Frekuensi Berpindah Tangan, Negara Harus Lakukan Pencabutan

Kamis, 23 Februari 2012 – 17:44 WIB
JAKARTA -  Mantan Direktur International Institute of Space Low (IISL), Paris, Prancis, Prof Dr H Priyatna Abdurrasyid, berpendapat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bersifat lex specialis dan sudah memenuhi prinsip-prinsip dasar yang berlaku di dunia internasional,  seperti yang tercantum di dalam Space Treaty 1967 dan Resolusi PBB No 29 Tahun 1972 tentang Penyiaran. Menurut Priyatna, hal yang paling penting dalam ketentuan itu adalah frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas yang dimiliki negara untuk kemakmuran rakyat seluruhnya.

Hal itu disampaikankan Priyatna Abdurrasyid saat menjadi saksi ahli yang diajukan Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KIDP) dalam uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (23/2). Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD itu, beberapa saksi ahli lainnya juga memberikan pendapat yang hampir sama, seperti mantan Hakim Konstitusi Prof HAS Natabaya, inisiator UU Penyiaran Effendy Choirie, mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Bambang Kusowo, dan praktisi media, Santoso.

Dikatakannya, pemerintah seperti sengaja membiarkan terjadinya pemusatan dan pemindahtanganan frekuensi di dunia industri penyiaran, dengan berdalih UU Penyiaran bersifat multitafsir.  Padahal, imbuh dia, UU Penyiaran dengan tegas melarang pemusatan kepemilikan frekuensi tersebut, agar memastikan publik mendapatkan informasi yang benar, tepat, dan penegakan demokrastisasi penyiaran.
 
"Karena pembiaran pelanggaran UU ini sudah terjadi, maka pemilik industri penyiaran yang memiliki frekwensi lebih dari satu di satu propinsi, diancam hukuman penjara dua tahun atau denda Rp 5 miliar. Selain itu, negara juga harus mencabut kembali frekuensi yang sudah dipindahtangankan," kata Priyatna.

Karena itu, pengaturan frekuensi harus dilakukan, hanya oleh satu orang atau satu badan hukum di satu wilayah siaran maupun di beberapa siaran di seluruh Indonesia. Demikian halnya dengan izin frekuensi tidak bisa dipindahtangankan, dan kalau itu terjadi maka negara harus mencabut kembali frekwensi tersebut.

"Di dunia internasional, satu grup usaha hanya memiliki satu frekuensi, dan tidak bisa dipindahtangankan. Di sini malah sebaliknya, dan dibiarkan oleh negara. Karena itu negara harus mencabut kembali frekwensi yang dipindahtangankan itu dan pihak yang terlibat harus dipidanakan sesuai uu" katanya.

Prof Priyatna mengingatkan bahaya di balik karut-marut penyiaran di Indonesia yang dikuasai sekelompok pengusaha adalah masuknya kekuatan penyiaran asing dari berbagai sudut tanpa terkendali dan menjadi ancaman seirus bagi stabilitas nasional. "Dampaknya, keamanan dan kebutuhan nasional akan informasi yang tepat dan benar tidak dapat dijamin," katanya.

Hal senada disampaikan Effendy Choirie. Politisi PKB  yang juga anggota Komisi I DPR RI mengatakan,  UU Penyiaran adalah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang adil, demokratis, dan sehat.

"Tetapi saat ini, UU ini dilanggar habis-habisan oleh beberapa penguasa media televisi. Akibatnya, prinsip diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) tidak dijalankan," terang Gus Choi, begitu sapaan akrab orang dekat Gus Dur ini.

Gus Choi juga menyebutkan dalam hal izin frekuensi, saat ini seenaknya dipindahkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Padahal, kata dia, tindakan itu jelas-jelas bertentangan dengan roh UU Penyiaran.

"Frekuensi adalah hak negara. Perusahaan hanya diberi izin, bukan hak penguasaan. Ketika pengusaha tak sanggup menjalankan siaran, frekuensi harus dikembalikan ke negara. Tidak ada alasan apapun dipindahtangankan," tambahnya.(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perencanaan Anggaran di DPR Dievaluasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler