeri Jakarta. Bersama tokoh pers Bambang Harymurti. Dua orang itu akan menjadi saksi ahli perkara PK yang diajukan ahli keuangan Lin Che Wei.

Di hari yang sama Faisal ternyata harus ke pemakaman Menteng Pulo, Tebet, Jakarta: ahli ekonomi itu meninggal dunia Kamis subuh kemarin. Dia dimakamkan di situ.

BACA JUGA: Nostra Aetate


Faisal Basri bersama Effendi Gazali dan Abraham Samad saat memberikan dukungan untuk Dahlan Iskan, ketika itu ia sedang menjalani sidang kasus dugaan korupsi.--

Faisal sebenarnya sering tidak sejalan dengan Lin Che Wei. Namun, Faisal mengatakan bahwa Che Wei tidak bersalah. Dia mau jadi saksi untuk itu.

BACA JUGA: Babi Ideologi

Che Wei dijadikan tersangka soal perdagangan minyak goreng. Dia seperti menjadi tumbal heboh nasional kenaikan harga minyak goreng dua tahun lalu.

Che Wei dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Dia naik banding ke pengadilan tinggi. Tetap dihukum satu tahun penjara.

BACA JUGA: Porang Hidup

Lalu kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA hukuman untuk Che Wei justru dinaikkan menjadi tujuh tahun.

Che Wei pun mengajukan PK. Bambang Harymurti, mantan pemred TEMPO dan Faisal Basri mendukung Che Wei.

Karena itu Bambang kaget ketika Kamis pagi kemarin menerima kabar Faisal meninggal dunia. Akhirnya Bambang berangkat sendiri ke pengadilan. Selesai bersidang dia langsung ke makam: jadi orang pertama yang tiba di makam.

Di mata Bambang –pun di mata siapa saja– Faisal itu istimewa.

Ibarat partai hanya dia yang tabah menjadi oposisi seumur hidupnya. Oposisi terhadap pemerintah.

Dia selalu kritis pada kebijakan ekonomi negara. Utamanya, belakangan, soal penambangan nikel.

Faisal hampir tidak pernah mengenakan sepatu. Alas kakinya selalu saja sandal-sepatu.

Dia juga tidak pernah membawa tas. Ke mana-mana Faisal mamanggul ransel.

Faisal adalah ahli ekonomi kelas satu dengan penampilan kelas ekonomi.

Faisal pernah mengembalikan uang ratusan juta rupiah ke salah satu BUMN. Sebenarnya itu uang honorarium atas jasa pemikirannya. Namun, dia merasa nilainya berlebihan. Dia merasa ada maksud tersembunyi di balik uang itu: agar tidak terlalu kritis pada BUMN tersebut.

Faisal bulan lalu menerima undangan kelompok tani di Sumatera Utara. Dia hanya dijemput mobil tanpa AC. Perjalanannya jauh. Enam jam. Naik turun. Sampai muntah-muntah. Dia tidak mengeluh. Nasib petani lebih buruk daripada dirinya. Harus dibela.

Faisal sungguh manusia langka. Analisis ekonominya setajam keris raja-raja Jawa tetapi hatinya begitu mulia.

Sebenarnya dia bisa dengan mudah menjadi kaya. Tapi dia tetap saja naik kendaraan umum. Tinggalnya pun di apartemen sederhana. Berdua dengan istri. Tiga anaknya sudah mandiri.

Tiga hari lalu kondisi Faisal kurang baik. Anaknya memaksanya ke rumah sakit. Tidak mudah meyakinkan Faisal masuk rumah sakit. Kali ini agak telat. Jantungnya bermasalah. Seharusnya bisa segera dioperasi. Akan tetapi gula darahnya juga lagi tinggi. Harus dikendalikan dulu.

Faisal dimasukkan ICU. Di RS Mayapada. Tidak tertolong. Usianya baru 65 tahun.

Faisal tentu beririsan dengan politik. Dia pernah menjabat sekjen Partai Amanat Nasional (PAN).

Dia berharap PAN bisa menjadi partai reformasi yang modern. Demokratis. Independen. Gabungan antara kelompok agama dan nasionalis/sekularis.

Dia kecewa. PAN dia nilai lebih tergiur menjadi partai agama. Amien Rais ternyata tidak bisa nyaman berada di tengah-tengah kelompok sekuler.

Faisal mundur dari PAN. Pun tokoh-tokoh sekuler lainnya.

Suatu saat Faisal bergurau: dia masuk PAN gara-gara didorong Hamid Basyaib, tetapi Hamid sendiri tidak pernah masuk PAN.

Hamid adalah tokoh yang menjadi dalang ide penggabungan antara kekuatan Islam dan sekuler.

Hamid berpendapat PAN tidak bisa besar kalau hanya berkutat di basis Islam. Di situ PAN akan berebut suara dengan partai berbasis Islam lainnya.

Namun, Hamid masih ragu dengan sikap Amien. Dia melihat Amien masih cenderung untuk masuk PPP dan jadi tokoh sentral di partai itu.

"Kami dan PPP saling berebut Amien. Sampai secara fisik. Kami tarik lengan Amien dari tokoh PPP yang menariknya," ujar Hamid tadi malam.

Akhirnya Hamid tidak mau masuk PAN. Tapi Hamid diminta agar ''menyerahkan'' lima sahabatnya sesama tokoh sekuler ke PAN. Dia serahkan daftar lima orang itu. Salah satunya Faisal Basri.

Hamid sendiri kemarin tidak ke pemakaman Faisal. "Saya tidak pernah sampai hati ke pemakaman teman baik. Saya tidak bisa melihat teman saya dimasukkan lubang kuburan," katanya.

Hamid pilih menulis artikel kenangan untuk temannya itu. Saya turunkan tulisan Hamid Basyaib tentang Faisal di bawah ini.(Dahlan Iskan)

***

Qiraah Teno Faisal Basri
Oleh: Hamid Basyaib

JIKA cita-cita bangsa Palestina terwujud untuk memiliki negara sendiri, maka negeri itu akan dengan cepat menjadi pusat keuangan di Timur Tengah. "Para pebisnis dan ahli-ahli finansial Palestina yang selama ini sukses di Amerika dan Eropa, kata Faisal Basri, akan berbondong pulang ke tanah Palestina dan menggerakkan perekonomian di sana, terutama sektor finansial.”

Dia mengatakan hal itu pada diskusi dalam rangkaian acara Pekan Palestina di kampus UII Yogyakarta, 1989. Sebagai moderator, saya terperangah mendengar uraiannya yang disampaikan dengan kalem dan sarat data. Saya merasa selama ini cukup mengikuti isu konflik Timur Tengah, tapi rupanya saya hanya berfokus pada aspek politik dan militer, dan tidak pernah memikirkan sisi yang diungkap Faisal dengan sangat baik.

Harapannya tak pernah terwujud. Palestina malah semakin robek. Status financial hub itu diraih UEA, khususnya Dubai. Rupanya dia terlalu optimistis –mungkin juga optimisme ini muncul karena dorongan simpati yang meluap pada nestapa bangsa Palestina.

Akan tetapi setidaknya dia mengajukan suatu analisis yang masuk akal, lengkap dengan topangan data ekonomi yang meyakinkan, tentang suatu aspek yang hampir tak pernah disinggung oleh pengamat Timur Tengah mana pun, di Indonesia maupun luar negeri.

***

Sepuluhan tahun kemudian kami berjumpa lagi di Jakarta. Kali ini ditautkan oleh semangat sama: kita perlu memanfaatkan sistem politik yang dibuka oleh reformasi dengan membentuk partai politik. Kami merasa siap menjadi peserta dalam kontestasi demokratis untuk meraih kekuasaan, seperti sejak lama dipraktikkan di negara-negara demokrasi normal.

Dan untuk itu kami juga sepakat: kita punya Amien Rais, yang kala itu sedang di puncak popularitas sebagai tokoh utama penggerak reformasi, dengan battle cry anti-KKN yang efektif dan disambut hangat oleh publik yang terus meluas. Dalam pandangan kami, Amien Rais harus melanjutkan perjuangannya ke arah yang logis, yaitu membentuk sebuah partai politik, dan tidak cukup hanya terus bergerak di tingkat penyadaran publik.

Fase itu sudah selesai. Jika dia tidak membentuk partai, maka berkah Reformasi hanya akan dimanfaatkan oleh orang-orang lain yang kurang "berhak"; jika bukan termasuk oleh mereka yang menopang sistem lama dan yang selama ini ikut berusaha membendung spirit perubahan yang disuarakan Amien Rais.

Beberapa kelompok dari beragam "garis ideologi" sepakat berharap pada Amien Rais. Dalam ungkapan Nurcholish Madjid, sekaranglah saatnya Amien Rais "takes the lead". Dia memiliki semua kredensial yang diperlukan untuk memimpin Indonesia. Dia pemimpin Muhammadiyah, akademisi dan intelektual penting, konsisten menyuarakan reformasi.

Dia, misalnya, pada 1988 menulis makalah panjang dengan judul tegas "Suksesi adalah Suatu Keharusan" atau semacam itu; yang artinya tidak bisa lain kecuali bahwa Presiden Soeharto harus mengakhiri kekuasaannya. Dan yang tak kurang penting: pekik perubahan Amien Rais itu disambut hangat oleh kelas menengah dan bawah, elemen-elemen birokrasi, faksi-faksi tentara, dan sebagainya.

Faisal Basri tergabung dalam salah satu kelompok yang ingin mengusung Amien Rais. Setelah melewati jalan berliku –keraguan Amien sendiri untuk membentuk partai baru, "perebutan" dengan partai lama yang ingin menjagokannya, sikap setengah-hatinya untuk keluar dari "kotak Islam" dan membaur dengan para tokoh dan aktivis dari beragam warna –terbentuklah Partai Amanat Nasional (bukan "Partai Amanat Bangsa" seperti rencana semula).

Rangkaian rapat persiapan menghasilkan 9 anggota formatur untuk membentuk kepengurusan perdana PAN. Meski saya tidak termasuk 9 deklarator itu, saya ikut rapat penentuan personel di sebuah kantor perusahaan di Kuningan, dan ikut mengusulkan Faisal Basri sebagai sekjen pertama mendampingi undisputed Ketua Umum Amien Rais.

Sebentar saja terbukti bahwa Faisal Basri terlalu halus untuk menjadi makhluk politik. Dia mengeluhkan banyak hal dan dengan kritik yang bersahabat menyalahkan saya. "Anda menjebloskan saya ke dalam partai, tetapi Anda sendiri tidak mau masuk," katanya. Saya hanya meringis dan mengulangi dalih bahwa saya wartawan, sebaiknya tidak masuk dalam struktur resmi partai.

***

Tak lama kemudian ia keluar dari PAN. Saya menerima keputusan ini dengan sepenuh maklum. Dia pasti lebih produktif sebagai pengamat ekonomi yang tekun dan tajam, seperti cirinya yang semakin kita kenal. Namun dia, karena desakan banyak sahabatnya, sempat tergoda lagi dan mencoba bertarung di pilkada Jakarta.

Pengalaman ini tampaknya semakin mengukuhkan keyakinannya bahwa politik, setidaknya bagi seorang yang mudah menangis seperti dia, memang bukan arena yang tepat untuk mengaktualkan bakat terbesarnya.

Tempat terbaik baginya adalah lapangan riset dan advokasi ekonomi. Dan di sektor ini dia menanamkan tonggak kuat di banyak lembaga penelitian –LPPM UI, Indef, ICW, dan lain-lain.

Dia bukan hanya menjadi suara ide ekonomi yang tajam, tetapi juga sebuah suara moral tentang keadilan sosial; suatu suara moral yang terutama bukan dia landaskan pada kitab etika umum, namun pada rasionalitas, pada pengetahuan dan pemahamannya yang kuat tentang cara terbaik bagi suatu negara dalam mengelola ekonomi nasional yang adil.

Beberapa tahun terakhir vokalnya terdengar semakin parau dan kritik-kritiknya semakin gamblang. Dia mengungkapkan ketaksabarannya yang kian tak tertahankan. Dia meneriakkan ketidakmengertiannya dengan emosional, kenapa ekonomi nasional dikelola dengan cara-cara yang baginya sangat merugikan Indonesia secara tak masuk akal.

***

Ketika pagi ini mendengar dia wafat, yang segera tergambar dalam lansekap kenangan saya bukanlah penampilannya yang sebersahaja dulu, dengan topi golf sebagai personal statement tambahan, tetapi suasana di suatu senja di sebuah vila di Puncak. Beristirahat dari rapat persiapan program PAN di Puncak untuk salat Magrib, jamaah 4-5 orang sepakat memintanya menjadi imam.

Kami semua terkejut. Dia memimpin salat dengan qiraah yang sangat baik. Vokal tenornya yang lirih dan fasih menjadi satu-satunya suara yang terdengar di senja yang sunyi senyap itu. Semua yang ikut menjadi makmumnya bisa merasakan energi kebaikan yang muncul dari keotentikan suaranya.

Siapa tahu kelak makin banyak orang yang bersedia mendengar suara itu –hingga lama setelah pengucapnya meninggalkan mereka dalam usia 65.(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mazhab M&Q


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler