jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah mendapat hasil bertolak belakang dari negosiasi dengan dua perusahaan asal Amerika, Freeport dab Newmont. Jika negosiasi dengan Newmont menemui jalan buntu, renegosiasi maraton antara pemerintah Indonesia dengan manajemen PT Freeport Indonesia justru berbuah manis.
Raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) itu akhirnya menyepakati poin-poin renegosiasi yang diajukan pemerintah Indonesia.
BACA JUGA: Royalti Batu Bara Progresif
Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung (CT) mengatakan, dirinya baru mendapatkan informasi dari tim renegosiasi dengan Freeport yang terdiri dari Menteri ESDM Jero Wacik, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar, dan Direktur Jenderal Mineral Batu Bara ESDM R. Sukhyar bahwa Freeport sudah memberikan kata sepakat. "Ini kabar gembira," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian kemarin (7/7).
Sebagaimana diketahui, sejak tahun lalu pemerintah getol merenegosiasi kontrak pertambangan dengan Freeport karena dinilai tidak menguntungkan bagi penerimaan negara. Enam poin renegosiasi yang diajukan pemerintah adalah wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (smelter), kewajiban divestasi serta kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal, barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
BACA JUGA: Pembangunan Rusun PNS Terganjal Pergub DKI Jakarta
Menurut CT, Freeport telah menyetujui klausul renegosiasi kontrak terkait dengan Undang-undang No 4/2009 dan Peraturan Pemerintah No 9/2012, yang diantaranya mengatur tentang kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) dan mengatur kenaikan royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dan royalti tembaga naik menjadi 4 persen.
"Yang penting, kata sepakat sudah dicapai, tinggal diformalkan dengan tanda tangan, nanti secepatnya dibahas di sidang kabinet bersama presiden," katanya.
BACA JUGA: PLN: 9 Juli Tak Ada Pemadaman
Ketika hubungan dengan Freeport mulai melunak, hubungan pemerintah Indonesia dengan raksasa tambang lainnya, yakni PT Newmont Nusa Tenggara, malah memanas. Seakan tak gentar dengan gertakan Newmont yang menggugat Indonesia ke arbitrase, pemerintah kini justru bersiap untuk menggugat balik perusahaan tambang tembaga dan emas yang beroperasi di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.
Sebagaimana diketahui, pada 1 Juli 2014 lalu, Newmont mengajukan gugatan ke arbitrase internasional terkait larangan ekspor konsentrat yang diberlakukan pemerintah Indonesia sejak 12 Januari 2014.
Akibat larangan ekspor tersebut, perusahaan tambang tembaga dan emas itu sudah menghentikan kegiatan produksinya di areal tambang Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat. 'Kami berharap ada putusan sela (dari pengadilan arbitrase) agar bisa mengekspor konsentrat dan kembali berproduksi,' kata Presiden Direktur PT Newmont Nusa tenggara Martiono Hadianto.
CT menyebut, pemerintah sebenarnya masih ingin bernegosiasi baik-baik dengan Newmont. Namun demikian, jika Newmont tetap bersikeras untuk menempuh jalur arbitrase, pemerintah siap menghadapinya.
"Pemerintah Indonesia akan mengambil sikap tegas dengan melakukan langkah hukum balik. Saat ini sedang dilakukan persiapan dengan kementerian terkait," ujarnya.
Senada dengan CT, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pemerintah kecewa dengan Newmont yang sebenarnya masih berada dalam status negosiasi namun tiba-tiba menggugat Indonesia ke arbitrase. Meski demikian, dia mengaku jika langkah tersebut justru akan merugikan Newmont sendiri. "Tentu (akan rugi), kalau melawan pemerintah, mestinya dia kalah," katanya.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya sudah berpengalaman menghadapi Newmont di pengadilan arbitrase. Pada Maret 2008 lalu, justru pemerintah Indonesia lah yang menggugat Newmont ke majelis arbitrase internasional di bawah United Nations Commission on International Trade Law (Uncitral) di Jenewa, Swiss.
Ketika itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro (kini Menteri Pertahanan), menggugat Newmont karena dianggap mengulur-ulur waktu dan tidak kunjung memenuhi kewajiban divestasi saham yang ada dalam kontrak karya. Apalagi, pemerintah sudah beberapa kali memberi perpanjangan waktu namun proses divestasi tak kunjung tuntas.
Setelah melalui proses panjang, pada 31 Maret 2009, majelis arbitrase akhirnya memenangkan Indonesia. Dalam keputusan yang bersifat final dan tidak ada proses banding tersebut, Uncitral memutuskan Newmont defalut dalam melaksanakan kontrak, lalu mewajibkan Newmont agar dalam waktu 180 hari sesudah keputusan harus sudah mendivestasi 10 persen sahamnya kepada pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat.
Tak hanya itu, Uncitral juga meminta Newmont mengganti biaya perkara yang sudah dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam proses arbitrase tersebut. (owi/bil/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Si Pitung Ikut Amankan Daya Listrik saat Pilpres
Redaktur : Tim Redaksi