"Subsidi adalah hak dasar rakyat yang dilindungi oleh UUD 1945. Selain itu, subsidi menjadi indikasi keberhasilan pemerintah dalam mengelola negara. Jika subsidi dikurangi, berarti pemerintah gagal menjaga amanat rakyatnya," kata Dewi Aryani di Jakarta, Rabu (29/2).
Ditegaskan Dewi, kurun waktu 2005 sampai 2012 kenaikan rata-rata belanja birokrasi sebesar 20,09 persen. Sementara pencabutan subsidi BBM untuk rakyat mencapai 53,57 persen.
Sedang pada tahun 2005, imbuh dia, belanja birokrasi sebesar 39,5 persen, subsidi BBM sebesar 18,7 persen. Tahun 2012 belanja birokrasi melonjak menjadi 20,4 persen dan subsidi BBM menurun tajam hanya menjadi 8,7 persen.
"Berpedoman pada data tersebut, sepatutnya kedua kebijakan yang ditawarkan pemerintah ditolak, mengingat telah terjadi liberalisasi kebijakan publik di negeri ini," tegasnya.
Pemerintah lanjut Dewi, tidak menghitung dengan cermat efek dan risiko dari kebijakan yang dilahirkan dengan proses yang salah. Jika harga minyak mentah dunia 80 dolar, harga premium akan berkisar rata-rata Rp4.500 sampai dengan Rp5.000. Jika harga minyak mentah nantinya mencapai 120 dolar, maka premium mencapai harga Rp6.500 sampai dengan Rp7.000.
Artinya, kalau pemerintah memberikan besaran subsidi BBM di APBN total Rp123,6 triliun, itu tidak akan membangrutkan negara. Malah subsidi itu bisa menjadi stimulus pergerakan ekonomi rakyat.
"Sebaliknya, kalau subsidi dicabut efek besar yang terjadi justru lebih dahsyat antara lain terjadinya kenaikan di sektor primer dan fundamental meliputi tarif listrik, angkutan, sembako, dan harga-harga lain karena logistik dan cost produksi menjadi makin besar. Bahkan bisa berakibat kepada kebangkrutan banyak perusahaan," ujarnya.
Kalau dipaksakan pengangguran bisa bertambah dan orang miskin juga makin membengak. "Ini yang saya maksud pemerintah belum menghitung risiko-risiko besar di depan," pungkasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Impor Garam, Petani Bereaksi
Redaktur : Tim Redaksi