Faisal Basri, Mengejar Kursi Gubernur DKI Jakarta dengan Modal Saweran

Dapat Rp 4,7 Juta dari Bantingan Jemaat Gereja

Minggu, 05 Februari 2012 – 00:05 WIB
Faisal Basri bersama putranya, Muhammad Athar Basri di rumahnya Jalan Ciasem, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Foto; Ridlwan/Jawa Pos

Faisal Basri kini rajin blusukan ke kampung-kampung di pelosok Jakarta. Itu adalah bagian dari ikhtiarnya untuk maju sebagai calon orang nomor satu di ibu kota. Tanpa memakai kendaraan partai politik, Faisal berhasil mengantongi 650 ribu KTP sebagai syarat dukungan.
 
 RIDLWAN HABIB, Jakarta
 
SEBANYAK 3 ayam kate (2 betina dan 1 pejantan), 11 ikan koi, dan 3 kura-kura brazil menjadi "penghuni" beranda belakang rumah Faisal Basri yang asri di Jalan Ciasem, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Juga, ada dua pohon salak dan aneka bunga.
 
"Pohon salak ini tumbuhnya nggak sengaja. Anak saya lempar biji, eh tumbuh," kata Faisal kepada Jawa Pos Selasa lalu (31/1). "Kalau kura-kura ini saya beli belum lama, saat mengunjungi pedagang korban gusuran Pasar Barito," tambahnya.
 
Tampil santai dengan kaus cokelat dan celana jins, keponakan mendiang Adam Malik, wakil presiden era Soeharto, tersebut mengatakan sedang tidak enak badan. "Saya bertemu teman-teman, diskusi di tempat terbuka sampai jam 23 malam. Angin kencang sekali, ditambah juga telat makan," kata pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 52 tahun lalu, tersebut.
 
Jika sedang fit, Faisal nyaris tak pernah di rumah. "Keluar jam 7 pagi, pulang bisa jam 1 malam," ujarnya. Sang istri, Syafitrie, yang sedang mendampingi putra mereka, Muhammad Athar Basri, belajar di ruang tengah, mengiyakan.
 
Faisal mengungkapkan, tekadnya menjadi calon gubernur dengan menggandeng Biem Benyamin (anak almarhum Benyamin Sueb, Red) adalah suatu kebetulan. "Membayangkannya pun tidak," ucapnya.
 
Semua berawal ketika Faisal diajak diskusi sekaligus peresmian sebuah kedai kopi yang diprakarsai para aktivis eks "98 di bilangan Gandaria, Jakarta. Temanya, Prospek Calon Independen dalam Pilkada Jakarta. "Sekitar sebelum puasa tahun lalu," ujar alumnus Vanderbilt University, Nashville Tennessee, Amerika Serikat (AS), tersebut.
 
Kebetulan, saat itu Faisal dan keluarga baru pulang dari umrah. Mereka sempat mampir ke Dubai dan menjajal wahana roller coaster di Ferrari World dengan kecepatan hingga 200 kilometer per jam. "Saya ini baru pertama naik roller coaster ya saat itu. Anak-anak yang maksa. Wus, rasanya jantung mau copot," ujarnya. Athar yang mendengar pengakuan sang ayah pun tertawa.
 
Nah, di akhir diskusi di Gandaria itu, tiba-tiba ada spanduk yang dibentangkan. "Ada foto saya dengan tulisan saatnya memimpin Jakarta. Jantung saya rasanya sama dengan naik roller coaster Dubai itu. Benar-benar kaget," ucap Faisal.

Rupanya, para aktivis -antara lain, Arie Sujito dari Fisipol UGM Jogjakarta dan Teten Masduki (pendiri ICW)- sengaja merancang kejutan untuk Faisal. Saat Pilkada Jakarta 2007, Faisal digadang-gadang sebagai calon dari PDI Perjuangan. Namun, di tengah jalan, namanya terpental.

PDIP akhirnya mengusung Fauzi Bowo. "Saat itu saya sempat dipanggil Ibu Mega (ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Red). Ada Pak Taufik (Kiemas) juga. Mereka pada intinya meminta maaf dan menghargai," tuturnya.
 
Bagaimana dengan Partai Amanat Nasional (PAN)? Faisal adalah inisiator Majelis Amanat Rakyat, cikal bakal PAN. Dia juga Sekjen PAN pertama sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 2001.

"Mereka bilang Faisal terlambat. Saat ini kami sedang menawarkan untuk mereka yang mau paling tinggi tawarannya," katanya yang menirukan ucapan salah seorang petinggi PAN saat itu.
 
Sejak itu Faisal tak lagi percaya kepada partai politik. "Anda bayangkan, kepemimpinan yang merupakan amanah digadaikan untuk penawar tertinggi. Politik macam apa itu," ujarnya.
 
Pulang dari diskusi di Gandaria, Faisal salat Istikharah. "Lalu, saya ajak istri dan anak-anak ke lantai atas. Saya minta pendapat mereka dan ternyata semuanya mendukung. Ya sudah, mantap saya," tutur dosen yang saat kuliah lebih sering menginap di Masjid Arif Rahman Hakim, UI, tersebut.
 
Bagi Faisal, panggilan memimpin Jakarta adalah kesempatan memperbaiki Indonesia dari jantungnya. "Saya sebenarnya sedang di posisi sangat nyaman dengan aktivitas sebelumnya, mengajar, meneliti, mengisi seminar. Tapi, menyelamatkan Jakarta itu bisa jadi ujung tombak mengubah Indonesia," katanya sembari memandang lurus ke depan.    
 
Satu demi satu dukungan muncul. Terutama dari kalangan LSM dan aktivis. "Saya sowan ke Pak Sarwono Kusumaatmadja (mantan menteri LH). Beliau sangat mendukung, bahkan menugasi jaringannya untuk membantu saya," kata peraih award Pejuang Anti-Korupsi 2003 dari Masyarakat Profesional Madani tersebut.
 
Untuk menggalang dukungan, Faisal memakai prinsip volunteerism atau kesukarelaan. "Kami datang ke rumah warga. Alhamdulillah mereka menyiapkan hidangannya sendiri. Kami disambut dengan baik tanpa harus membawa apa-apa," ujarnya.
 
Memang, ada juga warga yang saat didatangi kemudian menagih sembako. "Tapi, saya bilang, bukannya justru kami merendahkan dukungan Bapak Ibu jika menilainya hanya dengan sebotol minyak goreng, mi, dan beberapa kilo beras. Lalu, setelah jadi, kami bebas memakai Rp 36 triliun APBD DKI dan melupakan Anda," katanya. Lambat laun, warga pun paham.
 
Ada warga yang merelakan rumahnya menjadi pos komunikasi. Satu per satu mereka juga menandatangani surat dukungan dan memberikan fotokopi KTP tanpa imbalan. "Alhamdulillah sekarang sudah 600 ribu lebih dan terus bertambah," kata Faisal sembari membisikkan nama-nama tokoh dan pengusaha yang ikut memobilisasi dukungan. "Off-the-record, ya," tambahnya.
 
Di lapangan sekitar 200 relawan bekerja setiap hari untuk Faisal. "Tentu mereka ini butuh uang transpor, butuh bensin untuk jalan, butuh makan siang," kata mantan anggota Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut.

Lantas, dari mana duitnya? Kocek pribadi? "Ah, mana punya duit saya," ucapnya.

Dana mereka galang dari saweran alias urunan di komunitas-komunitas. "Pernah suatu saat di sebuah gereja, jemaat spontan bantingan, dapat Rp 4.700.000," katanya.
 
Faisal juga mengadakan dinner untuk kalangan tertentu. Nanti, di sela-sela makan malam itu, Faisal dan Biem akan tampil untuk memaparkan program-program mereka. "Mejanya kami kasih tiket. Tidak mahal. Ada yang Rp 5 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2 juta," terangnya.
 
Dana saweran dan dinner seperti itu memang masih sangat kurang. Bahkan, untuk melengkapi komputer di sekretariat pos komunikasi utama di Tebet. Namun, Faisal tak kehilangan akal. Dia merelakan komputer anaknya untuk diboyong ke sekretariat. Alhasil, meja komputer di kamar anaknya melompong. Hanya, ada sebuah printer dan kabel yang berserakan. 
 
Faisal juga menggalang dana lewat sosial media. Mereka punya akun Twitter @FaisalBiem. "Saat ini di Twitter sudah mulai banyak yang fitnah kami. Rupanya, lawan-lawan politik mulai gerilya," jelasnya.
 
Pria kelahiran 6 November 1959 itu mengaku memiliki banyak data tentang salah kelola Jakarta. Mulai penyimpangan APBD, manipulasi proyek , hingga kesalahan tata ruang.

"Soal sepele, seperti anggaran seminar, ada yang buat-buat program ajak beberapa orang ke sebuah hotel. Lalu, di-mark up yang seharusnya tiga hari hanya dijalani setengah hari, tanda tangan dipalsukan. Yang kecil-kecil ini banyak, apalagi yang kakap," katanya.
 
Salah kaprah di tata ruang juga membuat Jakarta makin macet dan amburadul. "Kami menolak rencana jalan layang Antasari?Depok. Juga, enam ruas tol di dalam kota. Ini justru membuat mobil pribadi makin banyak. Akibatnya, macet tak teratasi," ungkapnya.
 
Kunci mengatasi kemacetan Jakarta, kata Faisal, adalah memaksimalkan public transport. Spontan, dia mencari kertas bekas dan pulpen lalu membuat coretan. "Ini Jakarta. Nah, ruas rel keretanya tinggal ditambah sembilan kilometer lagi, semua sudah terhubung," ujarnya sambil membuat lingkaran.
 
Pembangunan mal yang terpusat di tengah kota makin menambah kemacetan. Apalagi, banyak membuat U-turn atau putaran balik yang menguntungkan mereka. "Di mana posisi putar mobil di Jakarta ini jadi transaksi. Akibatnya, traffic jadi kacau," katanya.
 
Idealnya, mal berkembang di pinggiran kota sehingga arus ekonomi tumbuh merata dan kemacetan bisa terurai. "Kami selalu memulai kunjungan warga dari wilayah pinggir, kami sapu pelan-pelan hingga ke tengah," jelasnya. Pinggiran Jakarta seperti daerah Cakung, Kamal, dan Cengkareng adalah daerah urban dan kantong-kantong wilayah miskin di Jakarta.
 
Soal problem banjir, Faisal menyiapkan solusi. Di antaranya, meningkatkan kesadaran warga membuat sumur resapan dan memperbaiki drainase. "Penduduk Jakarta hampir 7 juta, sementara drainase kita tak sampai semeter dalamnya. Ya pasti meluap," katanya.
 
Faisal mengaku, banyak yang memandang sebelah mata terhadap perjuangannya maju sebagai calon independen. "Kami bismillah saja. Toh, pelan-pelan upaya kejujuran itu terbukti. Dulu orang bilang tak mungkin bisa dapat KTP sampai 200 ribu gratisan, alhamdulillah, kami melampaui target bahkan sampai setengah juta lebih," katanya. (*/c10/ca)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sarjana-Sarjana Tangguh yang Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler