Fauzi atau Jokowi?

Konkret versus Media Darling

Rabu, 19 September 2012 – 07:16 WIB
Foto: dok.JPNN
DUA pasangan calon yang tengah bertarung di Pilkada DKI putaran kedua yakni Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Jokowi-Ahok, memiliki keunggulan masing-masing jika terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Kendati demikian, masyarakat Jakarta tentu akan lebih memilih pasangan calon yang bisa menampilkan kinerja maksimal dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Termasuk dalam menampilkan konsep pembangunan dan pelayanan publik.

Sejumlah kalangan berpendapat, kedua kandidat calon gubernur yang tengah bertarung itu memiliki kelebihan satu sama lain. Seperti halnya cagub Jokowi, selama ini dikenal memiliki kemampuan menampilkan diri sebagai sosok individu yang dekat dengan rakyat.

Sementara cagub incumbent Fauzi Bowo justru dikenal sebagai figur birokrat berbasis kinerja yang memiliki kemampuan merealisasikan konsep dengan hasil yang terukur.

Menanggapi kelebihan atas kedua figur tersebut, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, secara prinsip Ibu Kota DKI Jakarta membutuhkan figur pemimpin yang mewujudkan konsep yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan kata lain, figur pemimpin di Jakarta tidak hanya mengedepankan penampilan yang berkesan di masa kampanye. “DKI butuh yang memiliki kinerja maksimal. Ini yang dikedepankan, bukan sekadar perencanaan saja,” ujar dia, kemarin (18/9).

Kendatipun Siti Zuhro mengakui, pertarungan dalam Pilkada DKI tidak terlepas dari adanya figur yang menjadi media darling. Secara alami terjadi keberpihakan terhadap figur yang bisa meraup simpati bagi media massa dan masyarakat Jakarta.

Hal inilah yang berdampak luar biasa terhadap penampilan figur tertentu. “Namun harus ada yang lebih konkrit, yakni menunjukan program-program pro rakyat. Bukan menjual program yang sarat dengan pencitraan,” tuturnya.

Dari kedua pasangan calon di Pilkada DKI, sambung Siti, tentunya akan mengalami proses kepemimpinan yang berbeda ketika terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur. Bagi pasangan calon Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, tentunya tidak akan mengalami kendala besar ketika muncul sebagai pemenang Pilkada DKI. Sebab didukung oleh koalisi parpol yang mendominasi di DPRD DKI. Sehingga setiap langkah kebijakan yang akan ditempuh tentunya mudah disinergikan dengan DPRD.

Berbeda halnya dengan pasangan calon Jokowi-Ahok. Bila terpilih memimpin Jakarta, maka akan berhadapan dengan dominasi kursi di DPRD DKI yang bukan menjadi pendukung di masa pilkada. “Itu kenyataannya. Pemerintahan daerah tak terlepas dari eksekutif dan legislatif. Ini pola hubungan kepala daerah dengan DPRD pasca pilkada,” ungkap Siti.

Seperti diketahui, dari 94 kursi di DPRD DKI, sebanyak 77 kursi dewan berasal dari koalisi parpol pendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Sedangkan 17 kursi dewan berasal dari koalisi parpol pendukung Jokowi-Ahok. “Diperlukan kerjasama eksekutif dan legislatif dalam mengimplementasikan program. Seberapa besar pendukung politik akan sangat berpengaruh. Hitungan politik memang seperti itu,” beber Siti.

Bagi pasangan calon Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, sangat mudah mengimplementasikan program. Namun bagi pasangan Jokowi-Ahok, ketika tidak mendapat dukungan politik secara kuat dari DPRD, tentunya akan mengajak civil society melawan DPRD.

Yang mendampingi Jokowi, Ahok, juga istimewa karena ia pernah terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang berpenduduk mayoritas muslim fanatik yang dalam pemilu legislatif merupakan basis pendukung Partai Bulan Bintang (PBB) yang jelas-jelas mengusung asas Islam. Padahal Ahok sendiri non-muslim.

Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) M Rico Sinaga menilai, popularitas seorang tokoh memang menentukan dalam meraup suara. Namun yang harus dipikirkan tentang nasib Jakarta ke depan.

Jakarta harus tetap membangun dan menyelesaikan program yang sudah berjalan. Mengingat sudah menjadi rahasia umum, setiap pergantian pemimpin, tahapan pembangunan sudah dapat dipastikan akan berhenti dan berganti konsep.

Akibatnya, pembangunan Jakarta akan mulai dari titik nol. Pembangunan yang sudah berjalan menjadi mubazir. “Pemilih Jakarta sudah cerdas. Tentunya tidak akan memilih yang seperti penjual obat dan hanya sibuk dengan pencitraan saja,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tom Pasaribu menilai, keberhasilan pembangunan di Jakarta selama ini tidak terlepas dari keberhasilan gubernur sebelumnya, yakni Sutiyoso. Begitupun sebaliknya.

“Jadi seluruh keberhasilan Sutiyoso membangun Jakarta selama 10 tahun, tidak terlepas dari peran Fauzi Bowo saat menjadi sekretaris daerah, wakil gubernur dan saat menjadi gubernur. Sebab, seluruh kebijakan yang bersentuhan kepentingan publik, selalu melibatkan Fauzi sebagai pelaksana di lapangan,” bebernya.

Tom mengungkapkan, sejumlah program Pemprov DKI yang kini telah dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta, seperti Banjir Kanal Timur, Transjakarta, program transportasi massal Mass Rapid Transit (MRT), dan pengamanan Ibu Kota, selalu melibatkan Fauzi Bowo.

“Dengan segala kompleksitas yang dihadapi untuk melanjutkan program pembangunan, Fauzi tetap fokus bekerja. Padahal dalam membangun Jakarta, gubernur seringkali terbentur dengan stekholder dan kepentingan-kepentingan pemerintah pusat,” imbuhnya. (rul/wok)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Jakarta Butuh Pemimpin yang Peduli Lingkungan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler