Formula 1 dan Austin, Ibu Kota Texas yang Bangga Disebut Aneh (1)

Wow, Tikungan Pertama Benar-Benar Mendaki Bukit

Senin, 19 November 2012 – 00:01 WIB
TIKUNGAN TINGGI: Wartawan Jawa Pos, Azrul Ananda, di puncak tikungan pertama Circuit of the Americas di Austin, Texas, 15 Nov 2012. Foto: Agus Wahyudi/Jawa Pos

Austin adalah kota yang bangga disebut "weird" (aneh). Sekarang, ibu kota Texas itu juga punya sirkuit Formula 1 yang penuh karakter. Berikut catatan AZRUL ANANDA yang meliput langsung Grand Prix Amerika Serikat bersama AGUS WAHYUDI dan ANTON HADIYANTO.

= = = = = = = = = = =
 
TAK ada yang menyangkal, Formula 1 merupakan ajang balap paling bergengsi di dunia. Secara keseluruhan, hanya Piala Dunia sepak bola dan Olimpiade yang punya daya tarik lebih besar.
 
Meski demikian, F1 tak pernah mendapatkan tempat yang nyaman di hati para penggemar balap di Amerika Serikat. Puluhan tahun lamanya sirkus balap itu mencoba menancapkan bendera secara permanen di Negeri Paman Sam, puluhan tahun pula kaki mereka kepanasan setelah hanya beberapa tahun berdiri.

Padahal, aneka ragam lintasan sudah dipakai untuk mencoba memikat hati fans balap Amerika. Pada 1908-1917, saat F1 belum eksis, GP AS sudah digelar di sejumlah kota, termasuk Santa Monica, San Francisco (negara bagian California), dan Savannah (Georgia).
 
Ketika era F1 dimulai pada 1950, Riverside (California) dan Sebring (Florida) sempat jadi tuan rumah. Sirkuit permanen Watkins Glen di New York termasuk yang bertahan paling lama pada 1960 dan 1970-an. Tapi, sirkuit itu tak pernah di-upgrade sehingga tak lagi sesuai dengan standar tinggi F1.
 
Pada 1980 dan 1990-an, berbagai lintasan jalanan dijajal sebagai tuan rumah. Logikanya, mendekatkan diri ke penonton, kebut-kebutan langsung di tengah kota.
 
Sejumlah kota yang pernah mencoba jadi tuan rumah adalah Detroit (ibu kota otomotif di Michigan), Long Beach (California), bahkan kota turis superkondang Las Vegas (Nevada). Dallas di Texas juga pernah mencoba. Tak tertinggal Phoenix (Arizona) pada awal 1990-an, yang ternyata paling memalukan. Begitu parahnya minat terhadap lomba di Phoenix, GP AS di sana kalah pamor oleh lomba balap burung unta (ostrich) di pinggiran kota!
 
Penggemar F1 modern tentu juga ingat Indianapolis Motor Speedway (IMS). Lintasan oval di Indiana itu bisa dibilang merupakan Vatikan-nya balap mobil.

Seratus tahun menggelar lomba terbesar di dunia, Indy 500, yang setiap tahun menyedot hampir 500 ribu (setengah juta!) penonton. Pengelolanya membangun lintasan road race di tengah-tengah trek oval khusus untuk F1 dan MotoGP.
 
Hasilnya? Juga tidak jodoh. Penonton praktis hanya ramai (lebih dari 100 ribu) pada tahun perdana (2000). Setelah itu terus menurun, sebelum menjalani lomba terakhir pada 2007. Secara finansial, lomba itu tidak masuk akal, dan IMS pun bilang "No" pada biaya mahal F1.
 
Lima tahun absen, kini hadirlah Circuit of the Americas (COTA) di Austin, Texas. Venue nomor sepuluh dalam sejarah GP AS.
 
 ***

Mengapa Austin, Texas? Pilihan dan keputusan ini pada 2010 sempat mencengangkan banyak orang. Di negara bagian Texas, negara bagian terbesar di Amerika, Austin memang berstatus ibu kota. Tapi, Austin "hanyalah" kota terbesar keempat di sana. Masih ada Dallas, Houston, dan San Antonio yang lebih besar.
 
Bahkan, pembuatan dan penyelesaian sirkuit sempat kaya kontroversi. Pemakaian uang pemerintah (uang pajak) untuk mendorong terjadinya lomba sempat menjadi perdebatan, bahkan sempat menghentikan sesaat pembangunan COTA.

Masalah teratasi, walau tidak semuanya, dan COTA lolos inspeksi terakhir hanya 60 hari sebelum lomba diselenggarakan akhir pekan ini (16-18 November).
 
Kini GP AS di Austin benar-benar terwujud. Dan kini, kalangan F1 benar-benar berharap sirkus balap itu punya rumah permanen untuk jangka panjang.
 
Sirkuitnya pun sejauh ini sangat memikat. Kotanya, dengan salah satu slogan "Keep Austin Weird" (Jagalah Keanehan Austin), mungkin juga bisa menjadi tuan rumah yang ideal.
 
Kenapa aneh? Soal itu bisa dibaca di sambungan tulisan ini, di edisi koran ini berikutnya. Sekarang, mari bicara dulu tentang COTA, sirkuit permanen pertama di Amerika yang dirancang mulai nol khusus untuk kebutuhan F1.
 
Circuit of the Americas merupakan satu lagi lintasan karya Hermann Tilke, desainer sirkuit andalan bos komersial F1, Bernie Ecclestone. Dan tampaknya, Tilke sudah belajar banyak dari "kesalahan-kesalahan" sirkuit-sirkuit sebelumnya. Misalnya, Sepang (Malaysia), Bahrain, Istanbul (Turki), dan Fuji (Jepang).
 
Lokasi COTA bertetangga dengan Austin-Bergstrom International Airport, tak sampai 15 kilometer memisahkan kedua lokasi. Itu mirip Sepang di Malaysia, yang bertetangga dengan Kuala Lumpur International Airport (KLIA).

Bedanya, bila Sepang terletak sekitar 70 km dari KL, COTA hanya butuh sekitar 30 menit naik mobil dari pusat kota Austin. Agar pembalap senang dan penonton lebih senang, COTA didesain seperti "Sirkuit Frankenstein", mencomot bagian-bagian terbaik dari sirkuit kondang lain dunia, menjadikannya dalam satu rangkaian 5,5 kilometer yang (diharapkan) mengagumkan.
 
Tikungan pertamanya menanjak curam. Lalu, setelah itu menurun drastis menuju tikungan kedua dan selanjutnya yang berkelok-kelok bak kompleks Becketts di Silverstone, Inggris.
 
Ada tikungan lebar dan cepat bak tikungan 8 yang populer di Turki. Ada pula bagian lintasan yang dikelilingi "stadion" (rangkaian tribun) ala Hockenheim, Jerman. Tak ketinggalan, trek lurus panjang diikuti tikungan tajam, khas Tilke, untuk memudahkan terjadinya salip-menyalip.

Di antara semua fitur itu, tikungan pertama merupakan yang paling bikin kita bilang "Wow". Karena langsung terlihat dari tribun utama dan paddock. Langsung terlihat seperti jalan menuju puncak sebuah bukit.
 
Menurut data, jalan menuju tikungan pertama itu memang naik ekstrem. Mungkin tak sampai 300 meter, menanjak curam hingga setinggi 41 meter.
 
Kamis lalu (15/11), saat lintasan belum dipakai, saya dan fotografer Jawa Pos Agus Wahyudi sempat berjalan mendakinya. Dan itu benar-benar mendaki! Kalau mau jalan cepat, kadang kita harus memegangi lutut untuk mencapai puncaknya. Kalau tidak fit, mungkin napas kita akan tersengal-sengal ketika mendakinya.
 
Para pembalap dan kru F1 dengan rajin juga "menantang" tanjakan itu saat mempelajari lintasan pada Rabu dan Kamis. Beberapa naik sepeda balap, kebiasaan yang sedang ngetren di kalangan pembalap F1.
 
Tapi, tidak semua mau "mendakinya" dengan tenaga sendiri. Kimi Raikkonen, bintang Lotus-Renault, misalnya. Saat ditanya apakah dia ingin mengelilingi sirkuit, jawabannya singkat: "Mungkin nanti kalau saya menemukan mobil golf."
 
Kamis itu, ketika saya dan Agus Wahyudi naik ke atas, ada pula Jenson Button (McLaren-Mercedes) sedang menjajal lintasan naik sepeda balapnya. Dua kali dia mengitari lintasan untuk kebutuhan syuting salah satu televisi Inggris. Dan dia tidak sendirian, dia "menantang" Johnny Herbert, mantan pembalap F1 era 1990-an.
 
Naik sepeda Specialized McLaren Venge (salah satu sepeda termahal di dunia, di kisaran Rp 160 juta, yang melibatkan masukan desain dan produksi dari McLaren), Button tampak agak mudah menaklukkan tanjakan menuju tikungan pertama.
 
Tapi, itu wajar. Penggemar Button mungkin sudah tahu, pembalap 32 tahun tersebut tergolong getol ikut triathlon. Jadi, bersepeda menanjak seperti itu adalah hal mudah.
 
Tidak demikian halnya Herbert. Usia sudah hampir 50 (tepatnya 48), dan tidak lagi dalam kondisi badan prima, dia tampak sangat kesulitan mendaki menuju tikungan pertama. Herbert tampak tersengal-sengal, harus terus berdiri untuk mengayuh sepedanya ke atas.
 
Di puncak tanjakan, saat kali kedua mendakinya, Button lantas berhenti dan menertawai Herbert. Tidak lama kemudian, saat menjumpai media, Button mengaku tak sabar segera ngebut naik mobil F1 di COTA. Dia bilang sirkuit itu punya potensi untuk menjadi lokasi jangka panjang yang populer untuk F1.
 
Meski demikian, tanjakan menuju tikungan pertama bukanlah bagian yang paling dinanti. Justru bagian "mengalir" supercepat dari tikungan 2 sampai 8 yang paling menggoda. Hermann Tilke menyebut bagian panjang itu dengan julukan "Snake" (ular).
 
"Bagi kami sebagai pembalap, kami butuh sirkuit yang punya banyak tikungan cepat untuk menunjukkan kemampuan mobil F1 yang sebenarnya," kata Button, juara dunia 2009.
 
"Tikungan 2 sampai 8 sangat spektakuler. Mobil terus berganti arah. Kalau Anda menonton di sana, Anda akan melihat mobil-mobil F1 di ambang batas kemampuan. Itu sangat spesial, karena tidak banyak tempat yang seperti itu," jelasnya.
 
Rekan Button di McLaren, Lewis Hamilton, juga tak sabar ngebut di atasnya. Semua pembalap sudah menjajal sirkuit itu di simulator tim masing-masing. Tapi, tidak ada yang sama dengan benar-benar ngebut di atasnya. Saat jumpa pers resmi jelang lomba, Hamilton mencoba menjelaskan "rasa" keliling COTA di simulator.
 
"Awalnya sirkuit ini agak sulit untuk dihafalkan, tapi tampilannya sangat fantastis untuk dikendarai. Saya semakin menikmatinya begitu mulai terbiasa mengelilinginya. Tapi, saya butuh waktu sedikit lebih lama dari sirkuit-sirkuit lain untuk menghafalkan. Akhir pekan ini, segalanya akan sangat menarik untuk diikuti," tutur Hamilton, yang tahun depan bakal pindah ke Tim Mercedes.
 ***
Akhir pekan ini, ratusan ribu penonton diperkirakan membanjiri sirkuit, yang berkapasitas 120 ribu penonton. Tiket sudah sold out, walau berbagai infrastruktur belum seratus persen komplet.
 
Semoga saja F1 di Austin benar-benar punya napas panjang. Tidak hanya heboh pada tahun pertama seperti Indianapolis.
 
Kalaupun penonton "yang datang dari berbagai penjuru dunia" kecewa akhir pekan ini, itu bukanlah karena Circuit of the Americas. Melainkan karena hal-hal lain di luar lintasan yang berpotensi menimbulkan chaos. (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Para Santri Darul Akhfiya Nganjuk yang Digerebek Polisi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler