Femen, Kelompok Perempuan Demonstran yang Menolak Euro 2012

Sempat Diusir Ibu karena Berdemo Topless

Sabtu, 30 Juni 2012 – 12:01 WIB
Para anggota Femen: Alexandra Shevchenko, Inna Shevchenko, Tatiana Zacerkovnaya, dan Sara Winter, di ruang rapat markas Femen di Kiev, Ukraina. Foto: Agung Putu Iskandar/Jawa Pos

Femen memilih Euro 2012 sebagai momen untuk menyuarakan kemarahan kepada pemerintah Ukraina yang korup dan tak adil kepada perempuan. Memilih topless sebagai bentuk kemerdekaan atas tubuh.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Kiev, Ukraina   
 
TANGAN kiri Rostov Kharchenko sedang memegang telepon di telinga ketika tangan kanannya menulis alamat pada secarik kertas. Lelaki yang akrab dipanggil Rosty itu lantas menyerahkan secarik kertas tersebut kepada Jawa Pos. "Jalan Mihailovskaya nomor 21," kata lelaki gempal tersebut setelah mengakhiri pembicaraan di telepon.
 
Alamat tersebut adalah tempat markas Femen. Tidak sembarang orang mengetahui alamat itu. Ada beberapa "jalur" yang harus dilalui sebelum mendapat kesempatan bertemu dengan mereka.
 
Rosty mengetahui alamat itu setelah menelepon beberapa koleganya yang kenal dengan beberapa pimpinan Femen. Sebelum alamat tersebut diberikan, Rosty menanyakan profil Jawa Pos. "Mereka tidak mau sembarangan menerima orang wawancara. Harus jelas medianya," kata Rosty.
 
Jalan Mihailovskaya merupakan salah satu jalan utama di Kiev. Tak sampai 100 meter dari Hotel Hyatt Regency. Namun, nomor 21 tempat para aktivis yang doyan aksi topless untuk menyuarakan penolakan terhadap Euro 2012 itu cukup tersembunyi.
 
Markas mereka terletak di gang kecil yang diapit dua kios kecil. Begitu masuk, Jawa Pos sempat berpapasan dengan seorang polisi Ukraina berseragam biru. Rupanya dia bertugas memantau pergerakan para aktivis. Di salah satu rumah terlihat lambang Femen. Yakni, dua lingkaran warna kuning biru yang dipisahkan satu garis lurus.
 
Tak sampai lima menit menunggu, pintu terbuka. "Silakan masuk. Kamu yang dari Indonesia itu kan?" kata Inna Shevchenka kepada Jawa Pos.
 
Markas Femen sangat sederhana. Luasnya hanya separo lapangan voli dengan langit-langit yang sangat rendah untuk ukuran Eropa. Markas terbagi tiga ruangan. Yakni, ruang utama, ruang rapat, dan kamar tidur. Ruang utama tampak lebih lapang daripada ruang lainnya.

Karena masih pagi, di ruang utama terlihat kasur portabel masih digelar. Seorang perempuan dengan hot pants terlihat bangun tidur. Di salah satu dinding terdapat gambar the Vitruvian Men.

Tapi, di tangan aktivis Femen, lukisan agung karya pelukis kondang Leonardo da Vinci pada abad ke-15 itu dipelesetkan. Wajahnya diganti dengan wajah perempuan yang telanjang bulat. Khas Femen. "Kita wawancara di sini saja," kata Inna, lantas menunjuk ruang rapat.
 
Ruang rapat cukup kecil. Luasnya hanya 2 x 3 meter persegi. Tapi, ruang rapat tersebut cukup rapi dan manis. Di dinding utama ditempel berita-berita dari berbagai negara yang menampilkan foto-foto para aktivis Femen. Tentu saja tanpa sehelai benang pada badan bagian atas. Mulai koran Italia Gazetta hingga Weekly Ukraine, Ukraina.
 
Di salah satu sudut ruangan terdapat lambang Femen berupa dua bulatan kuning dan biru. "Lambangnya simpel kan? Artinya apa lagi kalau bukan payudara," kata Alexandra Shevchenko, lantas tersenyum.
 
Femen merupakan kelompok demonstran yang didirikan pada 2008 oleh Anna Hutsol. Khusus di Ukraina, anggotanya kini 20-an orang yang semua merupakan aktivis yang siap berdemo secara topless.

Femen juga memiliki 300 anggota lain yang "berpakaian lengkap". Maksudnya, mereka turun ke jalan tanpa perlu bertelanjang dada.
 
Sudah tiga tahun mereka menyuarakan penolakan terhadap Euro 2012 yang dihelat di Ukraina dan Polandia. Mereka menganggap agenda empat tahunan itu hanya kedok bagi suporter untuk sex tourism di Ukraina. Sebagian besar aksi jalanan dihelat di Kiev meski juga dilakukan di beberapa kota lain di bekas wilayah Federasi Uni Soviet tersebut.  
 
Pada awalnya, aktivis Femen hanya berdemonstrasi biasa tanpa topless. Mereka berkirim surat ke Presiden UEFA Michel Platini agar kampanye antirasisme di lapangan bola juga diikuti dengan kampanye antiprostitusi.
 
Tapi, kata Alexandra, tuntutan mereka tak diindahkan mantan pemain Juventus dan kapten Prancis itu. Padahal, kata dia, rasisme sama bahayanya dengan prostitusi. Karena tak dihiraukan UEFA, mereka akhirnya mulai memilih langkah radikal. Yakni, berdemo dengan pamer payudara.
 
"Ternyata sangat efektif. Sejak saat itu banyak orang mulai memperhatikan tuntutan kami. Kami pun semakin giat demo topless," kata perempuan cantik berambut pirang berusia 24 tahun itu.
 
Tak hanya itu, Femen juga mendapat banyak simpati dari perempuan di belahan dunia yang lain. Beberapa kelompok perempuan di sejumlah negara di Eropa juga mulai meniru aksi Femen. Bahkan, di Brasil sejumlah perempuan ikut-ikutan demo tanpa busana.
 
Alexandra lantas memanggil Sara Winter. Perempuan yang akrab dipanggil Sara itu berasal dari Brasil. Dia datang ke Ukraina hanya untuk ikut demo menolak Euro 2012 bersama para aktivis Femen.
 
Sara yang berambut pendek tapi pirang itu sudah tinggal dua minggu dan akan bertahan hingga beberapa hari setelah final Euro 2012 pada besok (1/7) malam waktu setempat. "Saya ke sini tidak datang buat sepak bola, tapi datang untuk menolak sepak bola," kata nona 20 tahun itu. 
 
Para aktivis Femen memang benar-benar membenci Euro 2012. Bahkan, saat piala dipamerkan di beberapa kota di Ukraina, mereka menerobos barikade aparat keamanan. Saat dipamerkan di Lviv, misalnya, mereka bahkan berhasil menyentuh piala dan hampir menghancurkannya. Aksi itu gagal dilakukan karena mereka keburu ditangkap petugas.
 
Salah seorang pendiri Femen itu menuturkan, piala tersebut merupakan simbol lelaki. Jika bisa menghancurkan itu, mereka bakal membuat prestasi yang luar biasa untuk menuntut dihentikannya prostitusi. "Lihat saja bentuknya, seperti punya lelaki kan?" katanya. Kali ini tanpa tersenyum.
 
Alexandra mengakui, banyak yang mengkritik aksi berani mereka. Para penolak Femen beranggapan bahwa jika menolak prostitusi, mengapa harus aksi pamer payudara. Bukankah itu justru mempromosikan sex tourism kepada para suporter? Alexandra menolak tegas anggapan tersebut.
 
Menurut dia, pamer payudara adalah bentuk kemerdekaan atas tubuh. Justru prostitusi adalah bentuk penindasan atas tubuh.
 
"Sebab, para pelacur tidak memiliki kendali penuh atas tubuh. Mereka disuruh berhubungan intim, berjoget di pub karena dibayar. Atas perintah orang lain. Kami ingin menunjukkan bahwa tubuh adalah kemerdekaan penuh kita untuk menggunakan sesuka kita," katanya.
 
Lulusan sebuah universitas di Kiev itu mengatakan, aksi nekat mereka sempat mengejutkan keluarga. Alexandra bahkan pernah dimarahi habis-habisan oleh ibunya hingga sempat tidak dianggap anak. "Saya sampai diusir dari rumah. Kamu bikin malu keluarga, kata ibu," tuturnya, lalu terkekeh.
 
Namun, lama-kelamaan ibu Alexandra luluh setelah dirinya meyakinkan tujuan perjuangan organisasinya. Sang ibu ikut simpati terhadap perjuangan putri cantiknya itu. Bahkan, sekarang ibunya juga ikut mendukung gerakan Femen. Tapi, tentu saja tak sampai topless seperti anaknya.
 
Perempuan berwajah tirus itu menuturkan, prostitusi di Ukraina sangat parah. Tidak hanya itu, banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Memang, pemerintah menegaskan bahwa prostitusi merupakan bentuk pelanggaran hukum.

Namun, banyak apartemen yang berkedok tempat tinggal biasa, padahal sejatinya rumah bordil. Bahkan, order cewek Ukraina gampang dilakukan dengan beberapa klik di internet.
 
Kondisi itu diperparah oleh susahnya lapangan pekerjaan di Ukraina. Menurut Alexandra, banyak bos yang baru mau mempekerjakan anak buahnya kalau mereka mau berhubungan dengan mereka. "Lantas, apa bedanya dengan prostitusi. Daripada sekolah tinggi-tinggi, lebih baik joget saja di kelab malam," katanya.
 
Yang lebih miris, kata dia, situasi yang hampir sama terjadi di institusi pendidikan. Banyak mahasiswi cantik yang terjebak affair dengan para profesor. Mereka terancam tak lulus atau mendapat nilai jelek jika tak mau menemani profesor hidung belang itu.
 
Pemerintah Ukraina, kata Alexandra, tak pernah mengecam insiden yang banyak terjadi di kampus-kampus negeri penghasil batu bara itu. "Bayangkan, menteri pendidikan Ukraina (Dmytro Tabachnyk) sampai bilang, beruntungnya mahasiswi yang berwajah jelek. Mereka tidak pernah punya masalah dengan profesor-profesor itu. Itu kan bentuk pembenaran. Kurang ajar betul dia," kata Alexandra meradang. 
 
Karena itulah, gerakan Femen sejatinya lahir sebagai bentuk puncak kemarahan perempuan Ukraina terhadap pemerintah Ukraina. Euro 2012, kata dia, hanya momen yang diambil untuk menyuarakan tuntutan dan situasi buruk yang menimpa mereka.
 
Kini mereka sudah menjadi organisasi mandiri yang profesional. Biaya operasional didapat dari donatur yang kebanyakan berasal dari Uni Eropa. Mereka juga berjualan suvenir yang sangat laris.
 
"Kadang-kadang kami guyon ke sesama aktivis. Semua perempuan di Ukraina bersatu meruntuhkan rezim lelaki yang korup. Kami mau bikin partai dan memimpin Ukraina melalui revolusi telanjang. Tapi, apa itu revolusi telanjang, saya juga tidak tahu," kata Alexandra, lantas tertawa lepas. (*/c4/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Andatu, Anak Badak Sumatera yang Lahir setelah 124 Tahun Penangkaran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler