Fakta, Radikalisme Sudah Menyusup ke Kalangan Abdi Negara

Minggu, 20 Mei 2018 – 07:09 WIB
Densus 88 Antiteror . Ilustrasi Foto: Okri Riyana/Radar Cirebon/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir, Densus 88 Antiteror menangkap sejumlah terduga teroris, di antaranya berstatus PNS (pegawai negeri sipil).

Fakta ini mengindikasikan bahwa radikalisme sudah merasuk ke banyak lini. Termasuk di lingkungan birokrasi. Padahal, seharusnya seluruh aparatur negara berkomitmen mengabdi kepada bangsa dan negara.

BACA JUGA: Pemakaman Jenazah Teroris, Di Sana Sini Ditolak Warga

Di Probolinggo, misalnya, diamankan seorang terduga teroris yang berprofesi sebagai guru PNS di salah satu SMK. Kemudian di Surabaya diamankan terduga teroris, yang ternyata suami dari PNS Kantor Kemenag Surabaya.

Berikutnya seorang Kepala SMP Negeri di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, ditetapkan menjadi tersangka karena mengunggah status di medsos. Status itu isinya seolah-olah aksi bom di Surabaya sebuah rekayasa dengan maksud tertentu.

BACA JUGA: Usai Tangkap Abu Yusuf, Densus 88 Masih Bergerak

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pihaknya sudah memiliki beberapa program untuk menangkal radikalisme di sekolah. Yang dilakukan pertama adalah dengan program penguatan pendidikan karakter.

”Sekolah harus memiliki menejemen untuk aktivitas belajar baik ketika siswa di sekolah maupun di luar sekolah,” ungkapnya.

BACA JUGA: Universitas Budi Luhur Dukung Pemberantasan Terorisme

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi sudah lama mencium adanya gejala radikalisme di lingkungan pendidikan. Gejala radikalisme itu diawali dengan sikap eksklusifisme baik oleh guru maupun para siswanya. ’’Kalau saya sebutkan contoh-contohnya, itu sensitif. Intinya eksklusifisme itu sebaiknya dihindari,’’ tuturnya.

Sebab, dengan adanya jiwa eksklusifisme tersebut, akan tertanam bahwa yang berbeda dengan dirinya adalah sebuah kesalahan. Padahal, di dalam perbedaan atau keragaman itu harus dipupuk saling menghormati dan menghargai. Dia berharap dalam pelatihan guru, maupun kegiatan-kegiatan kesiswaan, tetap dimasukkan nilai-nilai menghormati keragaman.

Anggota Komisi X Hetifah Sjaifudian menuturkan, orang tua dan guru harus bisa melindungi lingkungan belajar dari paham-paham radikalisme. Salah satu caranya adalah dengan menyampaikan materi yang tepat oleh guru dan orang tua. ”Guru harus memiliki wawasan yang luas,” tuturnya.

Salah satu cara yang diusulkan Hetifah adalah mengirim belajar guru-guru ke beberapa negara. Selain itu, juga diadakan pertukaran guru di Indonesia. ”Sehingga tahu kalau Indonesia itu beragam. Tidak sama. Harus terus mengedukasi agar menerima perbedaan itu,” imbuhnya.

Selain itu, dia juga ingin mendorong Kementerian Risetdikti untuk banyak melakukan penelitian terkait radikalisme. Bahkan jika perlu, juga diadakan pendidikan khusus yang mempelajari terorisme. ”Sehingga kita memiliki justifikasi akademis tentang terorisme ini,” ungkapnya.

Adanya penelitian yang lebih banyak mengenai radikalisme dan teroris juga dapat menangkal berita-berita bohong di masyarakat. Sekarang ini, dia merasa riset tentang radikalisme dan teroris sangat kurang. ”Kita teliti motivasi keluarga yang terlibat teror, motivasinya, cara rekrutnya seperti apa. Agar kita memiliki studi yang bagus,” ujarnya.

Untuk pendidik yang terlibat radikalisme, menurutnya perlu mendapat sanksi. Hal tersebut juga berlaku bagi pendidik yang menyebarkan berita yang mendukung radikalisme dan teroris. Hal ini sebagai terapi kejut. ”Namun yang sebenarnya lebih baik adalah mengantisipasi. Jangan sampai setelah ada kejadian baru diberikan sanksi,” ungkapnya.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga terus mengampanyekan supaya aparatur negara menghindari ungkapan atau ujaran kebencian. Khususnya melalui media sosial. Sebab, bisa berujung pada pelanggaran disiplin sebagai seorang PNS.

BACA JUGA: Usai Tangkap Abu Yusuf, Densus 88 Masih Bergerak

Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengatakan, ada enam aktivitas ujaran kebencian yang bisa berujung sanksi disiplin.

Seperti menyampaikan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kemudian penyampaian ujaran kebencian kepada salah satu suku, ras, agama, atau golongan.

’’Tidak hanya itu saja. Menyebarluaskan ujaran kebencian melalui share, upload, retweet, broadcast WA, atau repost Instagram juga pelanggaran,’’ tuturnya. Kemudian mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memrovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah juga tidak boleh.

Ridwan mengatakan, pimpinan satuan kerja atau instansi diharapkan sering-sering memantau aktivitas media sosial pegawainya. Sehingga bisa menemukan dan mencegah adanya ujaran kebencian yang semakin meluas. Selain itu, sanksi bagi PNS yang melakukan ujaran kebencian mulai dari sedang sampai berat berupa pemberhentian sebagai PNS. (wan/lyn/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Densus 88 Tangkap Satu Lagi Terduga Teroris di Rohil


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler